SUDAH satu minggu Wiseok tak membuka sns-nya. Setiap hari yang ia rasakan dari Namjoon memanglah sisi manis dan juga hal-hal normal lainnya. Tak ada masalah seperti rumor yang mengatakan bahwa kemungkinan Namjoon berselingkuh lagi atau pun penderitaan lainnya. Semua terlihat biasa saja. Tak ada yang harus dicemaskan olehnya, kan?
Bahkan Namjoon memeluknya dengan erat dan mengecup perutnya sebelum pergi ke kantor pagi ini. Wiseok benar-benar menganggap rumah tangganya sudah bahagia. Seharusnya seperti itu-sebelum akhirnya mertuanya datang mengunjunginya siang tadi.
Tak banyak percakapan yang terjadi, hanya Nyonya Kim yang memberikannya parsel buah untuk cucunya, melihat sekeliling rumah kemudian pergi tanpa melepas sedetik pun genggaman tangan pada Tuan Kim. Bahkan Tuan Kim tak bicara sama sekali dengannya, menatapnya pun tidak. Wiseok tak ingin beranggapan aneh, tapi sikap Nyonya Kim seolah menjaga Tuan Kim darinya. Apa beliau pikir ia akan merebut Tuan Kim darinya?
Wiseok tersenyum miris. Meski ia seorang jalang handal pun, tak mungkin bermain dengan mertuanya sendiri. Entah harus merasa terhina atau ingin tertawa, Wiseok tak bisa mengatakan apapun selain menerima.
Nyonya Kim pun masih sama ketusnya padanya, hanya saja ada satu kalimat yang membuat Wiseok terus tertekan hingga larut malam. Bukan perihal gunjingan, namun memberikan gambaran seperti-
"Tak mungkin ada rumah tangga tanpa badai. Aku yang menikah dengan suamiku tanpa merebutnya dari siapa pun saja menangis hingga dadaku sesak saat tertimpa masalah dengannya. Apalagi kau? Neraka dunia juga mampu membakar wajah tak tahu malumu itu."
Wiseok meremas rambutnya frustasi. Ia menekan kuat sikunya pada meja makan dan menunduk dengan kerutan di keningnya, membayangkan seperti apa neraka dunia yang dimaksudkan oleh mertuanya.
Dan pikirannya semakin menjelajah jauh pada gambaran yang mungkin akan dianggapnya yang paling mengerikan; perselingkuhan. Wiseok sungguh takut Namjoon bermain api lagi. Saat dengannya saja permainannya sangat rapi. Namjoon sudah tahu cela dan itu sangat mengganggunya. Ia bahkan meriset di sns kisah tentang wanita yang sudah merebut suami orang lain; jatuh miskin, terkena penyakit-atau ditinggalkan oleh suaminya karena kembali pada mantan isterinya.
Bahkan ada yang berselingkuh hingga beberapa kali dan meninggalkan selingkuhannya yang tengah hamil besar. Wiseok sungguh tak bisa mengontrol dirinya, ia terus berpikiran negatif bahkan hingga malam menjemput. Ia masih di sana-duduk di meja makan bersama layar ponsel yang menunjukkan berita tentang penderitaan pihak ketiga.
Namjoon yang baru saja tiba, hendak menanyakan kenapa Wiseok tak membukakan pintu untuknya. Tapi, melihat Wiseok yang tampak pucat dan berantakan membuatnya melempar tas kantornya ke lantai dan mengangkat isterinya itu untuk berdiri dan menatapnya untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Ada apa? Kau membaca komentar buruk itu lagi? Katakan padaku."
Wiseok menyeringai dengan bibirnya yang kering, "aku tak membaca, tapi mendengar. Nyonya Kim sangat berpengalaman dengan rumah tangga, kan? Dia menjelaskan padaku tentang badai yang terjadi di dalam rumah tangganya. Sampah sepertiku-akan mendapatkan masalah yang lebih besar, katanya. Kau percaya itu-suamiku?"
Namjoon menghela napas kasar lalu menuntun Wiseok kembali duduk. Ia menarik kursi lalu duduk berhadapan dengannya. Kedua tangannya meremat kuat tangan Wiseok yang dingin. Ia melihat isterinya yang terlihat berantakan, tapi sungguh potret seperti ini tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia justru membayangkan Wiseok akan melawan setiap komentar jahat dan mungkin menjawab ibunya dengan berani. Seperti Wiseok yang ia lihat melawan Ryuna di club malam itu.
Padahal, niatnya kala itu memberi kejutan pada Wiseok dengan kehadirannya yang tiba-tiba di club untuk menjemputnya. Tapi, ia yang justru terkejut saat melihat kenyataannya. Sama halnya dengan saat ini, ia terkejut Wiseok akan menelan semua komentar jahat hingga tak memerdulikan dirinya sendiri yang tengah mendandung anaknya. Ia tak memiliki prediksi Wiseok seperti ini. Tak pernah terlintas sedikit pun.
"Aku sudah katakan padamu, percaya padaku. Aku mungkin gagal dalam pernikahanku sebelumnya, karena aku hanya harus menikah dengannya. Sama halnya dengan Ryuna, dia merasa salah jika tak menikah denganku. Kita tak melakukannya dengan benar sejak awal. Aku menikahimu dengan hatiku, meski cara kita memang salah dan menciptakan drama-tapi, aku sungguh menyayangimu. Kapan pun kau melihat atau mendengar ujaran kebencian sekalipun dari ibuku, pikirkan saja aku. Aku akan membelamu, aku akan ada di sisimu. Aku akan menenangkanmu dan melindungimu. Aku hanya menjadi berengsek karena ingin menguncimu di sisiku. Sekarang kau sudah jadi isteri sahku, aku tak memiliki alasan apapun untuk bermain gila. Paham?"
Wiseok mengangguk lalu memeluk Namjoon dengan erat. Ia meloloskan air mata pada kemeja putih Namjoon dan mengusakkan hidungnya di sana. Namun, detik itu juga Wiseok menjauhkan dirinya dan menatap Namjoon dengan panik. Ia menggeleng cepat lalu berdiri dengan kepalan di tangannya. Ia berjalan mundur hingga kursi yang ada di belakangnya sedikit terdorong. Bohong, Namjoon berbohong.
"Aku yang mencuci kemeja itu kemarin dan bau pewanginya tak seperti itu! Kau mengganti kemejamu dengan kemeja yang baru? Kenapa? Kau baru saja bermain dengan gadis lain di apartemenmu dan mengotori kemejamu ?!"
Namjoon terperangah dan segera bangkit berdiri. Ia sungguh tak mengerti mengapa Wiseok menuduhnya seperti itu. Ia bangkit berdiri dengan helaan napas dan senyuman mirisnya. "Aku menumpahkan kopi di kemejaku karena melamun mencemaskanmu, tentu aku sempat menggantinya dan segera mengirim kemeja ini ke laundry. Lalu aku mengambilnya lagi dan mengenakan kemeja yang sama. Ini pewangi laundry."
"Apa buktinya?! Kau bahkan membeli pakaian yang percis saat bermalam bersamaku. Kau menggunakan parfum agar wanginya sama seperti-mu,"
"Lihat? Aku menggunakan parfumku agar Ryuna tak mencurigaiku. Sekarang aku tak sedang menutupi apapun darimu. Berhentilah overthinking, kau tak kasihan pada Namwi?"
Wiseok menekan keningnya, mendadak ia merasa pening, tubuhnya nyaris terhuyung ke lantai jika Namjoon tak segera menahannya. Sayup-sayup ia mendengar Namjoon bertanya apa ia sudah makan atau belum, bahkan Wiseok tak tahu jam berapa terakhir kali ia minum. Ia pun tak mual atau apapun, membuatnya tak ingat bahwa kini ia tengah mengandung. Wiseok sekali lagi menatap Namjoon, ia tak mengerti kenapa bisa menuduh Namjoon seperti itu. Ia sungguh takut, takut Namjoon akan mengkhianatinya.
"Aku ingin babymoon, aku ingin menjernihkan pikiranku."
"Baiklah, aku akan memesan tiket berlibur. Kau ingin ke mana?"
"Hawaii."
"Berjanjilah kau akan berhenti menuduhku, ya?"
"Iya."
Tentu tidak. Aku tak bisa berjanji. Kita adalah pemecah janji paling ulung di masa lalu, Namjoon-ah.
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bad) Marriage Life: My Second [COMPLETED]
FanfictionApa pihak ketiga sepenuhnya patut untuk disalahkan? Cr pict @pinterest