DAYINTA
Aku menarik napas ketika mendengar seruan Mbak Wahyuni yang bilang kalau aku dipanggil Pak Satria. Sudah seminggu lebih dan aku memang selalu menghindar dari bosku ini. Aku malas kalau ia malah membahas hal-hal yang harusnya kulupakan.
Mengambil notes, jaga-jaga kalau Pak Satria memang mau bahas kerjaan, aku berjalan santai ke arah ruangannya. Begitu tiba, terlihat asistennya antusias menyuruhku masuk.
"Masuk aja Mbak Ayi, sudah ditunggu sama Bapak."
"Makasi Mbak Wulan."
Mengetuk pintu beberapa kali, begitu ada sahutan aku langsung membukanya dan berjalan masuk.
"Pak Satria panggil saya?" Kataku formal.
"Iya, ayok duduk Mbak Ayi." Aku mengangguk, berjalan mendekat lalu duduk di kursi yang ada dihadapan Pak Satria.
"Ada apa ya Pak?" Tanyaku saat sudah duduk dengan sangat tidak nyaman.
"Ini, laporan yang dari Mas Anggi, katanya dikerjain Mbak Ayi ya?"
"Oh iya, betul Pak. Ada masalah ya?"
"Bukan masalah sih, sebenernya saya bisa minta softcopy aja buat betulin, tapi saya mau Mbak Ayi juga tahu sebelum saya koreksi."
Aku mengangguk, lalu Pak Satria memperlihatkan beberapa kali aku typo dalam menulis kata. Hal-hal simpel yang lumayan fatal sih karena ini laporan per setengah tahun.
"Udah sih itu aja, kalau data, dan lainnya sudah saya cocokan, aman."
Aku mengangguk lagi.
"Baik Pak, nanti saya kirim softfile-nya ke Mbak Wulan ya?"
"Boleh, makasi ya Mbak Ayi."
"Saya pamit ya Pak?"
"Eh jangan dulu?"
Lha?
"Saya tahu Mbak Ayi pasti marah kalau saya bahas soal adik saya. Tapi Mbak... saya mau ngobrolin ini."
Aku diam, teringan ucapan Saka yang bilang 'kalo lo mau ikhlas, hadapin setiap rasa sakitnya, enjoy it, bukan lari atau menghindar'. Well, mungkin saat ini aku harus menghadapi kali ya?
"Emang apa sih Pak yang mau diobrolin?" Tanyaku, akhirnya memilih tetap duduk dan mendengarkan, tidak lari lagi.
"Pertama, saya mau bilang makasih. Makasi karena Mbak Ayi, saat itu memilih mundur di saat orangtua Mbak Ayi, pun orangtuanya Lintang memberi pilihan untuk stay dan melanjutkan pernikahan. Saya tahu, hadirnya adik saya di hubungan Mbak Ayi itu memang sebuah petaka. Saya pun kalau ada diposisi Mbak Ayi mungkin gak akan bisa setegar itu, berani ambil sikap. Tapi saya salut sama Mbak Ayi."
Aku diam, mendengarkan.
"Keputusan Mbak Ayi itu, membuat adik saya berhenti melakukan percobaan bunuh diri. Sebelumnya, sedari dia tahu kalau dirinya hamil, sudah 3 kali dia mencoba bunuh diri. Tapi begitu tahu kalau Lintang akan menikahinya, dia lumayan tenang. Saya tahu, kalian bertiga sejak saat itu menjalani hidup yang kurang enak, dan Mbak Ayi yang paling dirugikan dalam kasus ini. Adik saya, dia menikah dengan orang yang gak mencintainya, dia bertahan karena anaknya. Pun Lintang, yang menikah dengan orang yang gak dia cintai, yang mungkin bisa pergi ninggalin istrinya kapan aja. Dan Mbak Ayi, yang gagal menikah dengan orang yang sudah Mbak pilih.
"Saya pribadi minta maaf sekali, karena kalian jadi menjalani hidup yang begitu. Tapi... ya gimana lagi?"
Aku mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melakoni Melankoli
General FictionCerita tentang anak-anak manusia yang hidup berdampingan dengan pesakitannya masing-masing.