29• 🌔

88 16 117
                                    

Rasanya nyaman sekali. Rasanya aku tidak ingin terbangun dari ranjangku. Hanya saja, sejak kapan gulingku terasa keras? Terakhir kali aku memeluknya, rasanya tidak sekeras ini. Ah, biarkan saja, aku ingin tidur lagi.

"Hei."

Suara siapa itu? Kenapa mengganggu sekali?

"Sampai kapan kau memelukku?"

Aku mengerjapkan mataku dan melihat posisi tanganku. Tunggu. Ini bukan guling. Bukan juga benda mati. Kenapa aku melihat dada bidang? Kenapa aku seperti memeluk seseorang? Lalu siapa yang aku peluk sekarang?

Aku mengangkat kepalaku sampai bertemu dengan mata Leo. Kedua tangannya terangkat ke samping. Aku melotot dan segera menjauhkan diri darinya. Dia pun menggeleng.

"Sepertinya kau melanggar kata-katamu sendiri, nona muda. Kau memasuki wilayahku," ujarnya sembari melipat tangan di depan dada.

"Apa maksudmu?" Aku mengernyit ke arahnya.

Kenapa aku melihatnya di kamarku lagi?

"Kau benar-benar punya ingatan buruk," Leo mencibir sambil melirikku. Aku masih menatapnya tak percaya, sejujurnya aku memang tak ingat mengapa dia bisa ada di sini.

"Aku tak bisa tidur karena kau bergerak dalam tidurmu. Untung saja aku tidak menendangmu dari ranjang," ujarnya ketus sembari menunjuk dahiku. Aku memutar bola mataku malas dan duduk bersandar di kepala ranjang.

"Kenapa kau di sini?"

"Karena aku tidur di sini," jawabnya ringan. Lalu dia menoleh padaku, "kau memelukku semalaman. Kau terobsesi dengan pelukanku ya?"

Dia menyeringai padaku, aku bergidik menatapnya. Aku pun mengamatinya, sepertinya sesuatu tidak berubah darinya sejak semalam.

"Rambutmu masih abu-abu, kau yakin baik-baik saja?" Aku bertanya padanya. Leo mengangguk, senyumnya tipis. Aku ikut mengangguk.

"Kau sudah menelan pil itu?" Aku bertanya lagi sambil memeragakan bentuk pil itu.

"Aku tidak membawanya," jawabnya sambil menggaruk dahinya. Aku menghela napas, dia tahu dia membutuhkan benda itu sewaktu-waktu tapi kenapa dia tidak membawanya?

"Mau aku ambilkan? Bibi pasti punya cadangannya," aku bersiap meninggalkan ranjang ketika dia menarik lenganku, hingga aku duduk di ranjang lagi.

"Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja, sungguh," meski dia mengatakan dia baik-baik saja, wajahnya sangat pucat. Seperti darah diserap habis dari tubuhnya. Apakah penampilannya seperti ini sewaktu Eric menemukannya di hutan?

"Aku akan membersihkan diri. Kau harus segera makan," ujarnya sebelum masuk ke ruang mandi.

Aku menatap kepergiannya dengan aneh. Aku mengusap dagu. Sejak kapan sikapnya jadi lembut begini? Meski kadar menyebalkannya masih tinggi, tapi caranya menatapku halus, aku bahkan terpesona padanya.

Ini berbahaya.

Tak lama kemudian dia keluar dari ruang mandi, dia terlihat lebih segar, namun bibirnya masih sama pucat.

"Kau akan membersihkan diri juga?" Dia bertanya sambil menunjuk ruang mandi. Aku mengangguk.

Setelah ritual pagi selesai, kami keluar dari kamar, dan sekali lagi waktu itu bertepatan dengan Eric yang baru menutup pintu kamar sebelah. Dia melihat kami berdua. Tatapannya benar-benar datar, kurasa aku tahu apa yang dipikirkannya.

"Hei?" Leo menyapanya sembari mengangkat tangan, tapi Eric hanya mengangkat dagunya dan langsung pergi meninggalkan kami.

Kami berkumpul di ruang makan. Sebenarnya, Rebecca agak terkejut melihat Leo muncul di rumah kami lagi. Apalagi setelah dia tidak melihatnya selama berhari-hari. Namun, kondisi menjadi normal kembali, setidaknya untuk kami bertiga, bukan Eric.

One Long Line (Removed To Return)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang