Semesta, seyogianya saya hanya terkagum dengan sewajarnya. Tetapi mengapa malah ada rasa yang merayap didalam dada?
Sungguh Agrapana, sua tawa nestapa bisa membuat saya mengatupkan netra, pula jemari hasta seketika berhenti bergulir dilayar kaca. Bukan apa-apa, saya hanya merasa iri saja. Bagaimana bisa ada manusia se-paripurna dia? Mengapa sewu tanya saya tak bermuara?
Dia estetika yang sempurna, sederet waja jua turut serta memeta paradigma rupa miliknya. Bahkan randu nabastala pula ikut merasa bahagia kala lengkungan kurva terlukis dipigura.
Biar saja para penoreh asma tergila-gila padanya, asalkan kausa tidak pernah memberi masa untuk membuatnya kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Hujan
PoetryAku menyukai hujan karenamu dan mencintainya seperti aku mencintaimu.