MA - 13

28 3 2
                                    

"Kenapa kau tidak pernah memberitahu ku tentang kekuatanmu?," Ameera bertanya dengan nada yang bisa dibilang tidak bersahabat.

"Untuk apa aku memberitahu mu?," Letizia menjawab dengan nada dinginnya.

Ya, hari ini mereka berdua sedang berada di rooftop. Setelah mendengar apa yang dikatakan Edwind pada Ameera kemarin malam, dia langsung pergi meninggalkan Edwind yang sedang tersenyum licik.

Ameera menatap Letizia. Pandangannya kini mulai melembut dari sebelumnya.

"Kau menganggapku apa selama ini? Aku selalu cerita apapun kepadamu, tapi kau sendiri tidak bercerita apapun padaku," Letizia tersenyum kecil.

"Jujur saja, selama ini aku hanya menganggapmu orang asing yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kehidupan ku," jawab Letizia, "Tidak lebih dari itu," ada penekanan ketika Letizia mengucapkan itu.

Ameera menatap itu tak percaya. Selama ini dia sudah menganggap Letizia sebagai sahabatnya sendiri bahkan lebih dari itu. Tapi apa balasan yang dia dapat?

"Jadi.. Aku hanya orang asing bagimu, Letizia?," mata Ameera mulai berkaca-kaca, nada bicaranya pun mulai bergetar.

"Tentu saja. Memangnya aku harus menganggap mu sebagai apa?" Letizia menaikkan sebelah alisnya, "Dari awal bertemu, aku hanya melihatmu sebagai anak penjual roti," lanjut Letizia.

Ameera menggigit bibirnya menahan tangis. Dia tak menyangka Letizia, sosok yang dia sayangi berbicara seperti itu padanya. Sungguh menyakitkan bagi Ameera.

"Aku- aku seharusnya tahu dari awal kau memang tidak menginginkan ku," air mata Ameera mulai mengalir di pipinya, "Baiklah, terima kasih Leti untuk semuanya. Aku tahu kau tak menganggapku, tapi aku sungguh menyanyangimu seperti kakakku sendiri. Maaf sudah mengganggu waktumu," Ameera berjalan dengan suara tangisannya meninggalkan Letizia yang masih diam berdiri disana.

Setelah Ameera sudah tak terlihat sepenuhnya, Letizia menghembuskan nafasnya terburu-buru. Dia ingin berkata kepada Ameera tadi, tapi semua yang dikatakan itu bukan kemauannya.




Haah, maaf Ameera, maaf. Itu bukan diriku, maafkan aku, batin Letizia.





"Ameera, kenapa?," tanya seseorang ketika melihat Ameera menangis dipojok Perpustakaan.

Ameera mendongakkan kepalanya menatap orang yang bertanya padanya.

Polo.

Ya, pemuda yang menemukannya adalah Polo.

"Po-Polo," Ameera mencoba berkata disela-sela tangisannya.

"Kenapa? Ada yang menyakitimu? Siapa? Mana orangnya?," dengan bertubi-tubi, Polo bertanya kepada Ameera.

Bukannya menjawab, Ameera justru kembali menangis. Kali ini sangat menyedihkan. Polo yang melihat itu pun tidak tahu harus berbuat apa selain menepuk-nepuk bahu Ameera.

"Jangan menangis Ameera," titah Polo.

"Ke-kenapa?," Ameera menjawab dengan sesenggukan.

Polo tersenyum hangat menatap Ameera, "Kalau kamu nangis, cuaca akan mendung dan turun hujan. Lihat," Polo menunjuk langit yang terlihat di jendela samping Ameera duduk, "Sekarang langit mendung dan sebentar lagi akan hujan karena mu," lanjut Polo.

Ameera yang mendengar itu pun langsung menghentikan tangisannya. Dia tak ingin langit menurunkan hujan hanya karena dia menangis.

Sedangkan Polo yang melihat itu hanya menahan senyumnya. Sejujurnya, tidak ada hubungan sama sekali antara Ameera yang menangis dengan langit yang mendung dan turunnya hujan. Itu hanya karangan Polo saja agar Ameera berhenti menangis. Tapi, lucu saja Ameera langsung percaya begitu saja.

Miracle AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang