Rindu meradang, ternyata bukan hanya masa lalu sang suami yang memberi jarak pada hubungan mereka. Hari ini, mata kepalanya sendiri menyaksikan betapa sang suami betah dan nyaman bercanda serta berlaku mesra dengan perempuan muda itu. Perempuan yang bukan mahromnya. Dengan sumringah laki-laki itu menerima perlakuan manis gadis muda yang memeluk lehernya dari samping dengan kepala yang saling bersentuhan.
Candaan dan kata-kata yang terlontar dari bibir mereka bak pisau yang menancap tajam di jantung Rindu. Menusuk hatinya dalam tapi tak berdarah. Nyeri! Perempuan itu memegang dan meremas dadanya kencang. Paru-parunya seakan enggan bernapas, menembah sesak yang menghimpit.
Mata teduh itu terus menatap pemandangan di depan, tak lagi teralihkan. Kaki pun serasa kaku, enggan melangkah meninggalkan ruangan yang membuat netranya mengambang. Telaga itu tanpa henti mengaliri pipi nan putih mulus. Sementara punggung tangan terus menyeka kasar dua aliran sungai serta cairan yang mengalir di hidung. Tak tahu diri, air itu terus membanjiri hingga usahanya sia-sia.
Pelakor cilik, kata yang lolos dari bibir mungil Rindu. Pelakor yang banyak menerima uluran tangannya. Pelakor yang diangkatnya dari jalanan. Pelakor yang diberi kenyang di tengah kelaparan. Pelakor yang diberi kenyamanan saat kesusahan melanda. Pelakor yang diberikan perlindungan saat terancam. Pelakor yang dianggap putrinya sendiri.
*RS*
Mata cilik itu terhenyak saat netra mereka bertemu pandang. Reflek melepaskan kalungan lengannya. Terlihat salah tingkah saat menyapa Rindu melalui anggukan kepala. Rindu menatap sinis. Terlambat! Segala aksi dan perbuatan mereka terekam jelas di memori berkapasitas unlimited.
Suasana mendadak kaku dan hening. Laki-laki itu memutar kursi kebesarannya ke samping. Tatapan yang diberikan kepada pelakor cilik membuat Rindu muak. Perempuan muda mengangkat dagu, menunjuk ke arah Rindu yang termangu di depan pintu.
Menoleh! Laki-laki itu bangkit dari kursi saat mendapati sang istri yang membatu. Melangkah, membimbing wanita bergamis yang menyapu lantai dan berhijab syari. Mendudukan di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Rindu melengos saat bokongnya mendarat di busa empuk. Membelakangi sang suami sembari menyusut jejak airmata.
Gadis muda itu berlalu, membawa beberapa map yang didekapnya di dada.
“Dek!” Rizal menyapa.
Tak ada reaksi, wanita itu tetap membisu dengan kepala yang menunduk.
“Dek.” Panggilan kedua.
Lagi-lagi Rindu hanya diam menduduk.
“Rindu Malika Nasir.” Menjadi kebiasaan Rizal memanggil istrinya dengan lengkap saat sang wanita tak mengubris panggilannya.
Rindu menggangkat kepala dengan airmata yang kembali membanjiri pipi. Rizal memegang dagu, mencegah kepala itu kembali menunduk. Laki-laki itu mendekat. Mengecup kedua kelopak mata yang memerah secara bergantian. Rindu menghindar saat bibir nan penuh itu hendak mampir ke bibirnya.
Rizal termangu saat mendapat penolakan. Kecupannya hanya mengenai samping bibir sang wanita. Kembali diraihnya dagu Rindu. Menatap penuh selidik manik mata yang mendadak sayu.
“Aku menyerah!” Bibir tipis itu bergetar.
Rizal termangu, memaknai kata yang terlontar.“Dek!”
“Aku menyerah! Sepuluh tahan bersama. Berharap cinta kan datang menyapa hatimu. Ternyata semua sia-sia, penantianku takkan berbuah manis.”
“Dek, ini tak seperti yang ada di pikiranmu.”
“Peduli apa abang dengan pikiranku.”
“Tentu aku peduli, aku suamimu.” Rizal menekankan kata suami pada pernyataannya.
“Suami yang bertahun-tahun menyakiti hatiku.”
Rizal terpojok. Ucapan sang istri telak membuatnya terbungkam.
“Aku memilih mundur. Pergilah! Cari kebahagiaanmu.”
Rindu melangkah keluar, deraian airmata tak jua berhenti. Hatinya terlanjur sakit atas perlakuan sang suami. Perempuan ini bisa memahami masa lalu, tidak dengan kenyataan sekarang. Bersamanya, butuh waktu yang panjang hingga sang suami bisa bercanda dan tertawa lepas. Namun dengan gadis belia itu, dengan mudah sang suami menampakan keceriaannya.
Cemburu! Istri mana yang tak cemburu mendapati suami bebas bersentuhan dengan wanita lain. Dengannya sendiri, butuh waktu tiga tahun hingga ia bisa menjadi istri seutuhnya. Mendapatkan hak serta menunaikan kewajiban menjalani malam-malam panjang bersama.
Kekecewaan pada suami membuat wanita ini kehilangan separo kesadarannya. Terus melangkah dan hirau dengan keadaan sekitar. Kondisi lalu lintas yang lengang membuat kendaraan memacu kecepatan semaunya. Tepat di bawah jembatan penyebrangan, beturan keras terjadi. Tubuh mungil terlempar jauh hingga beberapa meter dan kepala membentur aspal dengan keras. Darah mengucur deras, membanjiri jalanan. Akibat benturan, bisa dipastikan kepala yang tak berpelindung itu retak.
“Rindu ....”
***
Next?
Like 'n coment Please.
CB terbaruTBC
Tangerang, 11 Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri yang Terbuang
EspiritualSegala cara dilakukan oleh keluarga Andre menentang dan menghancurkan pernikaha nnya dengan Anindya. Mulai dari percobaan pembunuhan sampai menggugurkan bayi yang ada dalam kandungan Anin. Menghadirkan madu di tengah pernikahan mereka. Fitnah keji...