Kafi memandangi istrinya yang tengah terlelap. Ia ingin sekali meminta haknya pada Aisyah sebagai istri, namun seminggu sudah pernikahan mereka, Aisyah belum juga mau melakukannya.
"Ah sudahlah." Kafi mendesah pasrah. Ia memilih untuk memejamkan matanya, menahan setiap gejolak yang tak bisa ia tuntaskan.
***
Suara adzan subuh terdengar jelas, membangunkan Aisyah dari tidur nyenyaknya."Mas, bangun!" Aisyah mengusap-usap lengan Kafi pelan. "Ayo bangun, Mas. Sudah subuh."
Aisyah menghela napas panjang mencoba bersabar karena memang suaminya sangat sulit untuk dibangunkan saat subuh.
"Mas bangun!" Aisyah menggerak-gerakkan bahu Kafi sedikit kuat supaya dia terbangun.
"Minggir, aku masih ngantuk."
Usaha Aisyah membangunkan Kafi memang berhasil tapi tidak seratus persen berhasil. Kafi bangun hanya berpindah posisi tidur memunggungi Aisyah.
Aisyah hanya geleng-geleng kepala, sekeras apapun usaha Aisyah membangunkan Kafi, ia selalu gagal. Daripada ia telat menunaikan ibadah sholat subuh, Aisyah lebih memilih untuk sholat terlebih dahulu.
Aisyah sadar, merubah kebiasaan seseorang itu memang sulit. Kafi tidak akan mudah berubah begitu saja menjadi pria alim yang menjadi impian baginya sejak dulu. Memiliki imam yang dapat membimbing dan mengajarinya. "Astaghfirullah." Aisyah merasa berdosa memikirkan hal seperti itu. Saat telah menikah, harusnya ia terima konsekuensinya. Baik buruk pasangan sudah jadi resiko.
Setelah melaksanakan sholat subuh, Aisyah ke dapur untuk memasak. Namun tak ada bahan apapun yang tersisa di dapur minimalis itu.
"Aku lapar."
Ucapan Kafi mengagetkan Aisyah. "Tapi aku belum masak, Mas. Lagipula, tak ada bahan makanan tersisa," lirih Aisyah.
"Ke warung depan saja, ambil apapun yang kamu butuhkan," ucap Kafi sambil menguap.
"Lalu bagaimana untuk pembayarannya?"
"Sudah, ambil saja dulu. Aku lapar."
"Baik, Mas." Aisyah segera ke warung untuk membeli apa yang ia butuhkan.
"Assalamualaikum, permisi Bu Sari!" Aisyah memanggil pemilik warung yang ia ketahui bernama Sari.
"Wa'alaikum salam, ada apa?" tanyanya.
"Aku mau membeli beberapa bahan pokok dan sayuran, Bu," ucap Aisyah sopan.
"Tapi bayar tidak?" tanya Sari tanpa basa-basi.
"Aku memang belum membawa uang, tapi Mas Kafi bilang, aku di suruh untuk mengambilnya dulu. Dia yang akan membayarnya." Aisyah tersenyum kikuk dan merasa sedikit tak enak karena ini masih terlalu pagi untuk berhutang.
"Tidak bisa! Suamimu itu, tidak pernah membayar hutangnya. Kalau tidak ada uang, tidak ada barang. Sudah sana pergi!" Sari mengusir Aisyah.
"Maaf." Aisyah langsung berlari, pulang ke rumah. Ia sungguh sangat malu.
"Kenapa?" tanya Kafi yang tengah duduk sambil merokok.
"Ais malu Mas," ucap Aisyah.
"Malu kenapa? Kamu ke warung kan pakai baju," balas Kafi seenaknya. Ia memang sudah terbiasa bicara ceplas-ceplos tanpa filter.
"Bu Sari tidak mau memberikan apa yang Ais butuhkan."
"Ya sudah biar aku saja yang ke sana," ujar Kafi beranjak dari duduknya.
"Untuk apa?"
"Untuk memarahinya."
"Kenapa, Mas yang harus memarahinya? Harusnya Bu Sari yang memarahi Mas karena sering mengambil dagangannya tanpa membayarnya."
"Aku tidak punya uang, lagipula sebagai tetangga kan harusnya tolong menolong. Terutama menolong yang tengah kesusahan," elak Kafi.
"Itu bukan tolong menolong tapi Mas membuat Bu Sari bangkrut nantinya."
"Sudahlah, kamu cerewet sekali seperti Bapakmu yang suka ceramah." Kafi meraih jaketnya yang ada di kursi.
"Mau kemana, Mas?"
"Nyari duit." Kafi pergi begitu saja.
"Astaghfirullah." Aisyah mengusap-usap dadanya sambil beristighfar berkali-kali supaya hatinya tenang dan di beri kesabaran menghadapi sifat suaminya
****
200 vote up lg 👻👻👻👻
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER MARRIED (Aisyah &Kafi)
RomanceKisah kehidupan setelah menikah tidaklah semudah ucapan. Begitu juga dengan rumah tangga Kafi dan Aisyah. Kafi seorang preman yang berusaha untuk insyaf walaupun kenyataannya tak mudah dan Aisyah harus berjuang melawan traumanya akibat pelecehan yan...