32. Traktiran Berisik (END)

36 8 2
                                    

Pertandingan selesai.

Dan seperti yang diharapkan, kita kalah.

Ya, biarpun semangat gue membara waktu itu, tapi gue juga masih punya jiwa imsecure seperti manusia lainnya. Lagipun yang ngeganggu fokus gue sampai-sampai tumpukan piring, kuali, mangkok, gelas, dan juga sendok garpu itu rubuh adalah krbingungan gue dalam menyombongkan kemenangan ini nanti.

Gimana cara gue buat pura-pura kalem dan menganggap kemenangan ini adalah hal biasa yang bisa gue lakuin seperti agaknya orang berkedip--kalo membalikkan telapak tangan ribet, kudu ada niat dan tujuan kenapa harus melakukan hal itu tiba-tiba.

Tapi sayang seribu sayang, kesombongan gue nggak sampai pada pelukan. Tim gue kalah buat yang kedua kalinya.

Biarpun begitu, gue harus bisa pulang dengan kepala tegak dan membawa sisa-sisa hasil usaha gue. Ya kalo nggak gue bisa nabrak orang, dan orang itu adalah cogan, kemudian gue diomelin, dia benci gue, setelah benci gue dia jadi cinta sama gue! Nanti nasib keenam doi gue gimana woy!

Ribet 'kan kalo sampe gue nikahin tujuh orang sekaligus? (Di mimpi maksudnya, kalo nyata gue sadar itu nggak mungkin biarpun cuma sepotong doang).

Terlepas dari itu, akhirnya gue ketemu contoh nyata dari kutipan yang pernah gue temuin entah dimana itu, bunyinya, "Usaha emang nggak pernah mengkhianati hasil, tapi hasil hobinya mengkhianati usaha."

Itu bisa juga diibaratkan dengan seorang kekasih yang percaya kalau pacarnya itu tidak akan mencongkel tabungannya sebelum penuh, tapi pada kenyataannya si pasangan yang dipercaya malah mengambil uang tabungannya secara rutin sampai kosong melompong. Biarpun nggak tau hubungannya apa, tapi itu pengkhianatan besar!

Gue mau beli bakso.

"Jun, Jun. Traktir gue bakso dong!"

"Apa kita kenal?" Ajun tersenyum manis.

"Ah, ayolah. Hibur gue yang abis kalah ini," rengek gue sambil guncangin tangannya yang masih bau daun pisang--efek sabun cuci buatan Sobari.

"Lah, yang kalah 'kan bukan lo doang. Gue juga, yang lain juga."

"Nah, kalo gitu traktir kita semua aja. Setuju nggak?" Gue noleh ke yang lain, mereka jalan di samping kanan gue dengan beragam ekspresi wajah. Yang lebih dominan sih, capek, tapi ganteng. Kecuali Merpati juga Dara tentunya, karena mereka berdua adalah unggas betina.

"Setuju!" teriak mereka kompak.

"Setuju banget, Bapak udah sehari nggak makan bakso loh. Nanti kamu saya kasih poin tambahan deh, Reynan," kata Pak Sigit antusian.

Ajun menepuk jidat. "Sebentar, ini masalahnya ada, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan--"

"Gua juga dong, Jun!" pekik Bang Ogi.

"Loh, kok lo masih di sini Bang?"

"Kan lo pada yang culik gua, gimana sih!"

"Oh iya lupa. Eh-- nggak ada traktir-traktiran ya! Gue nggak bawa duit," protes Ajun, lalu doi merogoh kantong celana abu-abunya. "Nih, gue cuma ada tiga rebu buat nanti naik angkot. Beli bakso tusuk aja cuma dapet enam biji, nggak bakal kenyang."

"Kere lu."

"Lambe siapa itu?!"

"Lambe gue ngapa lo?" tantang Mayang. Kayaknya bocah ini masih belum puas sama sesi ributnya sama Zaenal tadi, tapi ngajak ribut Ajun adalah pilihan yang teramat salah.

"Ngata-ngatain gue kere, ya udah lo aja yang traktir nih pada! Pangeran 'kan lo? Dari ujung rambutmu sampai ujung kakimu semuanya aku suka!"

Gue dan yang lain sweatdrop.

Sepinggan Tubir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang