22. Tenteram Yang Tidak Tenteram

51 10 2
                                    

Hari ini berjalan seperti biasa,

Kilauan-kilauan bak cokelat menggenangi lubang jalanan beraspal yang entah kenapa bisa berlubang, mungkin mereka jarang sikat gigi.

Celana olahraga gue marak akan bercak lumpur dikarenakan malasnya tangan ini untuk sekadar ngebetulin tali sepatu yang menjuntai-juntai tanpa arah. Ditambah lagi ada bocah SD yang pake sepeda teh gelas prepet-prepetnya yang menghamburkan seluruh air hujan yang belum sempet dijemput matahari ke awan itu ke gue.

Bahkan beberapa dari air mata langit itu hinggap di mulut gue ketika hendak menyumpah-serapah-anjrit-babi-monyet-jancok-asu. Baru hendak, karena lumpur hujan pun nggak nge-ridha-in gue buat mengatakan hal yang tidak sepantasnya di dengar oleh para bocil tak dikenal itu.

Tapi nggak apa,

Lewat pizza Acan beberapa minggu lalu, ngebuat gue sanggup berdamai dengan rasa becekan di musim hujan ini.

Eits,

Bukan berarti kalo dahaga gue bisa sembarang neguk aja ya!

Aku juga manusia berotak walaupun bego, sahabat.

Belakangan ini otak gue sering banget dimasuki piring-piring kurang kerjaan yang menggeser eksistansi pikiran gue yang sering overthinking akan kehidupan, cogan, makanan, bahkan Barney yang tiba-tiba udah bisa nyari nafkah sendiri semenjak gue nggak mengawasi pergaulannya sama tokek di belakang bufet rumah gue.

Tapi nggak juga sih.

But y'all know, hidup gue yang kurang drama ini perlu didramatisir biar ada kesannya, walaupun nggak ada pesan jelasnya.

Dalam rangka menjernihkan pikiran gue, gue nyoba main tatap-tatapan sama mata yang gue gambar di meja pake tip-x.

Dan tebak,

Gue kalah dong amjrid-!!

Kira-kira dia punya ilmu hitam apa? Kok bisa-bisanya ngalahin juara satu lomba menatap masa lalu terlama tingkat khayangan ini hAHh-¿!!

Entahlah, tapi yang jelas gue udah langsung bikin janji temu buat nanya tentang ini ke dukun.

"Sitijen."

"SITI."

"WINAYA SITI JENIANDRA BINTI POLAN BIN POLAN, WOEY!!"

Nggak cuma gue, bulu idung gue pun ikut terkaget-keget ngedenger high note Mayang yang kayaknya dikit lagi aja, bisa ngalahin Rossa.

"Apaan sih, Yang?"

"Ya lo kenapa melotot-melotot gitu macam sapi bengek?"

"Heleh, emang pernah lo liat sapi bengek?" Tanya gue pake nada nyebelin.

Mata Mayang bak bola pingpong sebelum ngejawab, "Ee... p-pernah kok! waktu di Arendelle!"

"Iya deh, suka-suka lo," Kata gue sembari ngorek kuping, ngeliat hasilnya, dan nempelinnya di bawah meja selepas iseng ngebauinnya juga. "Eh, btw, Yang---"

"Santai bener sih lo manggil gue Yang-Yang-an," Protes Mayang.

"Ya emang itu nama lo blekok, masa gue panggil lo Warti?!"

Mayang ngedehem doang sembari mainin bolpointnya, "Yaudah, lanjut."

"Jadi---eh bentar, tadi gue mau ngomong apa deh?"

"Ya mana gue tau, lo yang mau ngomong."

"Tuh 'kan lupa gue, lo sih!" Kata gue sambil nabok bahu Mayang, nggak keras kok. Cuma agak.

Walau begitu, doi pun sewot, "Lah kok gue sih?!"

"Ya masa gue harus marahin diri gue sendiri? Kasian, dia limited edition!"

Sepinggan Tubir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang