SASKARA
Sudah lebih dari lima menit tapi Dayinta masih menangis. Gue bingung harus gimana, jadi ya cuma bisa peluk aja. Soalnya gue kan gak ngerti masalah dia gimana. Dan... coy dia nangis gara-gara lagu, kan superb banget yaa.
"Day, udah ayok." Gue melepaskan pelukan, memegang bahunya dengan kedua tangan, terlihat ia menunduk, air matanya masih mengalir. Dan, lagunya pun udah dari tadi gue ganti lohh, tapi dia masih nangis aja.
"Pedih tahu, Sak." Ujarnya.
"Emang kenapa sih?" Akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya.
"Emang lo gak baca di group? Mereka kan ngomongin gue."
Gue menggeleng, gue cuma baca sedikit saat Febri membuka obrolan, selebihnya gue gak baca. Males gosip begitu.
"Gue batal nikah gara-gara Lintang selingkuh, Sak!" Dayinta kembali terisak, kedua tangannya kini menutup wajahnya.
"Emang bukan jodoh kali, Day. Ehhhm gue bingung mau bilang apa, kalau cuma bilang 'sabar' kayaknya terlalu klise ya?"
Gagal main PS, Dayinta sekarang malah senderan di sofa, matanya mengarah layar TV dengan tatapan kosong.
"Lo belom move on ya, Day?"
Kini Dayinta melirik gue, ia tersenyum kemudian menggeleng pelan.
"Ada banyak kenangan yang susah banget buat dilupain gitu aja, Sak."
"Tapi selama di sini, gue liat lo biasa-biasa aja Day, kok bisa?"
"Ya masa gue nangis di depan lo? Tadi aja gue tahan, tapi lagu itu tuh... ah susah gue jelasinnya."
"Gak bagus Day ditahan begitu."
"Gue gak tahu harus apa, Sak."
"Cerita, ke gue misalnya, atau kalau gue gak asik karena cowok, lo bisa cerita ke Icha, tahu sendiri dia kan anaknya demen banget terlibat di urusan orang."
Dayinta tersenyum lagi mendengar ucapan gue barusan. Lalu, tatapan matanya kembali kosong.
"Day... seriusan, jangan ditahan, jangan dipendem, lo boleh cerita sama gue. Lo kenal gue udah lama kan?" Tanya gue dan dijawab dengan sebuah anggukan kecil oleh Dayinta.
"Lo tahu? Kepala gue sakit ngurus persiapan nikah, souvenir buat tamu lah, nyari tukang dekor, fitting baju, make-up, sampe catering, belom lagi printilan kaya box buat seserahan, atau backdrop pas lamaran, gitu-gitu. Ditambah gue sama Lintang harus nahan ego kalau orang tua kita mau sesuatu yang gak sesuai sama konsep nikahan yang kita pilih.
"Ngurus nikahan itu menguras emosi Sak, sumpah. Kadang cuma debat kecil sama Bunda aja hati gue capek banget. Atau pas Mamanya Lintang terlalu mendominasi mengatur semuanya. Tapi gue tahan-tahan, gue mikir 'coy gue nikah cuma sekali, ribet ya pasti emang ribet, capek juga udah tidak terhindarkan, toh bakalan worth it sama hasilnya, gue bakal menyelenggarakan pesta yang meriah, lalu akan menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia dengan orang yang gue pacari selama 3 tahun terakhir.' dan itu semua ke-cut gitu aja, kurang dari satu bulan saat ada cewek lain yang dateng bilang kalau dia hamil anaknya Lintang."
Dayinta mulai bercerita dan gue hanya bisa diam mendengarkan. Gosh, kebayang sih patah hati yang ia rasakan segimana sakitnya.
"Mamanya Lintang sempet ke rumah gue, mohon-mohon supaya gue gak batalin pernikahan ini. Dia gak mau anak semata wayangnya nikah sama cewek lain selain gue. Lalu, Bunda gue juga, nyuruh gue maafin kesalahan Lintang, karena menurutnya dalam setiap hubungan itu perselingkuhan pasti ada. Tapi kali ini gue mau egois, gue mau ikutin apa kata hati gue. Gue memilih mundur dan membiarkan Sosa yang nikah sama Lintang. Gue relain Sosa yang pakai baju pengantin yang gue pilih. Didandanin MUA yang gue incer dari lama. Gue tahu gue memilih mundur, gue relain Sosa yang gantiin posisi gue supaya Lintang jadi cowok yang bertanggung jawab... tapi,
KAMU SEDANG MEMBACA
Melakoni Melankoli
General FictionCerita tentang anak-anak manusia yang hidup berdampingan dengan pesakitannya masing-masing.