Yin's POV
Hari ini aku mengendarai mobil sport seri z4 berwarna merah dari sebuah produsen mobil ternama, tapi reaksi orang-orang membuatku bertanya apakah berlebihan membawa mobil sport ke kampus ketika itu hanya sebuah barang murahan yang ku beli dengan uang saku?
Aku baru berjalan beberapa langkah, tapi bisa ku dengar pertanyaan-pertanyaan seperti, "Siapa pria tampan itu?" atau "Dari keluarga mana ia berasal?" dan beberapa pertanyaan lain yang mungkin jawabannya akan segera mereka dapatkan dari portal berita online. Aku yakin hanya dalam waktu singkat orang-orang akan tahu bahwa aku adalah bagian dari Wong. Dan aku sudah siap untuk itu, dengan memiliki Wong dibelakang namamu artinya kau harus siap disorot kapan pun dan dimana pun kau berada.
Tidak heran mengapa enam tahun lalu ayahku membawaku pergi ke luar negeri. Sebab, jika aku dibiarkan membuat keonaran disini, maka nama keluarga Wong akan tercoreng dan ayahku akan kehilangan harga dirinya sebagai salah satu orang yang paling dihormati.
Layar ponselku menunjukkan nama seseorang yang begitu ingin ku temui setelah bertahun-tahun lamanya. Prom. Dia adalah sahabatku. Keluarga kami menjalin hubungan yang sangat baik selama ratusan tahun dan pertemanan kami terbentuk secara alami karenanya.
"Di halaman parkir," jawabku setelah Prom bertanya dimana aku berada. "Kau dimana?" tanyaku balik.
"Beberapa langkah di depanmu," jawabnya yang membuatku langsung mendongak, mencari keberadaan Prom.
Aku mendecih ketika dia memelukku seperti seorang kekasih yang lama tak dijumpainya. "Bajingan," bisikku.
"Kau masih sama, tidak berbeda dengan Anan yang ku kenal dulu," kata Prom sambil menepuk-nepuk punggungku.
"Ada apa dengan panggilan itu?" tanyaku. "Jangan bertingkah seperti orang asing dan memanggilku dengan nama Anan!" kataku setengah kesal.
"Baiklah, tuan muda."
Aku mengepalkan tinju ku di hadapannya, "Mau mati ya?"
Prom tertawa dan merangkul pundakku, membawa kami ke bagian kampus yang paling disukai banyak orang, kafetaria.
"Yin?"
"Hn?"
"Sepertinya kau sudah mengumpulkan fan-club di hari pertama kuliah," kata Prom sambil menunjuk beberapa orang di sekitar kami yang tengah sibuk memotret diriku.
"Apa Banggook sekarang bukan lagi di dominasi oleh alpha?" tanyaku setelah memperhatikan orang-orang.
"Tentu saja masih," jawab Prom. "Tidakkah kau bisa mencium feromon yang saling bertabrakan di sekitar sini?"
Aku menggeleng. "Aku hanya mencium bau pinus yang hanya dimiliki oleh beta."
"Ah," Prom berhenti sejenak. "Tentu saja kau tidak bisa mencium feromon alpha lain karena milikmu menguar dan mendominasi sekitar kita."
Pernyataan Prom mungkin benar. Karena aku adalah anggota keluarga Wong, alpha dominan yang memuncaki rantai kasta, membuatku akhirnya tidak bisa mencium feromon alpha lainnya disekitar kami kecuali di saat-saat tertentu.
"Tidakkah kita seharusnya berada di aula untuk pengenalan mahasiswa baru?" tanyaku pada Prom yang sedang sibuk dengan popcorn di tangannya.
"Kau tertarik pada acara tidak penting itu?"
Aku mengenggeleng. "Tidak. Aku hanya sekedar bertanya."
"Jangan tanyakan lagi karena aku tidak akan pernah datang ke acara pengenalan."
●●●
Setelah menyelesaikan hariku di kampus dengan Prom tanpa datang ke satu pun acara pengenalan, aku kembali ke apartemen dengan sekantung cemilan yang ku beli di jalan. Aku melihat arloji di tanganku dan bertanya-tanya dimana pelayan yang sebelumnya bekerja di rumah ayah. Entah siapa namanya, aku lupa menanyakan. Bukannya aku khawatir, aku hanya tidak menemukannya seharian di kampus dan saat kembali, apartemen ku juga masih kosong.
Iya, aku sudah tahu kami akan tinggal bersama hari itu, di hari yang sama saat aku bertemu dengannya setelah ia keluar dari ruang kerja ayah. Aku sama sekali tidak keberatan, justru senang karena aku tidak harus membereskan apartemenku sendiri. Aku jadi memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang dengan teman-temanku.
"Apa acara pengenalan butuh waktu selama ini?"
Ah, terserah. Mungkin pelayan yang memiliki mata besar itu sedang bersenang-senang dengan temannya sebelum kembali. Aku akan membiarkannya kali ini, tapi jangan harap dia bisa melakukan ini diwaktu yang akan datang.
Aku menuju kamar mandi dan melakukan ritual soreku, membersihkan diri sebelum naik ke atas kasur. Suhu air ku atur agar hangat untuk membuat tubuhku lebih rileks. Baru saja lima menit yang lalu aku berendam di dalam bath tub, aku dibuat terkejut oleh kemunculan seseorang yang menerobos kamar mandi dan menyerangku.
"Brengsek!" Ku dorong tubuh kurus itu dan ia terjatuh hingga membuat bajunya basah. "Apa yang baru saja kau lakukan?" tanyaku sambil mengelap bibirku yang basah karena salivanya.
"Hai, baby.." gadis di depanku tersenyum penuh kemengan. "Lama tidak berjumpa," katanya sambil berusaha bangkit.
Aku menarik kerahnya hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti saja. "Apa yang kau lakukan di apartemenku?"
"Menemui kekasihku, tentu saja." Mata tajamnya menatapku lurus.
"Kita sudah putus sejak lama, Candy." Aku menekankan kata putus dalam kalimatku.
Alpha di depanku berdecih. "Begitu menurutmu? Tapi tidak untuk ku,"
Gadis ini keras kepala. Tentu saja, ia adalah alpha. Sifat keras kepala memang sudah mendarah daging dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari seorang alpha. Tapi aku serius ketika mengatakan hubungan kami telah berakhir. Itu jauh sebelum aku kembali ke negaraku. Saat itu, aku memergokinya bercumbu dengan alpha lain yang memiliki mata biru di bekakang sekolah, tapi Candy bersikeras mereka hanya berteman. Aku memiliki banyak teman bajingan, tapi tidak satupun dari mereka yang mencumbu temannya sendiri.
Mungkin Candy sedang mencari orang tolol yang bisa ia tipu. Tapi maaf, ia salah sasaran.
"Pergi sebelum kesabaranku habis," bisikku sambil melepaskan cengkraman di kerahnya dan berusaha bangkit dari dalam bath tub.
"Tidak. Aku akan bermalam disini," balas Candy sambil berjalan mendahuluiku keluar dari kamar mandi. Dengan seenaknya gadis itu masuk ke dalam kamarku bersamaan dengan pintu apartemen yang terbuka.
"T-tuan muda," bibir kecil itu tergagap memanggilku. Tanpa mengerti apapun, aku hanya berdiri memandangnya yang memejamkan mata sampai saat aku sadar bahwa aku bertelanjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhku. "Se- se- sebaiknya anda mengenakan sesuatu sebelum keluar dari kamar mandi," pintanya masih dengan mata tertutup.
Aku tidak menanggapi pelayan itu dan masuk ke dalam kamarku menyusul Candy untuk berpakaian lalu keluar setelah beberapa saat.
"Keluar!"
"Lepaskan aku!" Candy memberontak sementara aku menyeret gadis pengganggu itu hampir ke depan pintu. "Dasar brengsek!"
"T-tuan muda, apa yang terjadi?" tanya pelayan ayah.
"Diam dan jangan ikut campur," kalimatku membuat pelayan itu diam sementara matanya memperhatikan aku dan Candy.
"Ah," Candy tersenyum sinis. "Kau mengusirku karena ingin bersenang-senang dengan omega itu?"
Aku mencekik leher Candy agar dia berhenti bicara. Lagipula apa maksudnya dengan omega? Pelayanku adalah seorang beta.
"Berhenti bicara sebelum aku mencabut lidahmu," aku memasang wajah serius tapi Candy sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. "Sekarang, keluar dari apartemenku!" Aku menghempaskan tubuh Candy dan mengunci pintu sebelum gadis itu bisa bangkit dan memakiku dengan kasar.
Aku berbalik dengan napas terengah dan menemukan pelayan ayah terduduk sambil memegangi dadanya.
"Pergi siapkan makan malam," kataku tanpa berminat tentang apa yang terjadi padanya. Terserah dia mau mati atau apa, aku tidak peduli. Kepalaku sudah terlalu sakit sekarang. "Apa kau tuli?" Ku cengkram rahangnya karena ia tidak juga bangkit dari duduknya.
"A- a- akan ku si- siapkan sekarang makan malam anda, tuan muda."
Bersambung..
cerita ini akan diup secara random, so please understand n keep support me.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Nightmare
Fiksi PenggemarYin-War Omegaverse 🔞🔞🔞 Disclaimer: mengandung kekerasan verbal, fisik dan seksual.