Dayinta POV
"Ma, nanti seserahannya Ayi bawa ke rumah ya? Kamar Ayi udah kepenuhan." Kataku saat acara lamaran sudah selesai, kini kedua keluarga sedang mengobrol santai.
"Iya sayang, bawa aja, sama kalau gitu ajak Bi Dinah gimana? Biar sekalian beresin rumah itu, takutnya banyak debu juga kan?"
Aku mengangguk. Orang tua Lintang memang punya dua rumah, dan kami diminta menempati rumah itu setelah menikah nanti. Lokasi rumah tidak terlalu jauh dengan rumah Lintang saat ini. Mama dan Papa memang tak ingin jauh-jauh dari anak semata wayangnya itu.
"Siap Ma, kan sebelum ke rumah itu juga Ayi pasti ke rumah Mama dulu ambil kunci."
"Oke sayaang, kamu nanti rajin-rajin ya main ke rumah Mama?"
"Pasti lah Ma, kan sekomplek, heheheh!"
"Kalo gak sempet masak, ke rumah Mama aja, ya?"
Aku mengangguk. Jujur, yang membuatku bahagia memiliki Lintang sebagai pasangan tuh bukan hanya karena ia tampan, baik dan perhatian. Tapi keluarganya, Mamanya yang sangat penyayang, Papanya yang bijak. Keluarganya sempurna menurutku.
Mama kemudian mengajak ngobrol, perabotan apa saja yang perlu ditambahkan untuk rumah, karena sudah lama tidak ditinggali, menurut Mama banyak perabot yang musti diganti.
"Ma, itu biar Ayi sama Mas Lintang aja yang beli, Mama udah bantuin kami banyak banget." Kataku.
"Ya gak apa, emang kenapa? Kamu sama Lintang kan anak Mama, masa Mama sama Papa gak boleh kasih yang terbaik, iya kan?"
Aku mengangguk, tak enak bilang secara langsung kalau kami ingin mandiri dan tidak mau bergantung, mungkin nanti Lintang yang bisa ngomong langsung ke Mamanya.
"Pokoknya kalau kalian butuh apa-apa, bilang sama Mama ya?"
"Iya Ma, siap!" Kataku patuh, Mama tersenyum senang lalu memelukku tiba-tiba erat sekali.
"Mama seneng banget Lintang jadinya sama kamu, ya ampun Yi!!!"
"Aku juga seneng Ma, bahagia banget."
"Mama yaa udah bilang makasi banyak-banyak sama Bunda, yang udah mengandung kamu, lahirin kamu, besarin kamu sampe jadi kaya sekarang, doooh kamu tuh idaman semua mertua tau Yi."
Oke ini lebay, aku gak se-wow apa yang dibilang Mama barusan, dan sebenernya aku bingung, apa yang membuatku menarik di mata Mama, padahal yang kutahu mantannya Lintang itu superb semua, sumpah. Aku aja pas awal pacaran sama dia jiper. Bahkan kami juga pernah sempat putus selama 6 bulan, Lintang jadian sama cewek populer, tajir, cakep, dari kalangan atas, ehh tapi untung lah, mau nikahnya sama aku, hehehe.
Hari sudah semakin malam, acara lamaran ini bubar dengan sendirinya, meninggalkan aku di rumah hanya dengan Bunda dan Rayi, Abangku.
"Tuh Bang, adeknya udah lamaran, kamu kapan?" Sindir Bunda, aku tersenyum. Rayi hanya satu tahun lebih tua dariku, dan aku tahu pacarnya itu masih anak kuliahan.
"Bunda apaan sih, aku belom punya tabungan banyak, kerja juga cuma gitu-gitu doang." Jawab Rayi.
"Ah Lintang sama Dayi juga baru kerja setahun, langsung bisa nikah."
"Bun, aku sama Lintang kan dibantu orang tuanya." Kataku, yeah, kami memang ingin menikah, sudah sejak kuliah kami merencanakannya, dan yang mewujudkan itu menjadi lebih cepat terjadi ya Mama dan Papanya Lintang, bisa dibilang mereka membiayai 80% acara pernikahan kami. Karena tabungan aku dan Lintang pun belum banyak.
"Yaudah kamu semangat Bang nabungnya, cari cewek yang bener juga."
"Iya Bun." Sahut Rayi pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melakoni Melankoli
General FictionCerita tentang anak-anak manusia yang hidup berdampingan dengan pesakitannya masing-masing.