“Aku cinta kamu!”
Dea hanya mendongak sebentar, sekadar tersenyum lalu meneruskan bacaan. Aku menarik kursi di depannya, duduk, dan diam memerhati setiap gerakannya.
Setiap hari ku katakan pada wanita di hadapanku ini bahwa aku mencintainya. Setiap hari pula ia hanya mengangguk, tersenyum, atau menatapku. Dia tidak pernah menjawab.
Terluka? Kecewa? Tentu, tentu saja. Sering sekali aku merasakannya, terlalu sering bahkan. Namun seiring bergantinya waktu, aku menerima respon pasifnya itu. Kuanggap dia masih terluka atas sikap kekasihnya sebelum ini.
Ini menjadi tantangan buatku. Suatu hari nanti, Dea pasti membalas ucapanku. Entah ucapan yang sama, atau sebaliknya. Aku pasti siap untuk hari itu.
Suatu hari, doaku terkabul. Dea membalas ucapanku. Sayangnya bukan ucapan yang sama.
“Apa kamu tidak bosan, menanyakan pertanyaan yang sama setiap hari?” tanyanya setelah aku bilang cinta.
Aku tersenyum, merapikan anak rambut yang menutupi telinganya. “Tidak, aku tidak pernah bosan. Tidak akan pernah bosan. Sampai kamu membalas dengan kalimat yang sama,” jawabku pasti.
Ia berdecak. “ Hatiku sudah mati untuk mencintai!” serunya.
“Hatimu tidak mati. Ia hanya sedang tidur, menunggu seseorang yang tepat untuk kembali membangunkannya dan menikmati dunia. Dan kamu tahu?”
Ia mengerjap, “Apa?”
“Aku sedang berusaha membangunkannya.”
Ia nyaris tak berkedip menatapku. Untuk pertama kalinya, dadaku membuncah bahagia luar biasa. Keyakinan bahwa tak lama lagi Dea akan kumiliki semakin bercokol kuat di hati.
Tiga bulan setelah hari itu. Keadaan masih sama, Dea masih sama. Yang berbeda hanya ketika kuucapkan kata cinta, rona-rona merah muda menghiasi pipinya. Ia kerap menunduk malu jika aku terlalu lama menatapnya. Ya Tuhan, dia begitu manis!
Hampir setahun ternyata. Tidak banyak yang berubah dengan hubungan kami. Namun kuputuskan untuk mengambil keputusan besar, menikah. Usiaku sudah cukup matang, pekerjaanku juga mampu menjamin kehidupan keluargaku tercukupi.
Pagi ini aku bangun lebih awal. Melakukan aktivitas seperti biasa, mengantar Dea bekerja, dan kembali kerumah. Aku mengambil cuti hari ini. Setelah zuhur, kusiapkan diri. Bersama Ayah dan Ibu, mengunjungi kedua orang tua Dea. Tanpa sepengetahuannya.
“Apa kamu bersungguh-sungguh ingin menikahi Dea, Han?”
Aku menarik napas, “Iya, Om. Saya bersungguh-sungguh, dan yakin sekali ingin menjadikan Dea istri saya. Saya mohon izin dan restu dari Om dan juga Tante.”
“Tentu, tentu saja Tante akan berikan, Han. Asalkan kamu berjanji tidak akan menyakiti dan membuat Dea menangis,” jawab Tante Sara.
“Saya tidak bisa berjanji untuk tidak membuat Dea menangis, Tan. Namun saya berjanji untuk tidak menyakitinya barang secuil.”
Setelah hening cukup lama. “Baiklah, kamu mendapat restu kami.”
Berdiri di depan Dea yang tampak bingung dengan pakaian formalku. Aku mendekatinya perlahan.
“Hai, De.”
“Hai ....”
“Aku ingin bertanya. Apakah selama ini aku begitu membosankan kamu?”
Ia menyentuh bibirnya dengan ujung jari, berpikir sesaat sebelum menjawab. “Tidak juga,” jawabnya pelan.
“Apakah hatimu sudah mulai terjaga dan menyadari kehadiranku selama ini?”
Ia diam. Tangannya berpindah mengusap pelan tengkuknya.
“M-mun-king.” Ia tergagap. Aku tersenyum, dan selangkah mendekat.
Ujung telunjukku menyentuh pipinya yang memerah.
“Apa arti warna ini, De?” Ia menepis jariku.
“Ih ... apaan, sih! Warna apa?” Wajahnya semakin merah.
“Tadi aku kerumahmu.” Ia mendongak. Sebentar, lalu kembali menunduk. Pipinya semakin merah, kerutan di antara alisnya menandakan ia sedang berpikir.
“Aku meminta izin Om, dan Tante untuk melamarmu.” Ia sontak mendongak, mulutnya terbuka.
“Han ....” Aku mengangguk, dan tersenyum.
“Dea Lestari, aku mungkin cukup membosankan hidupmu, tetapi aku tak pernah berpaling darimu. Aku tidak akan menjanjikan apa yang kamu ingin dengar, tetapi aku akan selalu berusaha mewujudkan apa yang kamu inginkan.”
Aku menggenggam tangannya, menatapnya penuh cinta. “Aku akan mencintaimu hingga bunga terakhir mati.”
Kuserahkan sebuket bunga yang kusembunyikan di balik punggung. Ia mengusap air mata, lalu menerima.
“Mencintaiku hingga bunga terakhir mati,” Ia menatapku cemberut, “mungkin hanya beberapa jam saja bunga-bunga ini sudah sekarat,” protesnya.
Aku tertawa. Menjentikkan daguku kearah bunga-bunga itu. “Kita lihat saja.”
Ia menunduk. Mengamati bunga-bunga mawar yang kuberikan. Kemudian ia tertawa kuat. Nyaris tersedak isaknya sebelum berkata, “I do!”
Ya ampun! Aku, kan belum bertanya, De!
Ia terus tertawa. Sambil menunjuk setangkai bunga mawar plastik yang terselip di antara puluhan mawar merah segar. Ya, tentunya kalian paham bukan, mengapa Dea tertawa bahagia dan langsung menerima lamaranku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story About LOVE
Kısa HikayeIni tentang cinta yang enggan memilih. Ini tentang persahabatan yang penuh ujian. Ini tentang hidup yang butuh pilihan... Kumpulan cerita pendek.