Minah panik ketika mendapatkan kabar jika Umar berada di puskesmas. Ia buru-buru menghampiri Umar di sana.
Tak butuh waktu lama, Minah telah sampai di puskesmas.
"Mas, apa yang terjadi?" tanya Minah.
"Tidak apa-apa." Umar berusaha untuk bersikap baik-baik meskipun seluruh badannya terasa sakit.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang tega melakukan ini pada, Mas?" Minah duduk di kursi plastik yang ada di samping ranjang dimana Umar berbaring.
"Sudah tidak usah kamu pikirkan. Kamu lihat? Aku baik-baik saja." Umar ingin jujur tapi ia tak bisa karena takut mempengaruhi kehamilan Minah.
Minah tak lantas percaya begitu saja. Tidak mungkin jika semua baik-baik saja. Apalagi dilihat kondisi Umar cukup parah. Hampir seluruh wajahnya memar.
"Mas di rampok?"
Umar menggeleng. Mungkin saat ia masih kaya seperti dulu, bisa saja dengan alasan di rampok. Lalu saat ini? Apa yang mau di rampok darinya. Ia tak memiliki apapun yang berharga.
"Ya sudah, Mas istirahat dulu. Aku mau beli makanan buat Mas." Minah pamit keluar dengan alasan membeli makan tapi bukan itu saja yang akan Minah lakukan. Ia akan mencari tahu apa yang terjadi pada suaminya.
Setelah mendapatkan izin dari Umar. Minah keluar menuju penjaga yang ada di bagian depan puskesmas.
"Maaf, aku mau tanya," ucap Minah sopan pada pegawai Puskesmas yang tengah berjaga.
"Iya, ada apa Bu? Ada yang bisa kami bantu?" balas penjaga itu ramah.
"Aku hanya ingin tahu. Apa yang terjadi dengan suamiku. Kenapa dia bisa babak belur begitu? Apa dia di aniaya perampok?"
"Apa suami Ibu, pasien yang baru saja masuk?"
Minah mengangguk. "Iya. Namanya Umar."
"Tadi menurut informasi, suami Ibu berkelahi dengan Kafi."
"Kafi?"
"Iya Bu. Tadi beberapa orang warga mengantarkan suami ibu. Aku dapatkan info dari salah satu warga itu."
"Kalau boleh tahu, kenapa mereka bisa berkelahi?"
"Maaf Bu, kalau itu aku tidak tahu."
"Iya, terima kasih." Minah bergegas pergi. Ia tak terima atas kejadian ini. Ia berniat untuk menemui Kafi.
***
Kafi merasa kesal. Hari ini bagi Kafi, semuanya sangat menyebalkan. Dari ibu mertuanya sampai dengan istrinya sendiri."Kenapa wajahmu itu?" tanya Furqon yang baru saja kembali ke pos ronda bersama beberapa teman yang lainnya.
"Gak usah banyak omong. Kamu bawa apa itu?" Kafi melihat kantong kresek yang Furqon bawa.
"Nasi bungkus," jawab Furqon singkat.
"Buatku saja." Kafi mengambil paksa nasi bungkus itu. Tanpa aba-aba, ia langsung membuka dan memakannya dengan lahap tanpa mempedulikan kekesalan Furqon.
"Kamu ini kenapa sih?" Akhirnya Furqon mengalah. Ia memilih duduk sambil melihati wajah temannya yang terdapat beberapa luka memar.
"Aku sedang emosi jadi aku lapar. Karena emosi sungguh menguras tenaga. Besok aku ganti nasi bungkus mu ini," ucap Kafi.
"Gak usah bilang mau ganti. Yang kemarin-kemarin saja kamu gak pernah ganti," cibir Furqon.
"Berati aku khilaf," balas Kafi santai.
"Khilafmu itu sepanjang masa, Kaf." Furqon sudah hafal dengan kelakuan Kafi.
"Hmm." Kafi tak menanggapi ucapan Furqon. Ia tengah sibuk menyantap nasi milik Furqon.
"Bagi dikit lah, Kaf." Rasanya air liur Furqon ingin menetes melihat cara Kafi makan yang terlihat sangat lahap.
"Jangan ganggu!"
"Dikit saja, Kaf."
"Berisik!"
Furqon cemberut. Nasi itu miliknya tapi kenapa justru ia seperti orang yang meminta-minta.
***
Setelah mendapatkan info dari pegawai Puskesmas. Minah menemui Kafi. Ia ingin membuat perhitungan dengannya.
"Kafi!" teriak Minah cukup keras menarik perhatian semua yang ada di pos ronda.
Kafi tak peduli. Ia masih asik dengan nasi bungkusnya tapi berbeda dengan Furqon.
"Kenapa dia, Kaf?" Furqon mengerutkan keningnya.
Sedangkan Kafi masih acuh. Hal itu membuat Minah kesal. Ia menghampiri Kafi dan membuang nasi bungkus yang tengah Kafi makan.
"Sialan!" seru Kafi murka. Ia bangkit dari tempat duduknya. Lalu berkacak pinggang di hadapan Minah. "Apa mau mu?!"
"Kamu ini keterlaluan! Apa maksudmu menyakiti suamiku."
Jujur Kafi sangat malas tapi emosinya sudah ada di ubun-ubun. Sejak pagi, seolah semua membuat ia kesal dan muak.
"Suamimu itu tak waras. Dia bilang kalau dia masih mencintai Aisyah."
Minah tertawa. " Tidak mungkin Mas Umar seperti itu. Pasti Aisyah yang gatal." Minah tak percaya dengan ucapan Kafi. Selama ini, ia melihat Umar sangat baik dan perhatian padanya.
" Suamimu itu yang gatal. Kurang belaian. Makannya kamu itu jadi istri yang becus supaya Umar tidak gatal."
Minah tak terima, akhirnya adu mulut terjadi antara Kafi dan Minah.
Andai saja, Minah seorang pria, pasti kafi akan menghajar Minah habis-habisan. Tapi sayangnya Minah seorang wanita, apalagi tengah hamil. Jadi Kafi tak bisa lakukan apapun kecuali mencaci maki Minah dan Umar.
Di tengah pertengkaran Kafi dan Minah. Furqon duduk manis, menonton tanpa berniat memisahkan mereka berdua. Ia lebih memilih menonton sambil memakan kacang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER MARRIED (Aisyah &Kafi)
RomanceKisah kehidupan setelah menikah tidaklah semudah ucapan. Begitu juga dengan rumah tangga Kafi dan Aisyah. Kafi seorang preman yang berusaha untuk insyaf walaupun kenyataannya tak mudah dan Aisyah harus berjuang melawan traumanya akibat pelecehan yan...