TPMB - 01

18.3K 396 2
                                    


*

Pagi-pagi sekali Bram sudah siap dengan setelan satpamnya. Namun, ia masih memakai sandal jepit. Ia belum melakukan salah satu kebiasaannya sebelum bekerja. Nanti ia akan ribet membuka sepatu terlebih dahulu.

Bram menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan tidak ada kendaraan ketika ia akan menyeberang jalan kecil di depannya. Meskipun kecil, jalan ini sangat ramai ketika pagi-pagi begini. Banyak anak sekolah dan orang-orang akan berangkat kerja.

Setelah salam di depan pintu, Bram memasuki rumah minimalis yang rutin ia kunjungi setiap hari.

"Lho? Belum berangka pakde?" Tanya Bram ketika melihat Pakde Jalu membaca koran di ruang tamu.

"Setiap pagi, pertanyaan itu terus yang kamu tanya. Nggak ada yang lain apa?" Pakde Jalu melipat koran, lalu menyesap teh tawar di meja samping.

"Ya namanya juga basa-basi. Ya udah, Bram ke atas dulu pakde."

"Hmm."

Pakde Jalu menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa menit lagi, pasti akan ada keributan di lantai atas. Tunggu saja.

Bram menyapa Bude Murni yang sedang mencuci piring.

"Pagi bude."

"Pagi juga, Bram. Princessnya belum bangun. Hihi." Bude Murni terkikik, pasti Bram punya seribu cara membangunkan Hana yang super kebo.

Bram tertawa menanggapi Bude Murni. Lalu melanjutkan langkahnya ke lantak atas. Menuju kamar seseorang yang mengaku dirinya sebagai Princess.

Bram selalu tertawa ketika melihat stiker yang di tempel di pintu kamar Hana.

'SATPAM DI LARANG MASUK! PRINCESS BUTUH PRIVASI!!!"

Tak urung tangannya membuka pintu kamar Hana yang selalu tidak di kunci.

Di lihatnya seonggok manusia yang masih tertidur. Meskipun tertutup puluhan boneka beraneka ragam, Hana tetap menonjol karena rambutnya yang berwarna abu-abu.

Bram bersedekap, menggeleng lalu tersenyum lagi. Dia memilih menyingkirkan boneka di sekitar Hana. Lalu ikut merebahkan tubuh di samping Hana.

Dikeluarkannya lakban hitam yang sejak tadi berada di kantong celananya. Lalu mengguntingnya dengan panjang 10cm.

Dengan hati-hati Bram meletakkan lakban ke bibir Hana. Bram berhitung dalam hati.

1, 2, 3!

Sreekk!

"Mas Braaaaaaaaaam!!!!! Awas yaa kamu!"

Tawa menggelar dari mulut Bram. Hana memegangi bibirnya yang baru saja dikerjai oleh Bram.

"Sakit tau!"

"Kamu tuh! Udah di bilangin, coba bangun pagi. Bantuin Bude Murni di dapur. Katanya princess, tapi ke dapur aja nggak pernah!" Bram mengatakannya sambil cengengesan.

"Ih! Semua kan butuh proses mas!" Sanggah Hana.

"Halah alasan terus! Proses aja teruuuus dari jaman nggak enak itu."

Hana cemberut. Bibirnya masih sedikit nyeri karena tarikan lakban yang begitu keras.

"Tau ah! Lihat nih, bibir Hana lecet tau!" Adu Hana.

"Oh lecet? Ya udah sini mas cium biar sembuh."

"Maaaas Braaaam! Keluar nggak?!" Usir Hana sambil melempari Bram dengan boneka.

Bram selalu bisa menghindar serangan Hana. "Heh! Kamu tuh yang keluar duluan. Nyapu kek, nyuci kek. Tuh keranjang cucian kamu udah seabrek!"

"Ya ya!" Hana turun dari tempat tidur. Ia langsung masuk ke kamar mandi mencuci muka dan gosok gigi.

Ternyata Bram masih menunggunya di dalam kamar. Hana mencebik kesal.

"Mas tuh ngapain sih masih di sini?!"

"Ya suka-suka mas lah! Udah sana nyapu halaman."

Hana melewati Bram yang berada di dekat pintu. Bram mengikuti Hana dari belakang. Rambut abu-abu gadis itu diikat asal.

"Dek, rambut kamu tuh ngapain sih dicat abu-abu gitu. Kayak ekor kucing aja." Bram menarik rambut Hana dari belakang.

"Ih! Apa sih jambak-jambak! Ini tuh style tau!"

Keduanya sudah sampai di dapur. Hana mengambil segelas air putih. Lalu duduk di kursi meja makan.

Bude Murni tergelak, selalu setiap pagi Bram akan membuat Hana terbangun dengan caranya sendiri.

"Sudah Bram, kamu berangkat aja. Sudah jam 6 lho ini." Kata Bude Murni.

Bram menoleh ke jam dinding di atas kulkas. "Iya bude. Bram pamit dulu ya."

Bram mencium tangan Bude Murni. Lalu menjulurkan tangannya ke muka Hana.

"Apa?!" Tanya Hana sewot.

"Nggak salim? Giliran minta duit aja, dicium tangan mas berkali-kali."

Hana mencebik. Tapi tak urung menyambut uluran tangan Bram.

"Udah kan? Puas?!"

"Hana, nggak sopan kamu!" Bude Murni memeringati Hana.

Bram memeletkan lidah. "Iih tuh! Mas Bram juga nggak sopan bu!"

Bram kabur dari dapur. Di teras, Pakde Jalu sedang memakai sepatunya.

"Lho tak kira sudah berangkat." Sapa Bram.

"Nunggu pertunjukan selesai dulu. Lumayan kan, hiburan pagi-pagi."

Bram terkekeh. "Ya udah, Bram juga mau berangkat. Hati-hati pakde."

Ia juga meraih tangan Pakde Jalu untuk salim. Maklum, setiap pagi hanya tangan Eyang yang bisa ia cium.

Ayah Bram meninggal karena diabetes sejak Bram duduk di sekolah dasar. Ibunya sejak Bram masih duduk di bangku SMP menjadi TKW. Sampai sekarang belum juga pulang. Kabarnya pun, Bram juga tidak tahu.

*

Terjerat Pesona Mas BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang