Edisi Revisi Part 1 - Keteguhan Andre

4.8K 82 0
                                    

Part 1

Happy reading, jangan lupa like dan tinggalkan jejak🙏🏻🙏🏻

Ketajaman lidah itu menancap tepat di ulu hati Anin. Hinaan dan makian yang dilontarkan perempuan paruh baya itu bak gunung memuntahkan lahar yang ribuan tahun terpendam. Lahar itu terus mengalir, tak memperdulikan akibat dari luncurannya. Panas, membabat habis dan membakar semua yang dilaluinya.

Tubuh Anin gemetar, sehina itukah dirinya di hadapan sang calon mertua? Hanya karena hidup sebatang kara bertemankan duka dan lara. Hidup dan besar di panti asuhan.

Sejenak lahar berhenti mengalir tapi netra tajam itu begitu nyalang seolah menguliti tubuh Anin. Tatapan kebencian begitu nyata, membuat tubuh Anin luruh, menunduk. Kedua tapak tangannya basah, dingin dan saling bertautan di paha. Gemuruh di dada semakin kencang, membuat nafas tercekat di tenggorokan.

"Dengar, Andre! Sampai kapanpun mama tidak akan menyetujui pernikahan kalian," murka Ratih. Giginya gemertak menahan emosi.

"Andre tetap menikahi Anin, dengan ataupun tanpa restu Mama," balas Andre tak mau kalah.

"Jika itu terjadi, jangan harap kamu masih bisa menyandang nama keluarga Adiningrat. Tak sepeser pun kamu berhak atas harta keluarga ini." Ratih berharap dengan ancaman tersebut Andre membatalkan niat menikahi gadis yang menekur di hadapannya.

"Andre tak perduli dengan harta yang Mama gadang-gadangkan, begitu juga dengan nama keluarga Adiningrat."

"Semua gara-gara perempuan ini, perempuan miskin yang hanya membutuhkan harta dan numpang hidup layak bersamamu." Kata-kata yang menyembur semakin panas.

Kepala itu semakin merunduk dalam saat mendengar semua hinaan. Tak sanggup rasanya menampakan wajah. Buliran bening mengalir deras di pipi nan mulus. Ingin rasanya membantah ucapan itu namun lidah terasa kelu.

Emosi Andre pun memuncak, merutuki setiap ucapan yang keluar dari mulut ibunya. Andre seolah tak mengenali perempuan paruh baya yang berdiri di hadapannya. Seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang tak ditemukan lagi semenjak dia membawa Anin ke rumah. Apakah hanya karena Anin seorang gadis yang dibesarkan di panti asuhan, bisa membawa aib bagi kehormatan keluarga besar Adiningrat?

Andre meraih dan menarik tangan Anin pelan. Tak bergeming.

"Nin," panggil Andre lembut.

Perlahan Anin mengangkat wajahnya. Dada Andre tersentak, mendapati mata bening itu sembab serta pipi dan puncak hidung bangir yang memerah. Hatinya terasa perih, rasa bersalah menghantui perasaan Andre melihat kehancuran perempuan terkasih.

Andre merengkuh bahu Anin, melangkah meninggalkan ruang tamu yang terasa panas dan hampa udara. Pendingin ruangan dan kemewahan yang ada di dalamnya tak mampu lagi memberikan kenyamanan bagi penghuni yang ada di sana.

"Stop, Andre!" Suara ratih menggema.

Tak diperdulikan perintah itu, Andre terus melangkah. Mengayunkan kaki menuju pintu berkayu jati dengan ukiran Jepara.

"Sebelum keluar dari rumah ini, tinggalkan semua fasilitas yang kamu dapat dari Keluarga Adiningrat," kecam Ratih.

Andre menghentikan langkah. Tanpa membalikan badan dikeluarkan kartu kredit dan ATM dari dompet yang terdapat di kantong celana bagian belakang. Dirogohnya celana sisi kanan. Kunci kendaraan roda empat serta beragam kartu diletakan begitu saja di atas pajangan yang terdapat di depan pintu.

"Sekali kamu keluar dari rumah ini, jangan harap bisa kembali. Kelak kamu akan menyadari siapa perempuan itu. Tanpa harta tak mungkin dia akan bertahan. Kamu pasti ditinggalkan! Jika itu terjadi, penyesalan tak'kan membuat mama luluh dan menerimamu." Ratih semakin murka. Rentetan ancaman keluar dari bibirnya.

Tak acuh dengan ucapan mamanya. Andre kembali melanjutkan langkah.

"Maafkan Andre, Ma," gumam Andre sembari merengkuh bahu Anin dan membimbing keluar dari rumah masa kecilnya.

***

Andre terpaku. Manik matanya tak lepas memandang hilir mudik kendaraan. Sementara gadis di sebelahnya begitu gelisah. Terlihat dari kedua tangan yang saling berkait sembari mencengkram ujung bawah kemejanya.

"Maafkan Anin, Mas!" Akhirnya kata itu pun lolos dari bibir yang bergetar.

Andre merengkuh bahu Anin yang berguncang. Isakan pun lolos dari bibir mungil tanpa polesan itu.

"Mas mencintaimu! Apapun yang terjadi, kita tetap menikah. Apakah kamu sanggup dan mau hidup bersama mas?"

Anin memutar badannya. Bertemu pandang dengan mata elang yang menyiratkan kasih nan tulus. Tanpa ragu, akhirnya gadis lugu itu pun menganggukan kepala.

"Semua tak'kan mudah. Kita mulai semua dari nol. Mas punya sedikit tabungan. Uangnya kita gunakan untuk modal membuka usaha kecil-kecilan. Untuk rumah kita cari kontrakan dulu. Tak usah besar, yang penting kita punya tempat berteduh," papar Andre memberikan keyakinan pada gadis yang masih sesunggukan.

Tangisan lolos dari mulut Anin, dengan serak gadis itu berucap, "tinggalkan Anin! Mas Pergilah! Kembali pada orangtua."

Andre terpana. Mata elang itu membola, mulutnya menganga mendapati kata yang tertangkap indera pendengarannya.

"Apa maksudmu, Nin? Apa kamu tak mencintai mas?" Andre menatap Anin bimbang. Ketakutan jelas membayang di wajah berahang tegas itu.

"Aku sudah menduga ini bakal terjadi. Hidup bergelimang harta, fasilitas yang serba ada, tak'kan Mas Andre dapat lagi jika hidup bersamaku. Jangan mas ragukan rasa cinta dan sayang ini! Aku tak mau melihatmu menderita dan terbuang dari keluarga. Kembalilah!" pinta Anin.

"Tidak, Anin! Kita tetap akan menikah! Mas, nggak mau kehilanganmu!"

Andre memeluk tubuh mungil Anin. Perempuan sederhana bertutur kata lembut ini telah mencuri hatinya. Wajah nan polos, serta senyum malu-malu selalu membayangi Andre. Tak mudah bagi pemuda itu mandapatkan dan menggapai cinta si gadis belia. Perjuangan dan usahanya membuahkan hasil setelah hampir satu tahun meyakinkanAnin.

***

Pagi ini kesibukan di panti asuhan bunda dimulai sejak subuh. Bunda Siska-perempuan paruh baya-pengelola panti, memasuki kamar yang biasa ditempati anak asuhnya. Si gadis remaja terpaku di pinggir ranjang single yang terbuat dari besi. Kepalanya menunduk, seperti ada beban berat yang dipikirkannya.

"Nin." Perempuan paruh baya itu menyentuh lembut bahu Anin.

Anin langsung menyeruak ke pelukan ibu asuhnya. Membenamkan kepala di dada menumpahkan tangis.

"Haruskah Anin mundur, Bun?"

Bahu itu berguncang hebat. Isak dan air mata tak dapat lagi dibendung.

"Semua keputusan bunda serahkan padamu, Nak. Karena Anin lah yang akan menjalani semua kehidupan ini. Namun, sebelum itu pikirkan dan timbang dengan matang. Jangan menyesal dikemudian hari."

Perempuan bijak itu membingkai pipi Anin. Mengecup kening dan menghapus jejak air mata yang membanjir.

"Sholat subuh! Mohon pada Allah meyakinkan hatimu terhadap pilihan yang akan diputuskan. Tiga puluh menit bunda datang, mendengar apapun keputusanmu."

Perempuan paruh baya itu melangkah keluar kamar. Menatap pada gadis yang hampir sepuluh tahun menemani harinya.

Tiga puluh menit berlalu. Disinilah perempuan paruh baya itu berada. Duduk berhadapan dengan gadis yang masih berbalut mukena putih.

Gadis muda itu tampak bimbang, matanya menatap harap. Meminta sedikit kekuatan pada sang bunda.

"Maaf Bun, Anin tak bisa ...."

***









Istri yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang