Arunika mendengkus pasrah. Air mata menggenang di pelupuk netra. Lelaki bernama Aga yang kini sedang melangsungkan proses mengajar di depan kelas membuat Arunika tak bisa bernapas lega. Pasalnya lelaki itu memborong pertanyaan terus-menerus kepadanya.
"Baiklah pertanyaan terakhir. Apakah pada cacing terdapat jantung? Bagaimana ia melakukan transportasi di dalam tubuhnya?"
Arunika mengerutkan alisnya, seketika otak-otak yang telah dirancang hafalan semalam runtuh tak bersisa. Dia tak habis pikir, sudah pertanyaan ketiga, namun masih saja lelaki itu tak henti memberikan pertanyaan kepadanya. Arunika melirik ke samping kiri-kanan, tampak teman-teman yang berada di kelas pun menatap iba seraya menggigit bibir bawah.
Bukan tatapan itu yang diharapkan Arunika. Dia butuh jawaban segera. "Maaf, Pak ... Saya kan praktikum katak bukan cacing," jawab Arunika pelan. Namun tiga detik setelahnya, Arunika memejamkan mata, merutuki diri sendiri.
Aga terbeliak, ditatapnya Arunika tajam. "Saya sudah bilang pelajari semua hal yang saya jelaskan kemarin. Sebelum pelajaran kita akan melakukan kuis. Kalau kamu hanya berpandu pada praktikum kelompok kamu saja, kapan kamu majunya?"
Jleb!
Hati Arunika terasa tertampar. Tak berdarah, namun pedih seakan tak ada sedasinya. Arunika terpaku di tempat duduk, tak bisa berkata lagi ketika lelaki yang menyandang sebagai dosen pengganti menatapnya tajam.
"Baiklah saya lempar pertanyaan ini kepada yang lain, jika tak ada yang menjawab saya persilahkan Arunika untuk keluar dari kelas ini." Aga menarik sudut bibir tipisnya, namun pandangannya masih tajam melirik Arunika yang kini mendelik tak suka.
Walau ini pengalaman pertama Aga menjadi dosen, tapi ketika mendapatkan seorang mahasiswi seperti Arunika, seringai jenaka tertanam di jiwanya. Apalagi Aga sudah bisa menangkap kelemahan gadis itu: takut dengan katak dan cepat nge-blank.
Sontak mendengar hal itu, matanya silih berganti menatap teman-teman yang lain. Kursi yang di dudukinya ini berada pada baris kedua. Dia hanya meminta pada teman-teman yang lebih pintar darinya agar menjawab pertanyaan itu segera. Ya, walau Arunika tak sepintar dengan mahasiswa yang lainnya, tapi seumur-umur kuliah di sini dia tak pernah di keluarkan dari kelas.
"Ra ...," panggil Arunika kepada Aurora yang tepat berada di samping.
Aurora menoleh dan memberikan secarik kertas di atas meja Arunika.
Maaf ya, Ka. Aku juga nggak tahu, kamu tahu sendiri juga, kan aku praktikum mencit dan semalam juga aku nggak belajar.
Membaca tulisan Aurora tersebut, Arunika melemaskan tubuhnya. Tak ada harapan untuk pembelajaran kali ini. Teman-teman yang lain pun tampak enggan untuk menjawab pertanyaan. Apalagi Meira, perempuan yang kini duduk di barisan depan sama sekali tak meliriknya. Arunika tertawa hambar seraya menyeka buliran air mata yang perlahan menitik di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk, Arunika ✔ [PROSES TERBIT]
RomanceHidup Arunika berubah ketika dijodohkan dengan Aga Febrian, seorang dosen pengganti di kampusnya. Bahkan belum genap satu minggu Aga membuatnya pingsan dan di keluarkan dari kelas. Namun, penolakan dari Aga tepat sebelum kedua orang tuanya menyampa...