Pagi sekali, aku bisa bernapas lega karena Leo tak muncul tiba-tiba di hadapanku seperti biasanya. Tingkah lakunya terkadang sangat aneh. Tapi, aku tak bisa memungkiri bahwa rasanya menyenangkan bisa melihatnya setiap bangun tidur.
Tidak apa. Berimajinasi itu penting.
Menyebalkan sekali mengetahui lelaki itu tak juga mengembalikan ponselku. Aku hanya tak mau ada seseorang yang menghubungiku dan aku tidak tahu. Seperti Eric yang sering mengirim pesan padaku.
Aku tak ingin Leo salah paham, meski aku tahu dia menganggapku tak lebih dari seorang teman. Aku juga pernah mengatakan aku tak akan menyukainya. Tapi, bagaimana bisa aku memenuhi itu?
Di titik tertentu, aku merasa bahwa ada bagian terkecil darinya yang selalu membuatku tertarik padanya.
Itu seperti ... aku yang berjalan ke arahnya dan sangat terlambat bagiku untuk memutar jalan kembali. Bahkan, jika boleh menilai, Eric sangat memungkinkan menjadi pasangan idaman setiap wanita. Dia perhatian. Caranya memperlakukan wanita sangat manis dan sopan. Tutur katanya juga halus. Tapi, kenapa aku tertarik pada Leo? Tidak kepada Eric?
Entah kenapa aku sering berpikir bahwa kekurangannya yang justru membuatnya terlihat sempurna. Dia hanya, terlahir berbeda, dan aku bisa memaklumi itu.
Sebenarnya dia tak perlu merasa takut akan perasaanku. Bukankah, dia cukup mendengarkan dan tahu perasaanku saja? Aku tak akan meminta balasan. Aku paham, dia terlalu jauh. Aku tak mungkin memaksanya untuk menyukaiku juga.
Aku memang sering terlihat seperti tak tertarik. Tapi, jauh dalam diriku, aku tetaplah seorang gadis yang bisa merasa lemah hanya karena melihat senyumnya.
Tak lama setelah kami membuka kedai, Rebecca menerima panggilan dari Winny mengenai pesanan rotinya. Karena sangat tak mungkin Rebecca meninggalkan kedainya, aku yang harus pergi ke rumah Eric.
Ketika aku tiba di rumahnya, aku mendapati lelaki itu sedang memanah. Caranya memegang busur dan panah benar-benar menunjukkan bahwa ia begitu ahli menggunakannya. Aku jadi teringat mengenai mendiang kakeknya yang merupakan seorang pemburu.
Ia memanah sebuah labu yang berada 8 meter jauhnya. Aku diam sebentar untuk mengamatinya. Saat ia berhasil memanah labu itu, aku tersenyum dan melanjutkan langkahku mendekatinya.
"Panah terlihat keren denganmu," ujarku. Eric terkejut melihatku sudah ada di sana tanpa ia sadari.
Selanjutnya lelaki itu tersenyum dan menurunkan anak panahnya ke bawah, dia berjalan ke arahku. "Sebenarnya aku jarang memanah lagi sejak kakekku tiada. Aku tidak menyangka aku masih ingat cara menggunakannya."
"Apa itu bagian dari 'menjadi kuat'?" Aku menggodanya, ia tersenyum dan mengangguk. Pandangannya terarah pada keranjang yang kubawa.
"Roti pesanan ibuku?" Dia bertanya. Aku mengangguk. Eric meletakkan busur dan anak panahnya di tanah dan mengambil keranjang itu dariku.
"Aku akan menyimpan rotinya dulu, kau bisa duduk," ia menunjuk kursi kayu di depan rumahnya. Aku mengangguk dan ia masuk ke dalam rumah setelahnya.
Mataku menyapu halaman rumahnya. Bisa dibilang cukup berantakan karena terdapat beberapa benda seperti busur panah yang tadi digunakannya, pisau kecil, lingkaran panah, stereotip manusia yang terbuat dari kayu. Hm. Kurasa dia menggunakan semua barang-barang ini untuk berlatih.
Eric keluar dari rumahnya. Dia sudah mengganti pakaiannya lebih berwarna.
Matanya bertemu denganku, "ayo," ajaknya.
"Kau baik-baik saja? Sepertinya kau sudah berlatih sejak pagi," ujarku sembari melirik benda di halamannya lagi.
"Tubuhku hanya membutuhkan istirahat sebentar, Eli," ia membalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Long Line (Removed To Return)
Fantasy[Tahap Revisi] Elisia baru saja datang ke kota itu dan sudah dihadapkan dengan hal-hal tak terduga. Dari ia yang membuka rahasia, terlibat dalam hal yang tidak masuk akal hingga ... jatuh cinta. Copyright © 2020 •••••••••••••••••••••••••••••••••••••...