Dua Belas

4.3K 600 277
                                    

"Lihat kelakuan mantu kesayanganmu. Tidak punya aturan." Siti geleng-geleng kepala kesal.

"Sabar, Bu. Kafi sebenarnya baik. Dia perlu bimbingan lagi supaya menjadi lebih baik." Abdullah yakin jika Kafi sebenarnya orang baik, hanya saja dia terlanjur di cap buruk oleh masyarakat. Sehingga semua tentang Kafi terlihat selalu buruk.

"Bapak, bela saja terus si Kafi. Bisa besar kepala nanti dia dan juga bisa ngelunjak. Ibu takut, dia berbuat tidak baik pada Aisyah."

"Tapi nyatanya Aisyah baik-baik saja kan, Bu?"

"Belum tentu, kita tak tau apa yang dilakukan Kafi di rumahnya. Mungkin saja, di sana Aisyah disiksa olehnya."

"Astaghfirullah, Bu. Istighfar, dari tadi Ibu selalu berburuk sangka terus kepada Kafi. Apa di mata Ibu, Kafi sangat buruk?" Abdullah tidak mengerti kenapa istrinya sangat membenci Kafi sejak dulu.

"Aku tidak berprasangka buruk. Kenyataan Kafi memang buruk. Seluruh orang di kampung juga tahu perilaku dia seperti apa." Siti tak mau kalah, dia tetap menganggap Kafi buruk.

Jujur saja Siti malu, para tetangga sering menggunjingkan dirinya yang memiliki menantu seorang preman. Bahkan mereka sering menceritakan semua keburukan Kafi membuat Siti takut dan khawatir pada Aisyah.

"Apa ibu sudah pernah melihat langsung perbuatan buruk Kafi?"

"Aku tadi pagi lihat dia memalak, itu kan tindakan buruk. Merugikan Aisyah baik dunia dan akhirat. Uang yang dia berikan tidak halal."

"Mungkin benar seperti itu. Kalau kita sudah tau itu tindakan buruk. Sebagai orang tua, kita wajib menasehati dan menunjukan yang baik. Memberikan contoh dan dukungan untuk menjadi baik. Bukan malah kita menyudutkan dan menghakiminya."

"Terserah Bapak, aku pokoknya gak suka sama Kafi. Preman gitu kok di jadikan mantu," kesal Siti sembari berlalu masuk ke kamar karena kesal suaminya terus-menerus membela Kafi.

"Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni dosa istri hamba, aamiin."

***

Kafi kesal, sepanjang jalan ia terus mengumpat. Ia tak terima dengan ucapan Siti yang terus menyudutkan dirinya.

"Assalamualaikum."

"Apa kamu!!" Kafi melotot ke arah Umar.

"Aku hanya menyapa," balas Umar.

"Gak usah sok kenal, apalagi sok akrab. Lagipula kita gak kenal."

"Mengucapkan salam tidak hanya untuk orang yang dikenal saja."

"Masa bodo." Kafi mengabaikan Umar dan melanjutkan perjalanannya kembali.

"Aku hanya ingin bertanya tentang Aisyah."

Ucapan Umar menghentikan langkah Kafi dan berbalik mendekati Umar. "Apa kamu bilang?"

"Tadi aku mau ke rumah Pak Abdullah dan aku melihat kamu beserta Aisyah. Jadi aku tak kesana."

"Langsung saja, jangan berbelit-belit!"

"Aku masih mencintai Aisyah."

Bukk...

Satu pukulan keras Kafi layangkan di pipi sebelah kanan Umar. "Jangan berani macam-macam kamu!" seru Kafi penuh emosi.

Kemarahannya dengan ibu mertuanya saja belum surut. Kini di tambah dengan pernyataan Umar yang buat ia makin panas. "Kamu itu tidak punya otak atau bagaimana?!"

"Aku bisa apa? Aku memang mencintai Aisyah sejak lama. Bahkan sebelum kamu." Umar menghapus darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Rasanya sungguh nyeri, pukulan Kafi sangat kuat.

"Aku bunuh kamu!" Kafi langsung menyerang Umar tanpa aba-aba hingga Umar jatuh tersungkur.

Umar tak hanya diam, emosinya ikut tersulut sebagai seorang pria. Ia melawan Kafi hingga terjadi baku hantam diantara keduanya.

Perkelahian Kafi dan Umar menarik perhatian warga sekitar yang kebetulan melihat. Mereka hendak memisahkan tetapi takut karena Kafi sangat mengerikan. Mereka tak mau menjadi korban amukan Kafi.

"Gimana itu? Apa kita cuma nonton saja sampai Umar mati?" tanya ibu-ibu berdaster hijau.

"Lah gimana, Jeng? Siapa yang berani pisahin?" balas ibu-ibu berambut ikal.

"Sana loh, bapak-bapak bantuin Umar. Kasian itu." Ibu-ibu berbaju merah melihat ngeri ke arah Umar karena wajahnya sudah babak belur.

"Panggil Pak Abdullah saja," usul salah seorang bapak-bapak. Semua mengangguk setuju. 

Akhirnya salah seorang bapak-bapak berpeci hitam, berlari menuju rumah Pak Abdullah yang tak begitu jauh.

"Assalamualaikum, Pak Abdullah!" seru bapak-bapak berpeci hitam yang menjadi utusan untuk memanggil Abdullah.

"Waalaikum salam, Pak Sarno. Ada apa?" tanya Abdullah heran.

"Kafi, Pak. Kafi," ucap Sarno terengah-engah.

"Kenapa Kafi?"

"Dia berkelahi dengan Umar."

"Astaghfirullah, Ayo-ayo kita kesana sekarang." Abdullah dan Sarno bergegas pergi.

Abdullah heran, apa yang membuat Kafi dan Umar berkelahi.

AFTER MARRIED (Aisyah &Kafi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang