YOONGI sudah pergi meninggalkan Seoul—tanpa Ryuna dipelukannya. Ia gagal membawa Ryuna ke rumahnya—rumah yang ingin ia perlihatkan pada gadis itu sebagai pembuktian bahwa ia tidaklah pergi hanya untuk bersenang-senang. Tapi, semesta menghukumnya dengan tak mengizinkan Ryuna kembali untuknya. Ini sangat menyesakkan, tapi bagaimanapun apa yang sudah ia lakukan pada Ryuna di masa lalu menorehkan luka yang dalam diantara mereka. Seharusnya ia tak menyerah, tapi semua sudah terlambat. Ia tak bisa membenarkan kembali masa lalu. Ia harus menerima resikonya.
Sialnya, mobil Yoongi pun mogok. Tak ada juga Taxi yang kosong untuk ia tumpangi. Itu sebabnya kini ia berjalan dengan menggeret koper dan memegang ranselnya. Oh, ini benar-benar hari menyedikan. Hujan turun dan malam sudah menjemput. Membuat langkah Yoongi semakin tak bersemangat dan membiarkan dirinya diguyur hujan. Ia tak perduli lagi, bahkan jika bisa ia memilih sakit agar memiliki alasan tidak datang ke agensi untuk bekerja. Ia lebih baik mengurung diri di kamar. Lebih baik seperti itu.
"Aku bisa mencari gadis yang lebih baik darimu, kan?" Yoongi tersenyum melihat sepatunya yang basah berjalan di kubangan air. "Tidak. Setidaknya kau harus menolakku sebelum pergi. Maka aku akan mengejarmu lagi. Kenapa aku tak bisa berpaling darimu? Tujuh tahun aku selalu berhasil menyimpan perasaanku. Kenapa sekarang aku tak bisa?"
Yoongi melepas ranselnya lalu menahan tubuhnya di tembok. Ia menunduk dengan isakan tertahan. Merasa bodoh dengan dirinya sendiri, menangis sendirian di bawah hujan seperti bukan laki-laki saja. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, menekan keningnya dan berusaha kembali bergerak. Ayolah, 5 langkah lagi kau akan sampai di gerbang rumahmu. Setidaknya, tertidurlah di halaman rumahmu sendiri. Yoongi terus mendorong dirinya, namun tubuhnya menolak. Membuatnya kembali terisak. Bodoh! Ia tak boleh selemah ini.
"Ya, kau tak membawa payung?"
Mendengar suara yang dikenalinya itu, Yoongi sontak mendongkak dan melihat Ryuna tengah berdiri di depannya dengan sebuah payung yang kini melindungi dirinya dari derasnya hujan. Yoongi menggeleng, ia pasti berhalusinasi. Ia benar-benar sakit. Tak mungkin Ryuna ada di sini. Lebih tepatnya, di dekat rumahnya. Ia pasti sudah gila.
"Kau menangis? Jelek sekali?"
"Pergilah, jangan menjadi delusiku."
"Omo? Aku mengikutimu sejak kau bergumam sendiri. Kau saja yang tak menyadari ada aku di sisimu." Ryuna menggenggam tangan Yoongi yang basah dan dingin, merematnya pelan agar rasa hangat dari suhu tubuhnya bisa Yoongi rasakan. "Jika kau ingin menangis, kemarilah." Ryuna menarik tangan Yoongi lalu mendekapnya dengan erat. Membiarkan laki-laki itu yang kini terisak dipelukannya. Merengkuhnya semakin erat hingga ia refleks menjatuhkan payung—membuat mereka basah kuyup bersama.
Ryuna mengeratkan pelukannya. Mengusap rambut Yoongi yang basah dan bergetar karena gema suaranya. Ia tersenyum, membiarkan Yoongi mengadukan penyesalannya. "Aku yang meminta CEO-mu agar kau kembali ke sini dengan cepat. Aku mengatakan padanya bahwa kau sudah menghamiliku. Dan aku butuh tanggung jawabmu."
Yoongi melerai pelukan dengan isakannya yang tertahan. "Aku akan menghamilimu sungguhan agar kau tak pergi lagi dariku."
"Seharusnya kita mabuk sebelum kau pergi ke Amerika dulu, agar kau menghamiliku dan tidak pergi meninggalkanku di taman itu. Mungkin kita tak akan melewati takdir seperti ini. Tapi, dulu aku tak melihat sebesar apa cintamu. Sekarang aku melihatnya. Aku tak perduli dengan perceraianku, karena Min Yoongi-ku sudah kembali." Ryuna tersenyum, ia meremat kuat kedua lengan Yoongi lalu berjinjit dan mencium bibirnya dengan mata terpejam.
Yoongi mendorong pelan punggung Ryuna pada tembok lalu memerdalam ciumannya, mengangkat pinggangnya agar Ryuna semakin berjinjit padanya. Ryuna melingkarkan tangannya di leher Yoongi, begitu pun dengan laki-laki itu yang mengeratkan pelukan pada pinggangnya. Pangutan itu kian intens seolah saling mengirim rindu yang sudah menumpuk dan tak tertahankan.
Malam yang menyedihkan bagi Yoongi telah pergi, badai yang dilalui Ryuna telah usai. Keduanya kembali bersama dan melupakan masa lalu. Saling memaafkan dan kembali menerima—bak sebuah kisah sempurna yang selama ini didambakan keduanya. Dengan satu janji yang teriklar dalam hati—mereka tak akan saling melepaskan diri. Karena cinta yang memupuk penuh di dalam hati keduanya untuk saling memberi.
Cinta yang sesungguhnya, takdir yang sebenarnya.
**
Ini adalah tidur paling lelap selama 25 tahun ia hidup. Bahkan bibirnya tersenyum ketika mengendus wangi sabun gadis yang teramat disayanginya. Ia memeluk Ryuna semakin erat, membiarkan tubuh telanjang keduanya kian merapat dan membuat dirinya semakin hangat dan nyaman. Ia mengecupi leher Ryuna dan terus mendekapnya kian erat. Di bawah selimut tebal ini, ia merasakan lebih dari sekedar rasa hangat. Karena ada Ryuna di dalam dekapannya.
"Kau tak ingin bangun?"
Yoongi menggeleng. "Aku takut jika ini mimpi kau akan pergi dari pelukanku."
"Kau sudah menyiksaku semalaman dan masih menganggap mimpi? Aku sangat tersinggung. Bangunlah, aku ingin mandi. Kau juga harus menemui CEO-mu."
"Kau benar," Yoongi membuka matanya dengan kerjapan singkat. "Bagaimana kau bisa mengenalnya? Kenapa kau tahu rumahku? Kenapa kau memutuskan menungguku di sini?"
Ryuna mengusap rambut Yoongi dengan seulas senyumannya. "Wiran merasa bersalah padaku. Atas drama kalian dulu dan sikap adiknya yang menyakitiku. Dia menebus kesalahannya dengan kejujuran dan kerendahatiannya. Tapi, bukan berarti aku bisa semudah itu memaafkan Wiseok. Aku hanya—tak mau mementingkan luka lagi jika ada kau yang begitu menyayangiku. Jadi, aku bertanya padanya tentangmu."
"Apa kau harus sampai tak mengabariku? Aku mencemaskanmu. Eomma dan appa-mu juga tak memberitahuku karena permintaanmu. Kau sedang mengujiku?"
"Hm, aku mengujimu. Dan kau lolos." Ryuna mengecup kening Yoongi tiba-tiba. "Nah, aku sudah memberimu cap kelulusan." Ia terkekeh melihat Yoongi yang mengerjap dengan pipi merona. "Kau seperti kucing saja."
Yoongi tersenyum lalu kembali memeluk Ryuna dengan erat, tak bisa membiarkan gadis itu tanpa pelukannya sedetik saja. "Aku mencintaimu."
"Hm, aku tahu."
"Kenapa kau tak membalasku?"
"Aku sudah memberikan tubuhku, kau tak mengerti maksudnya?"
"Apa kau pernah mendengar wanita malam mengatakan cinta pada teman bermainnya?"
"YA—kau menyamakan aku dengan jalang?!"
"Katakan kau mencintaiku, jika kau bukan jalang."
"Aishhh, minggir! Jalang selalu pergi setelah bermalam dengan teman bermainnya."
"Kau bukan jalang. Kau gadisku. Jangan pergi."
Ryuna tersenyum singkat namun setelah itu menarik telinga Yoongi agar menjauh dari pelukannya, tak perduli meringis sekencang apapun. "Aku ingin mandi."
"Mandi bersama saja."
"Berisik!" Ryuna segera berlalu menuju kamar mandi dengan selimut yang melilit tubuhnya. Membuat Yoongi terkekeh pelan dengan tingkahnya. Ah, ini masih terasa seperti mimpi. Mimpi paling indah seumur hidupnya.
Im Ryuna—mimpinya.
Yoongi tak akan melepas impannya yang sebenarnya. Haruskah ia menunjukkan cincin yang sudah ia simpan untuknya? Yoongi tersenyum lalu mengingat-ingat di mana ia menyimpan cincin berlian yang sudah dibelinya sejak kembali ke Seoul. Tapi—
Tunggu—di mana ia menaruh cincin itu?
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bad) Marriage Life: My Second [COMPLETED]
ФанфикApa pihak ketiga sepenuhnya patut untuk disalahkan? Cr pict @pinterest