Chapter 9

163 30 0
                                    

"Kalian kenapa? Kok keringetan gitu?"

Pertanyaan Jino menyambut kedatang Aldo dan Fanderlia. Mereka langsung merebahkan tubuh mereka di sofa yang berbeda.

"Udah, gak usah banyak bacot. Itu udah gue beli semua. Jadi, Lo cepatin masaknya. Sekalian, cemilannya disimpan ke kulkas," suruh Aldo. sambil menunjuk.

"Udah kek babu dah gua," ucap Jino yang tetap mengambil belanjaan tersebut dan langsung pergi ke dapur.

"Udah syukur, Lo mau ditompangin sama, Aldo," celetuk Aji. Sekarang ini, dia sedang bermain game online di handpone-nya.

"Tadi, kenapa Lo suruh gue cepet-cepet pergi dari sana? Emang ada apaan?" tanya Aldo. Di kepalanya masih tersimpan banyak pertanyaan mengenai kejadian tadi.

Fanderlia menoleh. "Tadi, disana. Saya lihat Zakhson," jawabnya.

Aldo dan Aji syok mendengar jawaban Fanderlia barusan. Mata mereka  saling bertemu dan kembali menatap Fanderlia.

"Syukurnya, dia tidak mengenali kita. Tadi, dia berubah sosok jadi seorang laki-laki lusuh," sambung Fanderlia.

"Berarti, kita bakalan susah dong bedain dia sama orang lain," guman Aji.

"Kalian tidak usah takut. Jika, Kalian  bersama saya, maka akan lebih mudah menghindarinya," ujar Fanderlia.

"Trus, cara Lo bedain dia sama orang lain apa?" Aldo menatap bingung ke arah Fanderlia.

"Saya memiliki kemampuan dalam membedakan manusia biasa dengan orang lain," jelas Fanderlia.

"Tapi, dia gak bakalan tau kan dimana kediaman Gue?" tanya Aldo sekali lagi. Sedangkan Aji, ia hanya menjadi pendengar setia antara mereka berdua.

"Dia tidak tahu. Asalkan, kita tidak menampakkan wajah kita padanya," jawab Fanderlia.

Mereka akhirnya bernafas lega. Rasanya beban mereka seperti berkurang sedikit. Walaupun, masih ada kecemasan di dalam diri mereka.

"LO PADA TULI, YA. GUE PANGGILIN DARI TADI, GAK ADA YANG NYAHUT," teriak Jino. Semua orang reflek langsung menutup telinganya.

Mereka menatap tajam ke arah Jino yang sedang berdiri dengan apron terpasang di tubuhnya. Wajahnya terlihat kesal seperti, seorang ibu yang memarahi anaknya.

"Kuping gue sakit, woy," geram Aji. Dia langsung berdiri dan berjalan ke arah dapur.

Aldo dan Fanderlia juga mengikuti Aji. Mereka berjalan ke arah dapur. Saat berpapasan dengan Jino, ia langsung membisikkan sesuatu di telinga Jino yang membuatnya kesal. "Lo udah  mirip kayak emak-emak."

                   *************

Aldo menatap langit-langit kamarnya. Semburat kenangan indah terlintas begitu saja di kepalanya, kenangan yang sangat ia rindukan. Andai waktu bisa di putar, maka Aldo tak akan mau berurusan dengan semua ini.

Aldo merindukan kehidupan normal. Kehidupan  dimana ia bisa pergi kemanapun dan kapanpun. Sekarang ini, ia hanya bisa bersembunyi. Bersembunyi dari orang-orang aneh. Bahkan, untuk menghirup udara segar rasanya sudah sangat sulit.

Aldo melirik luka-luka kecil yang bertebaran di tangannya. Ia sangat hafal,  bagaimana rupa laki-laki aneh itu. Tapi sudahlah, mengingatnya saja sudah membuat Aldo menjadi khawatir dengan yang akan datang.

"Lo, lagi mikirin apa?"

Aji tiba-tiba saja muncul di pintu kamarnya. Senyuman khas sahabat selalu ia tunjukkan kepada Aldo. Ingin rasanya segera lari dari kenyataan ini.

Aji berjalan mendekat ke arah Aldo dan langsung merebahkan tubuhnya di samping Aldo. Mereka sama-sama menatap langit-langit yang sama.

"Lo nyesel?" tanya Aji.

Aldo melirik sebentar ke arahnya. "Gue gak tahu, yang gue lakuin ini bener atau salah. Yang pasti sekarang, gue pengen aja gitu kembali ke masa-masa sebelumnya."

Aji menghembuskan nafasnya. "Hhhh.. Gue juga sebenarnya mikir gitu. Tapi, saat gue pengen mundur. Tiba-tiba kalimat 'Jika kamu sudah maju beberapa langkah ke depan, jangan pernah berpikir untuk mundur demi satu langkah saja' terlintas di otak gue," jelas Aji dengan nada yang tenang.

Sungguh, Aldo tidak percaya dengan ucapan Aji barusan. Dia sempat berpikir kalau  ditubuh Aji ini sedang kemasukan roh baik.

"Tumben, kalimat Lo puitis banget. Habis copas di artikel mana?" ujar Aldo terkekeh.

"Ini nih, bukti orang yang selalu iri dengan kejeniusan saya," ucap Aji yang langsung melayangkan timpukan kecil di kepalanya.

"Sakit, goblok."

"Bodoamat."

"Lo mau berantam sama gue?"

"Gue gak takut tuh."

"GELOD YOK GELOD."

"Aku waras, aku diam."

"Bukannya kebalik, tuh."

"Biarin, kayak otak si Jino."

"Oh iya. Hahahhahah, kocak."

Mereka tertawa terpingkal-pingkal mengingat kebodohan Aji. Waktu mereka habiskan untuk saling bertukar cerita-cerita lucu, hingga suara Jino membuat mereka terhenti.

"Do, Nyokap Lo nelpon." Jino berjalan cepat menuju Aldo. Handpone-nya tersamoing di telapak tangannya. Buru-buru ia berikan pada Aldo dan kembali ke ruang utama.

Aldo meletakkan handpone Jino tadi ke telinganya. "Iya, halo Mah," ujar Aldo dengan canggung. Rasanya sudah lama tak mendengar suara Mamahnya, bahkan untuk melihat wajahnya saja sangat sulit.

"............."

"Yang benar, Mah!! Oke-oke, aku akan ke sana."

Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti sekarang Aldo terlihat khawatir saat sambungan telepon terputus.

"Kenapa?" tanya Aji yang melihat wajah Aldo begitu khawatir.

"Gue harus apa? Gara-gara gue semua orang terkena imbasnya!! Gue harus apa, Ji!!!"

Aldo tak henti-hentinya berjalan mondar mandir di depan tempat tidur. Rambut tebalnya ia jambak pelan. Ia terlihat begitu khawatir sekarang.

"Oke, sekarang Lo tenang dulu. Kalau Lo udah tenang, Lo bisa ceritain ke gue."

Aji mencoba memberikan ketenangan untuk Aldo. Rasanya sangat sakit, jika melihat sahabat sendiri sedang kesusasahan. Dia tahu, Aldo sudah sangat takut sekarang. Dalam artian, takut kehilangan sesuatu. Tak tahu 'sesuatu' itu apa.

                        ***********



Aldo: The Cat MAJIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang