Bagian 22

4.9K 564 115
                                    

Bagian 22

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 22

.

.



Guyuran hujan yang menghantam tubuhnya seolah bukan apa-apa, meskipun matanya sudah memerah entah karena air mata atau air hujan yang kerap kali menerobos masuk, atau bahkan keduanya?

Kakinya sudah kebas akibat berlarian dan berjalan ke segala arah yang mungkin akan dilalui si kembar, tenggorokannya pun sakit karena terlalu banyak berteriak. Ia rasa ia hampir gila, atau bahkan sudah gila dengan menanyai setiap pejalan kaki dengan emosi, apakah mereka melihat dua anak kembar atau tidak?

Hari sudah mulai gelap, tubuh dan batinnya lelah, bibirnya sudah membiru karena dingin, namun tidak bisa berhenti. Frank dan Nanon masih belum ia temukan, lalu bagaimana bisa ia berhenti? Mereka pergi juga tanpa membawa apa-apa selain pakaian dan kesalahpahaman. Lagi-lagi dadanya merasa tercubit, ia kembali menyalahkan dirinya.

Hujan sudah mulai berhenti, meninggalkan rintik kecil yang masih setia menemani Tawan. kemudian tangannya mengepal erat ketika manik obsidiannya menangkap bayangan dua anaknya yang tengah berjongkok di bawah pohon dengan posisi saling berpelukan.

"Frank! Nanon!"

Ia berlari menyeberangi jalan tanpa melihat kanan dan kiri, tidak memedulikan juga bunyi klakson, yang ia pikirkan adalah dua anaknya ynag berada di seberang jalan sana, ia harus segera ke sana dan menjelaskan semuanya pada mereka.

Suara klakson yang begitu keras dengan sinar lampu yang menyilaukan mata, Tawan berhenti melangkah, menoleh ke samping dan melihat sebuah mobil besar yang semakin dekat.

TIIIIIIIN

***

Jemarinya tertaut dalam, berulang kali berdiri dan duduk namun tidak membantu sama sekali, bahkan dekapan hangat sang kekasih pun tidak berguna saat ini. kegelisahan dan ketakutan seakan memaksa dirinya untuk menangis, perlahan dan tanpa sadar air matanya telah menetes untuk kesekian kalinya. Maniknya terus menatap pintu operasi yang lampunya masih berwarna merah, tanda bahwa operasi masih berjalan.

"Apakah ada walinya disini?"

Pintu ruangan terbuka dengan membawa seorang Dokter dan satu orang suster yang tampak tergesa namun mencoba terlihat tenang.

"Saya! Saya adiknya. Bagaimana kondisi kakak saya, Dokter?"

Chimon meremas lembut lengan Pluem, hanya untuk sekedar menenangkan dan memberi sinyal bahwa kekasihnya itu tidak sendirian.

Sang Dokter terlihat mengambil nafas sebelum menjelaskan. "Kondisinya yang sedang tidak baik ditambah serangan panik membuat pasien semakin menurun. Maaf, tapi pasien harus segera mengoperasinya."

AFFECTION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang