Chapter 14

157 25 4
                                    

Entah sudah hari keberapa mereka di sini. Di tempat yang begitu berbeda dan sempit. Setelah mereka tadi disiksa habis-habisan. Mereka akhirnya dibawa ke tempat semula. Tempat dimana mereka dikurung oleh besi-besi yang memiliki sihir.

"Do. Lo gak papakan?"

Sedari tadi, Aji dan Jino selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama. Sebagai jawabannya, Aldo hanya tersenyum untuk tidak membuat sahabat-sahabatnya itu khawatir. Walaupun, tubuhnya serasa ingin remuk.

"Iya, gue gak papa. Kalian gimana? Badan Lo pada bahkan lebih parah dari gue?" tanya Aldo balik.

Mereka menggeleng dengan cepat. "Badan Gue gak papa. Gue tahu, hati, Lo, pasti sakit banget denger kenyataan ini," jawab Aji mencoba kuat.

"Iya. Lo kan tau, badan gue sama Aji kuat. Bahkan nih ya, kalaupun gue harus bawa satu beruang. Gue pasti sanggup tuh," ujar Jino. Bahkan keadaan seperti ini, mereka masih sempat-sempatnya bercanda.

"Beruang apa?" ujar Aji.

"Beruang boneka, lah. Masa iya, beruang beneran. Belum sampe ketujuan aja, gue gak yakin badan gue tetap utuh," kekeh Jino sambil menggaruk tengkuknya yang gatal.

"BAWA DIA KE PENJARA YANG SATU LAGI."

Dari luar terdengar beberapa derap langkah dan ditambah dengan suara bentakan yang lama kelamaan makin terdengar jelas.

Ternyata mereka, para penjaga yang membopong Fanderlia yang lemas. Badannya sudah dipenuhi oleh tetesan darah akibat cambukan yang sangat keras.

Aldo sempat meliriknya sebentar dan langsung mengalihkannya. Dia tidak mau jika harus masuk lagi ke dalam penyesalannya. Menyesel pernah mempercayai parempuan. Rasa kasihannya membawa dia harus merasa terkhianati lagi.

"Cih!!! Pengkhianat!" seru Jino. Rasanya ingin sekali menonjok wajah perempuan yang telah menyakiti hati sahabatnya itu.

"Udah, mending kalian gak usah liatin dia," ujar Aji yang langsung dituruti mereka.

Setelah Fanderlia sudah terbaring di atas rerumputan kering. Para penjaga tadi langsung meninggalkannya, tak lupa mereka mengunci ruangan Fanderlia tadi.

"Selamat menunggu kematianmu, Fanderlia!!!" seru salah penjaga sebelum pergi dan menghilang di pintu.

"Lo pasrah gak?" tanya Aldo. Kini ia mencoba fokus pada teman-temannya .

"Gue sebenarnya gak pasrah. Tapi, gue pasrah aja," jawab Jino dengan santai.

"Maksudnya gimana. Coba ulang. Kayaknya tangan gue mau sembuh deh, soalnya pengen nonjok muka, Lo aja gitu," geram Aji sambil membulatkan tangannya kuat.

"Gue pengen pasrah rasanya. Gue rasa kita gak ada peluang untuk nyelamatin diri," ujar Aldo.

Kini semuanya diam. Suara yang tadi terdengar kini lenyap. Kepala mereka sedikit demi sedikit menunduk. Apa yang dikatakan Aldo tadi ada benarnya. Peluang untuk lolos dari sini rasanya sangat kecil, bahkan tidak ada.

"Gue masih ingat gimana muka tolol Jino waktu di suruh Pak Jono presentasikan hasil diskusi kelompok mereka," ucap Aji sambil mengingat mimik wajah Jino yang kebingung.

Flashback on

Waktu itu Jino sedang mengobrol bersama temannya, padahal mereka sedang presentasikan hasil diskusi kelompok mereka. Karena, dosen—Pak Jono yang tak sengaja melihat Jino tertawa di barisan belakang. Alhasil, dia langsung disuruh untuk menggantikan temannya berbicara di depan.

"Jino, kamu sedang apa di sana? Sekarang, saya minta, Kamu yang presentasikan hasil diskusi kalian," suruh Pak Jono.

Jino yang mendengarnya langsung syok. Matanya membulat. Ingin sekali menolak suruhan Pak Jono. Tapi, dia takut nilainya yang akan menjadi korban.

"Saya tau bapak pasti dendam dengan nama saya yang hampir sama dengan nama bapak. Apa gak bisa, Pak, saya jadi manekin aja di sini," tawar Jino, "Bapak kan tahu kalau otak saya itu ada sesinya. Nah sekarang, otak saya lagi gak berfungsi, Pak."

Semua orang lantas tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan polos Jino barusan. Tak disangka, orang yang penampilan sangat keren ini ternyata sangat bodoh.

Pak Jono menggeleng. "Cepat atau nilai kamu tidak keluar," ancam Pak Jono.

Alhasil, Jono lah yang semua presentasikannya. Walaupun terkadang, pengucapan kalimatnya banyak yang salah.

Flashback off

Jino yang mengingatnya langsung tersipu malu. Kejadian yang sangat ingin dimusnahkannya itu ternyata diabadaikan layaknya monas di kepala sahabat-sahabatnya.

"Gue udah lupa malah diingatin lagi," ucap Jino.

"Gue juga ingat waktu, Aji di tolak Cewek di depan lapangan SMA," ujar Aldo sambil terkekeh-kekeh.

Flashback on

Saat itu, suasana sedang panas- panasnya. Terik matahari membuat Aldo, Aji dan Jino langsung berteduh di bawah pohon yang rindang.

Tiba-tiba, Aji tak sengaja melihat segerombol wanita-wanita cantik lewat di depan mereka. Matanya langsung fokus pada seorang gadis berbendo pink yang berjalan paling depan. Buru-buru Aji pergi entah kemana meninggalkan Aldo dan Jino.

"Gue pergi dulu," ujar Aji langsung berlari dengan cepat.

"Tuh anak kenapa?" tanya Aldo sambil mengibas-ngibaskan tangannya di dekat wajah.

Jino mengangkat bahu tak tahu. "Mungkin dia lagi nyari minuman untuk kita," jawab Jino asal.

Tak lama, beberapa orang langsung berhamburan ke tengah lapangan. Tak tahu entah apa yang terjadi. Tapi, terdengar seperti kata 'cie' mengudara hingga sampai ke telinga Aldo dan Jino.

Buru-buru mereka langsung mencari tahu ke sana, melewati lautan manusia kepo seperti mereka.

"Minggir dong," ujar Aldo saat tak sengaja berhimpitan dengan banyak orang.

"Ada apaansih?" tanya Jino kepada salah satu perempuan.

"Ada yang lagi di tembak tuh," jawabnya. Jino semakin ingin tahu.

Kini sampailah mereka ke barisan paling depan. Di sana terlihat Aji yang berlutut di depan Anggi—perempuan famous di sekolah ini, dengan plastik minuman harga seribu-an di tangannya berwarna oranye.

"Lo mau gak jadi cewek gue," ujar Aji dengan percaya diri.

Tak berapa lama es yang tadi di tangannya sudah diambil oleh Anggi. Ia tersenyum. Berarti Anggi menerimanya. Tapi, tak berapa lama, es itu kini sudah berpindah lagi ke atas kepala Aji. Rambutnya basah oleh cairan berwarna oranye berasa jeruk itu.

Sontak semua orang terkejut. Bahkan ada yang tertawa-tawa melihat ekspresi Aji  menjilat-jilatin minuman itu di wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Aldo dan Jino.

"Hahahha, sayang minumannya dibuang gitu," seru Jino tertawa.

"Gue ogah sama Lo. Lo gak masuk ke dalam kriteria cowok gue!!! AWAS," ujar Anggi dengan penekanan. Ia langsung pergi bersama teman-temannya meninggalkan Aji yang berlutut di atas semen panas.

"Hahahah, komuk, Lo, lucu," ujar Jino yang langsung menghampiri Aji. Sunggu teman biadab sekalai. Sudah tahu, kalau Aji sedang ditolak cewek. Bukannya menyemangatinya, malah sebaliknya. Menertawainya.

"Lagian, Lo mau nembak cewek kayak mau jualan es aja," tambah Aldo terkekeh.

Flashback off
   
"Hahaha, gue inget," ujar Jino.

Kini giliran Aji lah yang malu. Setiap orang pasti memiliki kejadian yang tak terlupakan. Entah itu sedih atau lucu.

Akhirnya, mereka hanya saling mengingat-ingat momen paling memalukan. Tapi, khusus Aldo. Mereka tidak mau membahasnya. Karena, kebanyakan momen tak terlupakan Aldo itu hanya berdekatan dengan perempuan-perempuan yang mengkhianatinya. Mereka tak mau mengungkit hati terluka Aldo. Cukup, Aldo lah yang mengingatnya. Mereka rela menceritakan aib jelek mereka.

                      *******
 


         

Aldo: The Cat MAJIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang