8. Cermin.

15 2 3
                                    

Gue gak paham, kenapa semua orang bilang kalau gue dan Lila itu mirip?

Mereka bilang, gue dan dia sama-sama pejuang keras. Kita seakan berlomba-lomba buat dapatin mimpi kami.

Mereka bilang, gue dan Lila itu sama. Kita terlihat seperti musuh yang saling menatap sinis, tapi sebenarnya saling merangkul.

Mereka bilang, kami punya cara yang sama buat nanganin suatu masalah.

Apa?

Gue gak pernah berhenti bertanya-tanya.

Okay, tapi apa Lila ngerasain apa yang gue rasain?

Dia terlihat seperti anak yang mengalir mengikuti arusnya. Anak yang bahagia, anak muda yang seakan sudah berhadapan dengan masa depannya semudah itu.

Gue gak pernah lihat dia merasa tertekan terhadap sesuatu. Dia selalu senyum, beban hidupnya mungkin seringan kapas?

Gue ... ingin jadi seperti Lila. Tanpa sadar, gue jadi sering ganggu dia.

Kalau gue gak bisa jadi seperti dia, gimana caranya supaya dia yang jadi seperti gue?

Tapi, terlalu jahat kalau gue ingin dia yang jadi seperti gue.

Lila itu selalu menunjukkan apa yang dia rasa. Dan gue tahu, dia banyak bahagia. Tentang dirinya, teman-temannya, orang-orang di sekitarnya, dan pilihan hidupnya.

Bersinar. Dia asli, dia nyata.

Sedangkan gue?

Gue cuma hidup untuk merampungkan keinginan orang lain. Gue seakan hidup dalam sebuah cermin besar, di mana gue harus menyesuaikan diri. Gue harus berjuang supaya tetap terlihat di cermin ini.

Ketika gue lihat dia, gue seperti melihat ke sosok nyata yang ada di luar cermin. Sosok yang secantik dan secerah itu.

Kira-kira, apa dia bisa menemukan gue yang sebenarnya di sini? Atau gue bakal menekan diri gue juga ketika di samping dia?

Ini bukan mimpi gue, gue melakukan ini semua cuma untuk meraih mimpi orang lain. Ketika gue berada di titik di mana gue harusnya merasa senang seperti Lila, gue gak merasa senang sama sekali. Tapi, kenapa dia selalu tersenyum, bahkan ketika dia gagal?

Setidaknya, kalau gue gak bisa keluar dari cermin besar ini, biarkan gue jadi seperti dia. Dia yang selalu bahagia dan bahagia. Bahagia meskipun gue masih ada di dalam cermin ini. Meskipun gue tetaplah yang palsu, dan dia tetap yang asli.

Gue ingin bersandar. Gue terlalu capek mencari jalan keluar dari hidup gue yang sekarang. Apa dengan jadi seperti dia, gue bisa berhenti menyerah dari takdir yang gak pernah memihak gue?

Gue selalu nyerah, gue gak pernah berhasil keluar dari bingkai ini. Sejauh apapun gue lari, sekeras apapun gue berpikir. Di sini tetap gelap dan gak berujung.

"Saya gak bisa jadi apa yang saya mau karena kamu. Sekarang, kamu harus melakukan apapun yang kamu bisa untuk mencapai mimpi saya."

"Kenapa kamu malah ada di sini? Sana ujian ulang dan dapatkan apa yang saya mau!"

Tolong temuin gue, Lil. Ajarin gue caranya bahagia.

-----

"Jahat banget sih Lo? Kopi gue tumpah, gantiin." Gue ngerasa badan gue digoyang-goyangin. Tapi, gue malah pura-pura mendengkur.

Itu Lila. Lagi-lagi, gue ingin mengganggu dia.

"Malesin banget, sumpah. Gak lucu, Ra. Cepet bangun atau lo gue seret, terus gue cemplungin ke kolam ikan ini, nih!" Lila mulai narik tangan kanan gue, dia sok-sokan mau nyeret gue ke kolam ikan.

Padahal gak kuat, 'kan. Dia kecil begitu.

Gue lagi tiduran di kursi taman depan gedung jurusan. Pakai headset, dan gak mau diganggu sama sekali. Kalau orang itu bukan Lila, gue mungkin gak akan peduli.

Mungkin karena gue yang kelewat iseng, atau Lila yang memang yang se-sayang itu sama kopinya, dia mulai panas. Dia melepas headset yang gue pakai dan menjewer daun telinga gue.

"BANGUN! DASAR LELAKI BIADAB TIDAK BERTANGGUNG JAWAB!"

Mata gue membelalak. Gila, dia beneran se-sayang itu sama kopi delapan-ribunya? Omongannya iya-iya banget!

"GILA LO YA? JANGAN YANG ANEH-ANEH DEH," akhirnya, gue nyerah ngerjain dia.

"Apaan sih Lo? Apa lagi?!" gue menggerutu. Tapi, gue suka ketika dia ngomel-ngomel ke gue. Ayo, coba ngomel yang banyak, Lil.

"Lo gak sadar? Tadi tuh lo lewat di depan gue, terus nyenggol tangan gue. Tuh lihat, kopi delapan-ribu gue tumpah. Ganti!" Lila menunjuk gelas kopi yang malangnya sudah tergeletak tak berdaya dengan isinya yang sudah berhamburan kemana-mana itu.

Gue menatap dia sinis. Sebenarnya enggak, gue cuma pura-pura. "Ya udah, sih? Gue juga gak sengaja kali! Nih, ambil nih! Ceban! Makan tuh duit, diem kan lo." Gue mengambil uang dari saku celana belakang gue, dan melempar uang itu ke dia.

Ah, apa cara gue salah?

Soalnya, Lila mulai cemberut dan matanya mulai berair.

"Mulut dan tingkah lo itu bisa dijaga gak sih, Ra? Sumpah, kurang ajar banget! Emang begini cara lo ganti rugi?" Suara Lila terdengar kesal.

Ah gue salah lagi. Maaf, Lil.

Tapi, gue gak tahu gimana caranya buat minta maaf ke dia. Akhirnya gue cuma diam dan mempertahankan ekspresi sinis gue.

"Bodo amat deh, terserah Lo. Berisik, males gue ngurusinnya."

Gue melihat hidung Lila yang makin merah. Apa dia mau nangis?

Jangan dong. Ah, gue gak mau lihat.

Maafin gue, dong. Iya, gue kelewatan.

Gue yang pengecut dan gak jelas ini akhirnya malah kabur, ninggalin Lila sendiri dan malah menutup kedua telinga gue dengan headset yang tadi dia rebut.

"TARA!"

-----

"TARA!" Lila memanggil Tara sekali lagi, berharap anak itu mau untuk setidaknya bilang "Okay, sorry."

Tapi nyatanya enggak, ya.

Lila tahu, sih. Seharusnya ia tak perlu membangunkan Tara, toh nanti pasti bertemu lagi. Tapi, mengingat songongnya Tara yang tak menyadari kalau dirinya menumpahkan kopinya itu benar-benar membuat Lila kesal. Masalahnya, orang itu Tara. T-a-r-a.

Tara itu gak tahu kenapa selalu cari masalah deh sama gue. Kapan ya gue bisa jambak rambut dia?

Itu cita-cita kecil Lila, sejak Tara menghina dia 'pendek' saat upacara pengenalan lingkungan kampus.

"Emang, gak salah gue gedeg banget sama dia." Lila menganggguk beberapa kali dan pergi. Tentu saja setelah mengambil uang sepuluh ribu yang dilempar Tara tadi.

Gengsi sih, tapi memang Tara yang gak sopan.

"Biarin aja, nanti gue cari kontak Ibunya tara, terus gue aduin deh kelakuannya dia!" Lila mendengus, lagi.

Yah, Lila memang pernah bertemu dengan Ibunya Tara saat kerja kelompok beberapa bulan yang lalu.

Baik, kok. Pikirnya.

Lila, kira-kira kalau Ibu Tara gak baik, apa kamu mau jadi orang baik untuk Tara?

- - - - -

See you on the next chapter!

Eccedentesiast; LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang