10 - 4

4.2K 446 25
                                    

Yin's POV

Aku bersimpuh dihadapan ayah dengan wajah berlumuran darah. Meski begitu, ayah nampak enggan menghentikan pukulannya. Ia terus memukulku dengan membabi buta sementara anggota keluargaku yang lain memalingkan wajah mereka dari kami.

"Aku memberimu kesempatan terakhir, jadi mintalah pengampunan dan biarkan aku mengurus segalanya," napas ayah terengah. "Ayo memohon ampun lah padaku!"

Kalimat ayah tidak membuatku goyah, apapun yang terjadi aku akan melindungi War dan anakku.

"Jika kali ini kau juga diam, maka aku akan benar-benar menyerahkan mu pada dewan."

"Ayah, kau yang paling tahu jika aku tidak akan pernah bisa meninggalkan mate-ku sampai mati. Jadi aku tidak akan pernah memohon pengampunan darimu," balasku. "Jika War mati, maka aku juga akan mati."

Ayah melepaskan tongkat golf dari tangannya. "Ini salahku, seharusnya aku tidak membiarkan kalian saling mengenal atau bahkan tinggal bersama." Lalu jatuh diatas kedua lututnya. "Seharusnya aku mempercayai kutukan sialan itu dan menjauhkanmu dari omega manapun. Tapi.. inilah akhirnya. Kutukan itu menjadi nyata ditanganku."

"Aku lebih suka menyebut ini takdir." Aku mendongak, meski tak begitu jelas karena mataku dipenuhi darah tapi bisa ku lihat kesedihan di wajah ayahku. "Jangan menatapku seperti itu, Ayah. Aku bahagia bersama War dan anak kami yang akan lahir. Aku benar-benar bahagia memiliki mereka di sisiku. Jadi jangan pernah menyesal telah mempertemukan kami karena aku sangat berterima kasih untuk itu."

"Pergi.." suara ayahku bergetar. "Pergilah ke rumah sakit.." ku lihat air mengalir dari sudut matanya. "Selamatkan War dan calon anakmu,"

Aku mengerutkan kening sementara tak henti menatap ayahku.

"Dewan, mungkin sudah sampai-"

Ayah belum menyelesaikan kalimatnya tapi aku, dengan langkah tertatih dan pandangan yang buram berjalan keluar dari rumah menuju mobilku.

"Please.." napasku tak beraturan. "Jangan.." ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi hingga beberapa kali hampir menabrak mobil lain yang berpapasan denganku. "Please.. jangan terjadi apapun.."

Laju mobil semakin kencang sementara konsentrasiku terbagi antara kemudi di tangan kanan dan ponsel di tangan kiriku. Aku berulang kali mencoba menghubungi Prom tapi panggilan itu tidak pernah terhubung.

"AAAARRGGHHHH!"

Aku benar-benar frustasi. Aku berteriak sambil terus memukul kemudi setelah ku lempar ponsel sialan di tanganku secara acak.

●●●

Aku berjalan di lorong rumah sakit yang remang. Tak ku lihat ada sedikitpun keanehan atau keributan di sekitar yang membuat pikiranku semakin kacau. Keheningan ini pastilah berarti sesuatu.

"Aku datang, War.."

Aku berusaha menstabilkan langkah yang tak beraturan, kaki ku sungguh lemas dan pengelihatanku kabur karena tetesan darah terus masuk ke mataku.

"War.."

Nama itu terus keluar dari mulutku sampai seseorang menghentikannya. Ia menarikku sebelum sekelompok orang dengan wajah tegas dan pakaian rapi datang. Aku belum sempat mengatakan apapun, tapi lenganku di tarik menuju area yang ku pikir terlarang.

"Prom-"

"Pelankan suaramu brengsek!"

Prom berbisik dengan wajah kesal sementara menyuruhku terus mengikuti langkah hati-hatinya. Dan setelah melewati beberapa bangunan kamar rawat, kami tiba di bagian paling belakang rumah sakit yang dipenuhi belukar.

"War?" Aku memeluk War begitu ku lihat ia berjongkok dan memeluk dirinya sendiri di dekat semak belukar. "Apa yang terjadi?"

War menangis di pelukanku. Ia menarik-narik kemeja ku yang dipenuhi darah, seperti ingin mengatakan sesuatu meski pada akhirnya hanya tangisan yang keluar dari mulutnya.

"Apa yang terjadi padanya?" Aku mencari jawaban lewat Prom yang menatap kami. "Apa yang telah orang-orang itu lakukan padanya?"

"Aku akan menjelaskannya nanti," kata Prom. "Yang terpenting sekarang adalah kalian harus segera pergi. Tidak ada satupun diantara kita yang aman disini." Sahabatku itu merogoh sakunya dan memberikan sebuah kunci padaku. "Ini kunci mobilku, bawalah War pergi ke villa mu. Aku akan menyusul setelah membereskan orang-orang yang dewan kirimkan."

Tanpa banyak berpikir aku bangkit dan menuntun War, tapi sebelum benar-benar pergi aku menoleh ke arah Prom. "Berjanjilah kau akan menyusul,"

Prom mengangguk. "Aku akan pergi menyusul kalian bersama mate-ku,"

Aku dan Prom sama-sama terkejut ketika sekelompok orang datang dan menyerang sahabatku itu tanpa aba-aba hingga membuatnya terjatuh.

"Prom!"

"Pergi Yin! Bawa War pergi!" Prom berteriak. "Pergilah!"

Aku tidak memiliki pilihan lain meski di depan mataku Prom di serang. Aku benar-benar akan kembali dan membalas perbuatannya setelah menyelamatkan War. Ya, aku harus menyelamatkan War dan bayi kami lebih dulu.

"Prom, maafkan aku.."

●●●

Aku melajukan mobil dengan kecepatan diatas rata-rata karena ada dua mobil yang mengikuti kami dari belakang. Aku sangat yakin mereka adalah orang-orang yang di kirim dewan untuk membunuh War juga bayi di dalam kandungannya.

"Bajingan.."

Kedua mobil itu melaju tak kalah kencangnya dengan milikku dan kini mereka mencoba menghantamkan mobil kami berkali-kali untuk menghentikanku.

"Dasar brengsek!"

Aku terjebak dan sulit menghindar karena mobil di depan menghalangiku. Tak ada pilihan bagiku selain memukul klakson berkali-kali dengan satu tangan untuk membuat mobil di depan kami menyingkir sementara tanganku yang lain ku gunakan untuk menenangkan War yang duduk dengan gelisah.

"Jangan takut, aku akan membawamu pergi." Aku tersenyum ke arah War. "Aku berjanji akan menyelamatkanmu dan bayi kita."

Ketika mobil di depanku menyingkir, aku menginjak pedal gas lebih dalam dari sebelumnya. Orang-orang itu mungkin tidak akan mengira bahwa aku akan berbelok sembilan puluh derajat yang mengakibatkan mereka bertabrakan dengan mobil lainnya ketika mencoba mengikutiku.

"Rasakan itu, dasar bajingan!"

Aku tersenyum puas sampai saat War menarik tanganku, ia berteriak lalu dengan cepat ku rasakan kedua telinga ku berdenging dan aku tidak bisa melihat apapun karena cahaya putih tiba-tiba merasuk ke dalam retinaku. Sesaat kemudian aku merasakan tubuhku terhempas dengan keras dan tak lagi ku rasakan keberadaan kedua kakiku.

"War.."

Dalam keadaan yang belum sepenuhnya ku sadari, tangan kiriku meraba, mencoba meraih War yang tak bisa ku dengar lagi suaranya.

"War.."

Hanya nama itu yang keluar dari mulutku sampai aku tidak bisa lagi membuka kedua mataku karena semuanya tiba-tiba gelap.


Bersambung..

Beautiful NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang