Sakit(saja)

265 27 3
                                    

Bajunya basah. Bibir yang memucat karena kedinginan. Tangannya bergetar.

Sangat menyedihkan kondisi Felix saat masuk ke ruang rawat inap Lino.

Wira langsung pergi keluar untuk mencarikan handuk untuk Felix yang kehujanan.

Deva melepaskan jaketnya dan mencoba menghangatkan Felix dengan memeluknya. Chris ikut memeluk Felix yang menggigil kedinginan.

"Lino tu nggak papa, Lix. Kamu seenggaknya beli payung. Bukan malah hujan-hujan kayak gini."

Chris bukannya ingin mengomeli Felix, tapi akan sangat tidak lucu jika tiba-tiba Felix jatuh demam.

"Iya Lix. Harusnya lo telpon gua buat jemput lo. Lo berarti kesini tadi jalan sambil hujan-hujan?"

Felix menggeleng.

"Lari. Kalau jalan nggak sampe-sampe lah, bego."

Chris tergelak. Meskipun ini bukan saat yang tepat untuk tertawa, melihat Felix yang menyadarkan nalar Deva membuatnya tidak bisa menahan tawa.

"Mas, itu Lino beneran nggak papa?"

Chris mengangguk.

"Kok nggak bangun?"

"Namanya juga lagi dalam pengaruh obat tidur, bego." Kata Deva judes.

Chris mau tidak mau harus tertawa lagi.

Wira kembali dengan handuk ditangannya.

"Dana mau kesini juga. Udah mas suruh bawain baju ganti. Tunggu bentar ya, Lix." Kata Wira.

Felix hanya bisa mengangguk. Matanya tidak bisa berpaling dari sosok Lino yang terbaring dengan mata tertutup di ranjang rumah sakit itu. Ada selang oksigen yang terpasang dihidung Lino.

Felix melepaskan rangkulan tangan Deva dari pundaknya. Berjalan perlahan menghampiri sosok Lino yang tengah tertidur itu.

Felix menggenggam tangan Lino. Dia bisa merasakan suhu tubuhnya yang menghangat. Tangan Lino bergerak sedikit karena merasakan dinginnya tangan Felix. Tapi dia masih belum membuka matanya.

"No, lo marah sama gua?"

Tidak ada jawaban pastinya.

"Lo tu kenapa, sih? Kesel sama gua? Marah? Atau kenapa?!"

Chris, Wira, dan Deva memahami dengan cepat situasi ini. Mereka bertiga keluar dari kamar inap Lino. Membiarkan kedua orang itu berbicara.

Felix mulai terisak. Dia mengeratkan genggaman tangannya dan menundukkan kepalanya.

"HEH KADAL! LO KENAPA SIH? SAMPE SAKIT KAYAK GINI TU LO NGAPAIN AJA? LO MARAH SAMA GUA KARENA GUA BAKAL KE AUSTRALI BUAT LANJUTIN STUDI? HEH. GUA KASIH TAHU YA. GUA TU NGGAK TAU, GUA MASIH NGGAK TAHU MAU JADI APA NO. GUA NGGAK TAU HABIS LULUS SMA MAU NGAPAIN, MAU BELAJAR KEMANA LAGI, MAU JADI APA, GUA TU NGGAK TAHU! KENAPA SIH LO SAMPE OVER THINKING KALO GUA BAKAL PERGI? GUA MASIH DISINI BEGO! HADAPIN AJA SIH APA YANG DIDEPAN KITA!"

Felix mengeluarkan seluruh isi pikirannya pada saat itu juga. Mau si kadal amazon ini mendengarnya atau tidak, Felix tidak peduli. Kalau Lino bangun nanti, dia akan menceramahinya lebih panjang lagi.

"Lix... tangan lo kok dingin banget..."

Felix terdiam. Isakan tangisnya memelan. Suara serak yang ia dengar adalah suara yang satu minggu ini menghilang. Lino bangun? Tapi Felix masih menundukkan kepalanya. Mempersiapkan diri jika memang benar Lino sudah bangun dari tidurnya.

Felix merasakan ada tangan yang mengusap puncak kepalanya.

"Lix.. lo kesini abis mandi terus nggak handukan, ya?"

"HEH. GUA KASIH TAHU YA. GUA TU KESINI LARI, BOR! NOH, DILUAR HUJAN NOH! GUA BELA-BELAIN LARI-LARIAN KESINI HUJAN-HUJAN! JALAN MEGAWATI SONO TUH YA, ADA KECELAKAAN! MACET! GUA TU SAKING KHAWATIRNYA SAMA LO SAMPE RELA-RELAIN KAYAK GINI! LO MALAH NGATAIN GUA NGGAK ANDUKAN ABIS MANDI?! MAU MATI AJA APA GIMANA?!"

Lino tersenyum simpul melihat Felix marah-marah sambil menunjuk-nunjuk dirinya dengan membara. Genggaman tangan Felix sudah terlepas dari tangannya. Lino berusaha mendudukkan dirinya sementara Felix masih saja sibuk mengomel.

"Gua tu khawatir No, sama elo. Lo tu harusnya kalo marah tu bilang kek alesannya kenapa, ada apa. Bukannya malah diemin gua kek anak ABG labil yang minta dipekain mulu. Lo tuh ya..."

Lino langsung menarik tangan Felix dengan cepat. Menghentikan omelan dari mulut kecilnya itu.

Felix yang terkejut langsung saja jatuh terduduk diatas ranjang Lino.

Lino tiba-tiba memeluknya. Suhu tubuhnya yang hangat sangat kontras sekali dengan suhu tubuh Felix yang dingin. Tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin menghangatkan sahabat kesayangannya ini.

"Maafin gua ya, Lix. Gua salah. Gua tahu gua salah. Harusnya gua nikmatin masa-masa ini apa adanya tanpa harus sibuk mikir lo akan pergi kemana selanjutnya. Masa depan emang bisa direncanain. Tapi kita juga nggak tahu, apa masa depan itu nanti akan sesuai sama apa yang udah kita rencanain. Maafin gua, Lix. Gua bener-bener salah dengan sikap kekanak-kanakan gua."

Lino mengeratkan pelukannya. Felix membalas pelukan Lino sama eratnya.






















"Emmm, okay. Sori ganggu ya. O iya Lix, ini baju ganti lo. Gua taruh sini ya. Yaudah ya, gua keluar ya. Kalian lanjut aja. Gua keluar sekarang kok ya. Kalian santai aja."




















Sialan.










Seorang Sadana Aktam Waranggana sepertinya salah paham.

JUST FRIENDS |•TAMAT•|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang