Sembilan Belas

4K 676 397
                                    

Hari ini wajah Kafi terlihat sangat sumringah. Senyum juga terus terukir di wajahnya. Hal itu membuat para tetangga Kafi aneh melihatnya.

"Hai Ibu-ibu, lagi pada belanja apa?" tanya Kafi sambil tersenyum lebar.

Ibu-ibu yang tengah berbelanja di warung Bu Sari saling tukar pandang satu sama lain. Ada rasa ngeri dan aneh secara bersamaan.

"Kaf, memangnya Ais bikin sarapan apa tadi?" tanya Sari terheran-heran.

"Ais belum masak. Aku ke sini malah mau beli mie instan buat sarapan bersama."

"Beli apa ngutang?" celetuk ibu-ibu berambut ikal.

Seketika ibu-ibu itu menutupi mulutnya yang gatal karena menimpali ucapan Kafi. Ia berdoa supaya Kafi tak mengamuk.

"Gak, sekarang aku beli kok." Kafi mengeluarkan uang lima ribuan.

Sari menerima uang Kafi kemudian memasukkan dua mie instan pesanan Kafi kedalam kantong kresek.

"Itu kantong kreseknya kurang gede," ucap Kafi.

"Ini masih muat," balas Sari.

"Telur 1kg, beras 1kg dan minyak 1kg. Mana muat?"

"Kan kamu belinya mie instan tadi bilangnya?"

"Iya, mie instan aku beli. Telur, minyak dan berasnya ngutang."

Mendadak wajah Sari langsung cemberut. "Ini masih pagi, Kaf. Masa mau ngutang? Lagi pula hutang-hutang mu yang dulu masih numpuk."

"Sudah cepet bungkus, nanti aku cicil."

Dengan tak ikhlas, Sari memasukan barang yang di minta Kafi. Ia tak mau ambil resiko, warungnya akan di acak-acak oleh Kafi kalau tidak menurutinya.

Setelah mendapatkan apa yang Kafi butuhkan, ia memilih untuk cepat-cepat pulang. Rasanya baru beberapa menit sudah kangen Aisyah.

"Ais!" Panggil Kafi.

"Waalaikum salam." Aisyah tak bosan-bosan mengajari suaminya untuk mengucapkan salam.

"Iya, iya, lupa. Ini masak mie instan ya." Kafi meletakkan belanjaannya di meja.

"Gak masak nasi saja, Mas?"

"Masak mie instan dulu, aku lapar. Semalam olahraga."

Wajah Aisyah mendadak memerah malu. Ia paham apa maksud dari perkataan suaminya.

"Iya, Mas. Ais masak dulu." Aisyah buru-buru ke dapur sebelum ada pembahasan lebih panjang lagi.

Mungkin hal seperti ini sudah biasa, tapi Aisyah masih malu meskipun mereka sudah menikah.

Kafi tersenyum lalu mengikuti Aisyah ke dapur. "Masak bareng," ucapnya pada Aisyah.

"Mas di depan saja. Nanti Ais bawa ke depan kalau sudah jadi."

"Aku mau bantu kamu masak."

"Ini kan cuma masak mie instan, Mas. Cukup panasin air saja. Ais bisa kok sendiri." Aisyah gugup jika dekat-dekat dengan Kafi sekarang.

Jantung Aisyah seakan berdetak lebih cepat dari biasanya. Persis saat ia jatuh cinta pertama kali pada Umar dulu.

"Apa aku sudah mulai bisa mencintai Mas Kafi," gumam Aisyah dalam hati.

"Kenapa malah melamun?" Kafi menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Aisyah.

"Eh, emm tidak, Mas." Aisyah salah tingkah.

"Jangan gitu dong, Ais."

"Kenapa Mas?"

"Wajah kamu..." Kafi menggantungkan ucapannya.

"Kenapa dengan wajah Ais, Mas?" Aisyah mengelap wajahnya menggunakan tangan. Ia pikir ada kotoran di wajahnya.

"Wajah kamu bersih kok." Kafi meraih tangan Aisyah dan menggenggamnya.

"Lalu kenapa dengan wajahku?"

"Kamu cantik," puji Kafi.

"Ih, Mas gombal terus." Aisyah menarik tangannya dari genggaman tangan Kafi.

"Nah, wajahmu langsung merah lagi," goda Kafi.

"Sudah, sudah. Mas Kafi tunggu saja di depan, nanti masaknya tidak jadi-jadi."

"Tidak apa-apa kalau masakan tidak jadi dan aku tidak bisa makan. Asal gantinya aku makan kamu." Kafi lagi-lagi menggoda Aisyah.

Melihat Aisyah tersenyum atau tersipu malu, menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Kafi.

Karena kebahagiaan itu tidak harus dengan hal-hal yang wah. Kebersamaan dan gurauan kecil pun bisa membuat hati bahagia.







AFTER MARRIED (Aisyah &Kafi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang