(G)empatpuluhempat

202 23 24
                                    

Hayuk votenya🙂

Walaupun sedang di kondisi terburuk sekali pun, merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Kamu masih punya hak untuk tersenyum:)

"Adek gue bener-bener udah gila, gue nggak bakal setujuin apa pun keadaannya." Vernon mengepalkan tangannya, lalu menatap Junia yang tampak tenang di atas brankar.

"Lalu apa yang mau kamu lakukan?" tanya dokter yang selama ini menanggani Junia.

"Lo nanya ke gue? Lo itu dokternya, pikirin dong pake otak lo yang pinter itu. Gimana caranya, adek gue bisa sembuh..." Vernon memalingkan pandangannya, berharap emosinya dapat terkendali.

"Saya bisa membantu, akan saya lakukan semaksimal mungkin. Tapi, apa kamu tidak mau adik kamu bahagia?"

"Maksud lo apa?" Vernon mencengkram erat kerah kemeja putih sang dokter.

"Lo mau gue setujuin apa yang dia minta terus pasrah aja dia mati di depan gue gitu? Hah, dimana otak lo? Punya otak nggak? Cuma dia yang gue punya, bahkan gue lupa dia punya kembaran yang masih adek gue juga."

"Apabila Junia masih bertekad untuk hidup, dia pasti akan sembuh dengan cepat. Dia akan menjalankan semua prosedur, agar dia sembuh. Tapi, kamu lihat kan sejauh ini apa yang kita dapat? Dia sudah tidak memiliki niat itu sedari lama."

"Kita masih bisa usaha dokter, lo nya aja yang nggak mau repot lagi kan? Oke, kalo perlu gue pindahin adek gue ke luar negeri. Lo nggak ada becus-becusnya jadi dokter!" Vernon meninggalkan ruangan itu dengan amarah yang sudah siap meledak.

"Kumpulin pasukan lo, kita ke basecamp Madagaskar." Vernon memutuskan sambungan telfon itu lalu menaikin motornya dan pergi dari rumah sakit besar itu.

-Glory-

Langkah kaki jenjang itu berjalan di antara koridor rumah sakit. Heels merah mudanya, disertai wangi yang semriwing membuat cewek itu menjadi pusat perhatian.

"Dokter?" Cewek itu memasuki sebuah ruang rawat inap.

"Ya?"

"Kapan dia mati?" Cewek itu melipat kedua tangannya di dada.

"Maksud kamu siapa?"

"Ck, pasien lo yang lagi sekarat ini kapan matinya?" Cewek itu menoyor kepala milik cewek lain yang sedang berbaring tak sadarkan diri di brankar.

"Tolong jaga tingkah lakumu, bagaimana pun dia kakakmu." Dokter itu memeriksa kepala cewek yang tengah terbaring lemah di brankar.

"Cih, harusnya dia cepetan mati. Ngabisin duit abang gue aja!" Cewek tadi mencebikkan mulutnya.

"Memangnya Vernon menganggap kamu adiknya?"

"Kok lo nyolot sih? Mau gue cabein tuh mulut, masa cowok mulutnya kek emak-emak cih!"

"Jeny, harusnya kamu dekat dengan kakakmu di saat-saat seperti ini. Dukung dia, agar dia mau berjuang untuk tetap hidup."

"Dukung dia? Gue? Gue dukung orang yang udah ngambil cowok gue dari gue? Cih, enak banget ya lo kalo ngomong. Dia itu cuma cewek murahan yang ngambil cowok orang, kasian banget hidupnya. Cepet mati lo buta!" Jeny, ya dia Jeny. Jeny Wirata Salya, sang adik kembaran dari Junia Wirata Salya.

"Jeny! Tidak ingatkah kamu? Dia yang sudah membuat kamu hidup sampai sekarang, dia yang mendonorkan ginjalnya untukmu. Padahal kamu sendiri tau, dia hanya punya satu ginjal yang masih berfungsi namun dia rela memberikannya padamu. Gara-gara membayar perawatanmu lah dia tidak mencuci darah hingga saat ini, dimana letak hatimu?"

"Ck, itu aja diribetin elah. Dianya aja yang bodoh, nggak pandai gunain kesempatan hidup. Udah tau mau mati, malah sok-sok an mau jadi pahlawan bagi orang lain. Harusnya sadar diri, jangan nyusahin bang Vernon terus dengan terus hidup kek gini. Sekarat dan menyedihkan." Jeny berjalan keluar ruangan.

"Jen..." suara itu membuat langkahnya terhenti, ia membalikkan tubuhnya lalu tersenyum miring.

"Masih hidup aja lo ka...kak?" Jeny berdecih.

"Jen, bahagiain Gara ya..."

"Ya pasti dong, gue bakal lakuin apa pun dan buat Gara beruntung milikin gue. Nggak kek lo, nggak pandai ngapa-ngapain."

"Makasih Jen..." Junia tersenyum.

"Ck, jangan senyum! Gue pergi, cepet mati lo biar bang Vernon nggak pusing nyariin biaya." Jeny pergi dari sana.

"Jangan sampai Gara tau Jen..."

"Ya nggaklah, buat apa Asta harus tau?" Jeny tersenyum miring lalu hilang di balik pintu.

"June, jangan goyah ya. Semangatlah untuk terus hidup! Jangan dengarkan kata adikmu, Vernon sama sekali nggak terbebani kok." Hibur dokter yang sedari diam, sambil menahan emosinya mendengar kata-kata kasar yang dilontarkan Jeny pada Junia.

"Nggak, kok dokter. Jeny benar, Junia seharusnya lebih cepat pergi. Tapi, Allah masih nahan Junia buat di sini." Kata Junia sambil tersenyum menatap langit-langit kamar.

"Tapi June-"

"Bang Vernon kemana dokter?"

"Dia izin keluar, tapi saya tidak tau kemana." Bohong. Kapan Vernon izin bukan? Lalu, apalagi yang harus dokter itu perbuat selain berbicara seperti itu.

"Hm, nanti bangunkan Junia kalau bang Vernon datang ya dokter! Junia mau tidur dulu, Junia capek."

"Iya June."

"Kenapa harus gadis sebaik Junia yang Kau berikan cobaan seperti ini Tuhan? Dia sungguh sudah tidak bisa untuk bertahan lebih lama lagi." batin dokter itu sambil menatap Junia sendu.

-Glory-

Krek...

"Siapa?" Junia bertanya saat pintu terdengar terbuka pagi ini.

"Dek, rambut kamu rontok lagi?" Vernon segera mengambil helaian rambut dari tangan Junia.

"Hehehe iya, rambut Junia rontok lagi. Abang nggak pernah lagi sih, nyampoin Junia sama shampoo anti rambut rontok." Junia tersenyum lebar hingga matanya menyipit, tenggelam di antara lipatan kantung matanya yang membesar.

"Mau abang belikan wig?"

"Nggak usah bang."

"Kalau kamu mau ke taman gimana? Atau jalan keluar?"

"Nggak apa-apa, Junia bersyukur apa adanya yang Allah kasih ke Junia."

"Dek..."

"Abang dari mana aja?" Junia mengalihkan pembicaraan.

"Aahh, abang bawain ini untuk kamu. Sebentar ya!" Vernon mengeluarkan sesuatu dari plastik, meletakkannya di meja nakas lalu menghidupkannya.

"Liat dek, cantik kan? Kamu pasti suka!" Namun, Vernon melunturkan senyumnya saat melihat Junia tersenyum ke arah depan. Tatapannya kosong.

"Maaf dek, abang-"

"Pasti cantik, Junia bisa rasain dari nada ceria abang. Apa barangnya bang?"

"Lampu dekor berbentuk pohon, di setiap rantingnya ada lampu-lampu kecil berwarna keemasan bersinar bila dihidupkan."

"Aahh, pasti cantik. Andai aja Junia bisa liat, pasti cantik. Junia suka kok bang, apa pun yang abang kasih untuk Junia." Junia lagi-lagi tersenyum.

"Dek, maaf ya-"

"Abang, bawa Junia ke kantin rumah sakit dong. Junia mau makan di sana!"

"Tapi, June di sana rame."

"Junia nggak malu kok, ayo temenin Junia!"

"Oke, kita berangkat!"

-Glory-

Galore (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang