---Terlalu pagi untuk changbin beranjak dari tempat tidurnya. Bahkan langit paris yang mendung pun mendukung kegiatan bergulung dalam selimut tebalnya.
Jam menunjukkan pukul 10.30 pagi, sebenarnya ini sudah menjadi jam sarapan changbin. Tapi tetap saja, changbin malas untuk turun kebawah dan mencari roti untuk sarapannya.
Alhasil, disinilah changbin. Tubuh berbungkus selimut tebal dengan buku instrument yang dia buat selama dua tahun ini.
Memilih satu instrument dan mulai memainkannya dengan piano tak berwujud di laptopnya.
Menyenandungkan lirik-lirik asal yang lewat dipikirannya.
Dua jam ia lewati hanya dengan mengotak-atik instrument dan lirik-lirik yang dibuatnya, sekarang saatnya ia turun kebawah dan mencari makanan untuk mengisi tenaganya.
Turun dengan lift dari lantai 21, changbin hampir terpeleset karena kaget.
Seseorang yang berambut baby pink dengan box mencurigakan ditangannya menyambut changbin ketika pintu lift terbuka.
"Anjir bikin kaget aja."
"Hai, changbin!"
"Minggir gue mau lewat."
Lelaki tadi, Felix, mengenggam tangan changbin untuk menghentikan langkahnya.
"Mau kemana?"
"Bukan urusan lo kan?"
"Padahal gue mau mampir sekalian kenalan lebih lanjut sama lo. Gue juga bawa cookies nih."
Changbin melihat kearah box mencurigakan tadi, dengan tatapan mencurigakan juga.
Mana ada cookies diletakkan didalam box berwarna hitam pekat dengan hiasan-hiasan yang tidak biasa itu.
"Gausah ngibul deh. Mana mungkin itu cookies."
"Dih ga percayaan."
"Udah ah gue mau pergi. Laper."
Felix merentangkan tangannya melarang changbin pergi.
Sedangkan changbin dengan tatapan heran sekaligus terganggu mencoba menyingkirkan felix dari hadapannya.
"Udah sih makan cookies dari gue aja kenapa? Gue susah nih bikinnya."
"Gaada yang nyuruh lo bikin kan?"
"Cih, emang gaada hati." Kata felix pelan mendekati berbisik.
"Gue denger lo ngomongin gue."
Felix berdecak kesal.
"Yaudah, sini coba gue coba dulu biar lulus sensor."
Felix membuka box hitamnya.
Iya, isinya memang cookies. Dan bau khas cookies yang baru saja dipanggang itu membuat pertahanan changbin agak goyah.
Ia mencicipi satu cookies tadi.
Mengunyah.
Mengunyah.
Mengunyah.
Dua cookies habis.
"Yaudah, berhubung gue males cari makan. Dan lo bawa cookies yang ga seberapa ini, ikut gue."
Felix tau cookiesnya pasti enak. Makanya changbin perbolehkan ia mengunjungi apartmentnya.
---
Masuk kedalam apartment changbin.
Dinding dengan warna abu-abu putih, dingin, dan banyak alat musik didalamnya.
Beda dengan apartment milik felix yang berwarna cream keemasan dengan sedikit barang dan banyak games.
"Lo suka musik?"
"Gue producer."
Felix berbalik menatap tak percaya.
"Serius? Ga percaya gue."
"Serah lo sih."
Changbin membuka laptopnya dan memainkan salah satu instrument yang ia buat, sambil memakan cookies buatan felix tentunya.
Instrument tersebut menghentikan pergerakan felix. Instrument yang mengandung banyak emosi itu tersampaikan jelas dan menusuk felix. Felix hampir saja menangis.
"Dih sedih banget lagunya. Siapa penyanyinya?"
"Itu instrument yang gue buat."
"Oh ternyata lo ga bohong."
"Lo aja yang ga percayaan."
Felix mendudukan dirinya disamping changbin dan ikut memakan cookies buatannya.
"Cookies lo enak."
Felix tersenyum bangga.
"Jelas, gue emang pinter banget masak."
"Oh kalo gitu lo buatin aja gue masakan tiap hari, sebagai gantinya gue jadi temen lo."
"Dih pemerasan itu namanya."
Changbin tertawa.
Felix terdiam, itu kali pertama ia melihat changbin tertawa.
"Lo bisa ketawa ya ternyata?"
"Anjir. Iyalah, lo pikir gue bukan manusia apa?"
"Iya. Gue pikir lo robot."
"Sialan lo."
Sekarang giliran felix yang tertawa.
"Mau minum apa, fel?"
"Bebas sih."
Changbin mengambil wine dikulkasnya.
"Eh anjir gue gamau mabok ya!"
"Tapi lo bilang terserah."
"Ya ga harus wine juga."
"Kalo lo mau soju gue gapunya."
"Air biasa aja. Gue gabisa minum alkohol."
Alhasil, changbin mengambil satu gelas air mineral dan wine untuk dirinya.
Tak terasa, hari sudah hampir malam. Karena keasikan bertukar cerita, mereka tak sadar akan waktu.
Itu pun sadar karena felix melihat kearah jendela yang memantulkan cahaya orange.
"Udah sore, kak."
Iya, felix memutuskan memanggil changbin dengan embel 'kak'. Karena changbin lebih tua satu tahun darinya.
"Gue pulang ah. Mau masak."
"Makan diluar aja, fel."
"Ga deh, gue mau hemat kak."
"Udah gue yang bayar. Sebagai balasan cookies tadi."
Felix dan changbin pun keluar dari apartment changbin dan berjalan mencari restoran untuk dinner mereka.
---
Halo, ini fluffyseo. Terimakasih sudah mampir di book ini. Maaf ya kalo membosankan. Dan maaf juga banyak kata atau penulisan yang masih cemong-cemong.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARIS -Changlix ✔
Fanfiction"I thought we were match." "Who told you that we didn't macth? We are perfect, honey." hi, there! welcome to changlix. ©Fluffyseo, 2020. [HIGHEST RANK] #4 Changlix - 081020