09

5K 515 44
                                    

War's POV

Aku terbangun setelah seluruh wajahku dikecup berkali-kali. Jangan tanya siapa, karena hanya satu orang yang bisa melakukannya dan dia adalah Bever.

"Selamat pagi,"

Aku tersenyum tanpa sepatah kata. Meski kami sudah tinggal bersama selama beberapa bulan terakhir, tapi aku masih canggung untuk membalas setiap perlakuan manis Bever. Namun beruntung bagiku karena Bever pernah mengatakan bahwa aku tidak perlu melakukan apapun, cukup diam, berada di sisinya dan menerima cintanya saja.

"Hmmbb-"

Aku berlari menuju kamar mandi setelah rasa mual menyerangku. Ini bukan pertama kalinya, sejak enam bulan lalu aku sudah mengalami morning sick seperti ini jadi aku sudah terbiasa meski masih membuatku merasa tidak nyaman.

"Hbb-"

Seluruh tubuhku gemetar dan aku benar-benar lemas sesaat setelah ku muntahkan isi perutku.

"Minumlah perlahan," kata Bever setelah berlari dan membawakanku segelas air. "Bagaimana? Apakah sudah lebih baik?" tanya Bever sambil memijat ringan tengkuk leherku.

Aku mengangguk dan Bever membantuku berdiri. Ia membawa tubuhku a la bridal dan mendudukkanku kembali ke atas tempat tidur.

"Tunggu sebentar, aku akan segera kembali."

Aku memandangi pintu kamar dimana Bever menghilang dan kembali dalam beberapa detik dengan semangkuk bubur panas di tangannya. Bever menyuapiku perlahan setelah ia memastikan bubur di sendok itu sudah tidak terlalu panas karena ia meniupnya.

"War? Apa perutmu masih terasa sakit? Apa kau merasa kurang nyaman? Atau buburnya terlalu panas?"

Tanya Bever setelah melihat air mataku jatuh. Aku tidak bisa menahan tangis dan sesak di dadaku.

"War?" Bever menurunkan tangan di wajahku dan menghapus air mataku, perlahan. "Tidak apa-apa, sakit ini hanya sementara. Bertahanlah sebentar lagi, hm?"

Bever memelukku setelah tangisku tak kunjung reda.

"Menangislah, tidak apa-apa."

Bever terus memeluk sambil menepuk ringan punggungku. Ia mengatakan "tidak apa-apa" berulang kali untuk menenangkanku tanpa pernah bertanya apa yang ku rasakan, apa yang menggangguku dan apa alasanku menangis. Seandainya Bever adalah orang itu, aku pasti akan semakin mencintainya. Tapi ini Bever. Bagaimanapun dia berusaha, aku belum bisa mencintainya. Meski Bever sudah melakukan banyak hal, aku bahkan tidak memiliki perasaan apapun untuknya. Tapi aku tidak bisa mengatakan itu kepada Bever, aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku terdengar egois, kan? Iya, aku memang egois. Aku benci perasaan egois ini dan aku benci diriku.

●●●

"Besok ulang tahunmu, kan?"

Bever menoleh dengan buku ditangannya. "Bagaimana kau tahu?"

"Ayah, memberitahuku."

"Ayah?" tanya Bever ragu. "Sejak kapan kau menjadi akrab dengan ayah? Apa kalian saling menelepon?"

Aku mengangguk sambil mengulum senyum. "Kami saling menelepon. Tapi belakangan ini ayah sering datang dan membawa beberapa vitamin dan buah-buahan,"

"Sungguh?" Bever meletakkan bukunya dan duduk di sebelahku. "Kenapa kau baru menceritakannya?"

"Apa kau marah?" tanyaku.

Bever menggeleng. "Aku hanya terkejut. Dan aku tidak tahu bagaimana kau dan ayah bisa menjadi akrab? Pada awalnya ayah bahkan menentangku untuk membawamu kesini,"

Beautiful NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang