05.43 am - 06.00 am

251 34 8
                                    

Lino mematung saat berada didepan kulkas softdrink di minimarket dekat rumahnya.

Ah.

Cola. Sprite. Fanta. Pepsi.

Ah.

Nggak. Gua nggak boleh minum. Jangan. Bentar lagi ujian.

Lino menutup matanya. Menarik napas perlahan. Mencoba menenangkan jiwanya yang bergejolak.

Ah.

Cola. Sprite. Fanta. Pepsi.

Ah.

Lino menggeleng dengan kuat.

NGGAK! Jangan Fellino!

Tapi entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Lino meggaruk kepalanya frustasi, kemudian mengambil dua kaleng cola dan memasukkannya kedalam keranjang belanjaannya.

Setelah selesai membayar belanjaannya dan kuar dari minimarket, Lino menghela napas kasar.

"Ah. Ngapain pakek kebeli sih, aaahhhh..."

Lino menghentak-hentakkan kakiknya ke tanah dan menendang kerikil-kerikil kecil disepanjang perjalanan pulangnya.

Lino tidak langsung kembali ke rumah. Mau tidak mau, dia harus menghilangkan jejak 'ketidak sengajaan' pembelian cola dua kaleng ini.

Bunda akan sangat marah jika tahu Lino membeli cola lagi. Insiden meminum cola XL sebanyak lima gelas masih melekat jelas diingatan bunda.

Lino berhenti di taman. Mendudukkan tubuhnya yang entah kenapa terasa sangat lelah. Mungkin bukan tubuhnya. Hatinya?

Lino membuka sebuah kaleng cola dan mulai menenggaknya. Karbonasinya sangat kuat. Lino bisa merasakan tenggorokannya terbakar, napasnya panas, dan dadanya sedikit menyesak.

"Kalo Felix beneran mau pindah ke Australia, gimana dong?"

Lino mencengkeram kaleng colanya. Memikirkan masa depan membuat Lino lupa reaksi minuman berkarbonasi tadi pada tubuhnya.

Lino menenggaknya sekali lagi.

"Ah. Kenapa juga sih gua kayak anak kecil gini. Mana sok-sokan diemin Felix."

Lino menenggaknya lagi. Perutnya mulai terasa panas.

Menemukan satu kaleng colanya sudah habis, Lino berniat menghabiskan yang satu lagi.

Baru mau membuka kaleng cola yang kedua, ada sebuah tangan yang menghalanginya.

"Ini mas aja yang minum."

Mas Chris.

Mas Chris membuka kaleng cola itu dan meminumnya.

"Ini mah buat mas nggak ada apa-apanya, No. Tapi buat kamu ini bisa bikin kenapa-napa."

Lino menunduk. Tanpa sepengetahuan Chris, matanya mulai berkaca-kaca.

"Haaaahhhhh... sore-sore gini emang enaknya duduk santai di taman sambil minum yang seger-seger. Kamu udah makan belum?"

Chris selalu seperti ini. Seperti sosok seorang kakak yang menjaga dan peduli. Lino anak tunggal. Dia tidak pernah merasakan rasanya dijaga oleh seorang saudara laki-laki.

Lino menggeleng.

"Belom. Belom makan. Kalo mas Chris mau traktir gua, gua nggak nolak."

Suaranya terdengar sedikit parau karena menahan tangis. Chris menepuk-nepuk bahu Lino dengan lembut.

"Dasar. Nggak kamu, nggak Felix. Kalo ditraktir pasti maju paling depan."

Lino terdiam. Melintas dalam benaknya wajah sumringah Felix tiap kali Deva mentraktirnya.

JUST FRIENDS |•TAMAT•|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang