Dayinta POV
Sudah semakin dekat. Hari bahagiaku dengan Lintang sudah sisa berapa belas hari lagi. Dan aku stress.
Yak, undangan belum dicetak. Daftar dari Bunda ada yang berganti, bikin sakit kepala. Dan dari orang tua Lintang malah belum menyerahkan daftarnya. Aku jadi takut. Padahal udah nyisa 15 hari lagi.
Ya ampun. Nyebar undangan kapan aku??? Gak mau dadakan ya Tuhan, nanti disangka hamil duluan sama orang.
"Ayi, dipanggil Pak Dodi, soal cuti katanya!" Terdengar suara Mas Trisno dari ujung ruangan.
Ah ya kan, cuti. Aku belom dapet cuti. Kalau gak di-acc ya udah ini mah, ngeue romantis di Pulo Cinta, Gorontalo tinggal impian. Hiks.
Beranjak dari kursiku, aku berjalan santai menuju ruangan Pak Dodi, mengetuk pintu sebelum membuka, aku mendengar seruan masuk.
"Dayinta, ayok masuk sini!" Ujar pak Dodi, langsung saja aku masuk ke ruangannya, duduk di kursi yang tersedia di depan mejanya.
"Gimana Pak, bisa saya cuti?"
Pak Dodi tersenyum miris.
"Kamu nikah tanggal 17 ya?"
"Iya Pak, betul."
"Kamu sih, belom ngasih undangan, saya jadi lupa kalau gak liat form cuti kamu."
Aduh, alamat belom diproses ini huhuhuhu.
"Yaaaahhh, jadi gimana nih, Pak?" Tanyaku pura-pura melas.
"Saya bisa kasih cuti paling minggu depannya, gimana?"
Aku diam, pengin langsung cemberut tapi ngeri ini orang baca gestur tubuhku. Pak Dodi kan kalau di kantor ini merangkap cenayang.
"Saya obrolin sama calon saya dulu kayaknya Pak. Takutnya dia ajuan cutinya di-acc sesuai tanggal." Kataku.
"Nah iya, tanya ya, besok harus udah ada jawaban biar bisa langsung proses."
"Siap Pak!"
"Undangan jangan lupa, Yi! Biar bisa kosongin jadwal."
"Iya Pak, lagi proses cetak." Kataku bohong.
"Yaudah, itu aja dulu Yi. Maaf yaa gak bisa ngasih sesuai tanggal ajuan, soalnya dari Departemen lain udah ada yang cuti tanggal segitu, dua orang,"
"Iya Pak, makasi yaa. Saya pamit." Kataku, kembali beranjak dari kursi yang kududuki. Jadi gak semangat gini deh aku ngelanjutin kerjaan hari ini. Huhuhu.
******
Malam harinya, aku menelepon Lintang untuk membahas cutiku ini. Tapi anehnya, Lintang tidak menjawab panggilanku. Dan ini jarang sekali terjadi. Biasanya, sesibuk apapun Lintang, dia akan mengangkat semua panggilanku. Lagi marahan aja dia pasti angkat telefon kok.
Keluar kamar, aku duduk di sofa ruang keluarga. Tumben banget nih Bunda selesai makan malem langsung masuk kamar, biasanya kan nonton dulu. Dan Rayi? Entah dia kemana, sehabis makan malam langsung izin keluar.
Bengong memandangi layar TV yang mati, aku kembali mengulang panggilan ke Lintang, lagi-lagi ia tidak menjawabnya. Aku bete sendiri, bosen diem gak jelas, sampai suara pagar yang dibuka mengagetkan ku.
Huh! Rayi tuh yaa, buka pager selalu begitu, terus apa susahnya sih ngasih oli di selot pager? Biar gak berisik!
Terdengar suara ketukan di pintu depan. Aku langsung celingukan. Ya Allah, dosa, suudzon. Bukan Rayi ternyata. Hehehe!
Loncat dari sofa, aku berjalan ke ruang tamu, membukakan pintu dan syok melihat siapa yang datang.
Pak Setiawan, Papanya Lintang. Calon Papa Mertuaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melakoni Melankoli
General FictionCerita tentang anak-anak manusia yang hidup berdampingan dengan pesakitannya masing-masing.