Sudah seminggu ini, mereka hanya berdiam di rumah. Tak tahu entah apa yang dilakukan. Ingin pergi ke luar sana. Tapi, mereka takut jika harus bertemu dengan Zakhson. Alhasil, di sini lah mereka. Di atas karpet bulu sambil merebahkan tubuh.
"Gue gabut," ucap Jino.
Aldo menatap ke arahnya sebentar dan kembali lagi menutup mata. "Gue juga," ujar Aldo.
"Gabut itu apa?" tanya Fanderlia. Wajahnya terlihat bingung dengan istilah-istilah aneh di dunia manusia ini.
"Gabut itu sejenis debu. Biasanya, kalo mata kita sakit, penglihatan pun akan gabut," jelas Aji dengan bangganya.
"Itu kabut, bego!!" timpal Jino. Ia menggesek tangannya keras ke atas kepala Aji.
"Yaudah, sih! Sakit nih." Aldo mengusap-usap kepalanya yang barusan jadi korban.
"Lo pada berisik. Gue mau tidur juga," ujar Aldo kesal. Bantal yang berada di dekatnya langsung ia lempar ke arah Jino dan Aji.
"Wissss, santai dong, Men," ujar Aji yang lolos menghidari serangan dari Aldo.
"Tau. Gue udah dua kali korban, atas kekerasan dalam rumah tangga kalian," timpal Jino.
"Sudah-sudah. Kalian dari tadi berisik," ujar Fanderlia mencoba menengahi perdebatan mereka, "bagaimana, kalau kita jalan-jalan sebentar ke luar. Saya tahu, kalian sudah besan di sini terua," sambung Fanderlia.
Aldo, Jino dan Aji sepertinya sepemikiran. Mereka mengangguk setuju dan langsung mengambil peralatan. Peralatan yang biasanya mereka pakai untuk penyamaran.
***************
"Lo, yakin di sini gak ada 'dia'," ucap Aji.
Mereka memang berjalan-jalan ke salah satu mall besar. Rasanya, sudah lama mereka tak menghirup udah ac mall. Biasanya kalau sedang tidak ada pekerjaan di rumah. Maka, mereka akan berkumpul-kumpul atau sekedar berjalan-jalan di mall. Tapi, sekarang keadaannya berbeda. Ada satu krang yang harus dijaga.
"Udahlah, lagian dia gak akan ngenal kita juga. Kan kita pake topi, masker sama kaca mata. Gue yakin, orang tua gue juga, gak bakal ada yang kenal sama Gue," ucap Jino menimpali.
"Jino, katakan ada benarnya. Zahkson tidak akan mengenali kita," ujar Fanderlia.
Sedangkan, Aldo. Dia hanya melihat-lihat sekitar. Memastikan bahwa tempat ini aman dari orang seperti Zakhson.
"Nah, mumpung kita ada di luar. Bagaimana, kalau kita nongkrong-nongkrong dulu. Gue kangen, nongki-nongki bareng, Lo, pada," ujar Aji.
Mereka berjalan menuju salah satu restoran makanan jepang. Restoran yang sangat mereka sukai. Jika, tidak memakan sushi saat di mall. Rasanya seperti ada yang kurang.
Mereka memilih meja yang berada persis di dekat pintu. Kini, Aji lah yang bertugas untuk memesan menu makanan.
"Gue sama Fanderlia samain aja. Gue pesen Sushi sama orange jus. Jangan lupa, minta nomor mbak-mbaknya," ujar Aldo terkekeh saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Gue juga samain aja bareng Aldo," tambah Jino.
"Dih, gak kreatip. Suka plagiat," cibir Aldo.
Jino menghembuskan nafasnya. "Hufttt. Yaudah, gue sushi sama orange jus aja."
Aji memutar bola matanya malas. "Itu mah sama aja, Bego. Pusing gue punya teman kayak, Lo," ucap Aji lalu pergi ke arah kasir dan memesankan makanan mereka.
Sementara ditinggal Aji, mereka hanya sibuk melihat orang-orang yang berlalu lalang di depan mereka. Mata mereka mengikuti jalan seorang laki-laki yang memiliki sifat seperti perempuan. Lebih tepatnya sih bencong.
"Gila, njir. Bedaknya tebel banget," kekeh Jino.
Aldo menyetujui apa yang dikatan Aji. Memang, wajahnya sudah seperti tepung pisang goreng. "Hooh, kalau bisa diukur. Mungkin, tebalnya udah sejalan raya. Jalan yang biasanya ditambal-tambal. Lo, tau kan," tambah Aldo.
Fanderlia melihat ke arah pembicaraan Jino dan Aldo barusan. Memang, bedak laki-laki itu sangat berlebih. "Aku tidak suka," ucap Fanderlia.
Aji dan Aldo secara bersama menatap ke arah Fanderlia. Wajahnya terlihat jijik melihat bencong itu. "Hahahah, tapi lucu," ujar Jino. Perutnya sudah sangat sakit, akibat menggibahi bencong itu.
"Kalian mau lucu? Bentar, biar saya tunjukkan."
Fanderlia mengarahkan telunjuknya ke arah bencong itu. Mukutnya bergerak-gerak, tak tahu entah apa yang dia katakana. Tiba-tiba......
PRUTTTTTTT
bunyi yang sangat keras. Semua orang langsung mencari ke arah sumber suara. Orang tadi—atau bencong langsung memegang bokongnya. Ia sangat malu. Semua orang kini menatap aneh ke arahnya. Ada yang tertawa atau kesal.
"Itu kentut atau bom. Suaranya gede amat, Mbak."
"Ishh, jijik banget sih. Gue jadi mual jadinya."
Aldo dan jino langsung tertawa terbahak-bahak. Air mata mereka sampai menetes, saking lucunya. Peret mereka juga terasa keram.
"Gue baru tau. Fanderlia juga orang iseng ternyata. Ntar, kalau gue pengen jahilin orang. Cocok nih, diundang," ucap Jino di sela-sela tawanya.
"Hahaha, gue ngakak. Perut gue sakit, Njirr," tambah Aldo. Tangannya sampai-sampai memukul meja dengan keras.
"Sudah-sudah. Kalian tidak malu dilihat orang lain," ujar Fanderlia.
Memang, kini mereka sedang ditatap aneh oleh seluruh pengunjung restoran. Aldo dan Jino yang menyadarinya langsung terhenti. Mereka dengan cepat mengubah ekspresi wajah mereka dengan tenang.
"Oke, lanjut," ucap Aldo dengan tenang.
"Aji, kenapa lama sekali? Saya merasakan ada yang tidak beres di sini," ujar Fanderlia.
Mereka baru ingat. Kemana perginya Aji? Apa dia sedang ke toilet? Tapi, jika ia. Mana mungkin lama sekali.
**************
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldo: The Cat MAJIC [END]
FantasyKisah cinta yang dikhianati membuat seorang Aldo atau tepatnya Rionaldo Arya Gutama sakit hati hingga Tuhan mempertemukannya dengan seekor kucing manis dan imut, kucing yang dapat berubah bentuk menjadi wanita cantik.Bilang saja itu mustahil. Tapi k...