PROLOG

831 71 11
                                    

Seorang pria berdiri gelisah di depan pintu. Sesekali ia berjalan ke kursi tunggu dan duduk sejenak di sana. Tak sampai semenit, nalurinya memaksa untuk bangkit.

Pria itu mendekat lagi ke pintu, berupaya mencuri lihat situasi di dalam. Namun sia-sia, tidak ada celah baginya untuk mengintip. Pintu itu terlalu padat untuk dapat ditembus oleh matanya.

Masih dengan kecemasan yang tak kunjung reda, ia hendak kembali menuju kursi tunggu. Tetapi suara pintu yang terbuka membuatnya urung beranjak dari posisi semula.

"Bagaimana, Dokter?" tanya pria itu ditengah kekhawatiran yang menyaputi wajahnya.

"Mohon maaf, Tuan Lee Seung Hoon. Posisi janin tidak memungkinkan istri Anda untuk melahirkan secara normal. Satu-satunya cara agar bayi bisa dikeluarkan dengan selamat hanya dengan melalui operasi caesar."

Pria itu mengembuskan napas secara paksa. Dadanya terasa penuh. Mendengar pernyataan dokter barusan membuat kecemasannya meningkat berkali-kali lipat.

"Baiklah, Dokter. Lakukan saja. Lakukan apapun yang menurut Anda itu adalah jalan terbaik. Pastikan istri dan anak saya selamat. Saya percayakan semuanya pada kalian," ucap Tuan Seung Hoon penuh harap.

Selama proses bersalin tengah berlangsung, Tuan Seung Hoon tak dapat menikmati duduknya dengan tenang. Entah sudah berapa kali ia mendekat ke pintu dan berakhir mondar-mandir dengan perasaan gelisah.

"Tenanglah, Tuan. Saya yakin Nyonya dan calon bayi Tuan akan selamat," ucap pria yang sejak tadi setia menemani Tuan Seung Hoon.

"Tidak bisa Sung Joon. Bagaimana aku bisa tenang sementara istriku sedang berjuang sendirian di dalam. Dia sudah pernah melahirkan tiga kali dan ketiga anakku yang sebelumnya meninggal bahkan sebelum dilahirkan. Bagaimana kalau anakku yang kali ini juga..."

Tuan Seung Hoon tak dapat meneruskan kalimatnya. Emosinya sedang kacau. Badannya yang gemetar akibat dilanda kecemasan mendalam perlahan-lahan merosot ke atas kursi. Ia mengusap wajahnya kasar sembari berdoa semoga kali ini Tuhan mau berbelas kasih kepadanya.

Sesaat keheningan menghampiri dua pria itu. Melihat Tuan Seung Hoon masih larut dalam kecemasannya, Sung Joon lebih memilih diam tak ingin menambah kalut pikiran sang majikan.

"Kau beruntung Sung Joon. Baru beberapa bulan pasca menikah, kau dan istrimu sudah dikaruniai seorang puteri yang cantik," ucap Tuan Seung Hoon tiba-tiba. Suaranya terdengar lirih. Meski begitu, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda jika perasaannya berangsur tenang.

"Setiap orang memiliki keberuntungannya masing-masing, Tuan. Dan saya merasa kali ini giliran Tuan yang akan menerimanya," jawab Sung Joon bijak.

"Aku harap juga begitu, semoga kali ini keberuntungan berpihak kepadaku."

Tuan Seung Hoon melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah lebih dari satu jam ia menunggu. Hatinya memberikan dorongan kuat untuk masuk dan menyaksikan langsung apa yang terjadi di dalam. Tetapi ia sama sekali tak dapat berkutik sebab aturan rumah sakit melarang siapapun masuk kecuali tim medis yang membantu proses persalinan.

"Sung Joon-ah."

"Iya, Tuan."

"Sudah berapa hari usia puterimu?"

Sung Joon sedikit bingung mendengar pertanyaan yang dilontarkan Tuan Seung Hoon. Kenapa tiba-tiba saja majikan mudanya ini menanyakan perihal puteri kecilnya?

"Dua hari lagi usianya genap satu minggu, Tuan."

Tuan Seung Hoon mengangguk-anggukkan kepala, membuat Sung Joon yang melihatnya bertambah heran tak mengerti.

Love Is BlowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang