Saat keluar dari café, Lila sibuk senyum-senyum sendiri di balik masker yang selalu ia kenakan. Sesekali ia menahan senyuman itu dengan mengulum bibirnya, takut senyumannya itu berubah menjadi kekehan kecil yang dapat disadari Dirga.
Di Rabu yang dingin itu, sudah tiga jam mereka berdua di café perpustakaan. Sejak jam tiga sore hingga enam petang.
Kopi pesanan mereka seharusnya sudah habis sebelum enam puluh menit. Tapi, entah mengapa obrolan mereka mengalir begitu saja, membuat kopi-kopi itu tak tersentuh sama sekali hingga setengah jam.
Kalau saja cappuccino pesanan Lila bisa bicara, mungkin ia akan mengeluh,
"Buat apa gue di sini? jadi nyamuk doang, enggak diminum. Hei, latte, kita ngapel juga, yuk? Lo juga dikacangin, 'kan?"
Sisanya, Dirga banyak bercerita, dan Lila banyak mendengar. Paling-paling, Lila yang masih setengah kikuk itu hanya berani bertanya sedikit-sedikit.
"Lo kalau nulis, suka-nya tentang apa?" Dirga bertanya setelah meneguk sedikit latte dinginnya.
"Gue? Umm, tentang otak? Belakangan ini gue lagi tertarik sama cara kerja amigdala." Papar Lila, langsung nyerocos ketika Dirga menanyakan hal yang exciting menurutnya.
"Oh, wow. Gue gak nyangka, topik lo berat juga! Gue sih, paling suka-nya nulis feature. Bosan sama teknik penulisan straight news yang diajarin pas tahun pertama. Lo juga ngerasain, 'kan? Haha."
Begitu terus. Dirga bercerita banyak sekali. Seakan tak sadar bahwa ia sedang bercerita dengan perempuan yang baru bertemu langsung dengannya satu kali, yang saat itu pun tak bicara sama sekali.
Apalagi, Dirga juga bicara tentang Lila. Seolah tidak ingin obrolan mereka hanya berjalan satu arah.
"Lo kecil banget, sih."
"Kok lo bisa, kuliah di umur tujuh belas tahun? Gue sih masih leha-leha cabut sekolah di umur segitu."
"Lo belajarnya gimana? Ada ambil kelas akselerasi?"
"Gue capek. Habis ada urusan di persma. Niatnya ke sini buat mampir, eh ketemu lo rasanya kayak lagi pulang."
Lila sih, senang. Tentu saja. Meski pun tak terlalu paham 'pulang' yang dimaksud Dirga.
Mungkin, pendengar yang baik? Kalau itu benar, Lila sangat bersyukur. Ia sangat ingin menjadi pendengar yang baik buat orang lain.
Di bayangannya, Dirga memang seperti itu. Mudah bergaul dengan siapa pun. Ditambah lagi, obrolan mereka begitu sejalur.
Makanya, otak dan bibir Lila sepakat untuk tetap tersenyum, setelah ia menyadari kalau ia harus pulang sebelum jam setengah tujuh malam.
Cuma tiga jam, tapi ia jadi tahu sedikit lebih banyak soal Dirga.
Kak Dirga suka pergi ke café.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast; Lie
Teen FictionSemua orang sakit. Semua orang pura-pura. Semua orang bohong. Kenapa semua orang tega melakukan ini? Padahal, hidup Lila sudah mulai baik-baik saja. Lila benci orang munafik, egois, dan mereka yang pura-pura paham tentang Lila. Mereka yang datang...