Part 10. Selamat Jalan

86 3 3
                                    

"Shalin! Bangun, Shalin!" teriak Mega sambil menepuk pipi sahabatnya.

Helena dan Betty ikut mendekat dengan wajah yang masih gugup, meskipun ada sedikit rasa bersalah akibat terlibat dalam perkelahian. Bagaimanapun, Shalin adalah teman sekamar yang pernah bersama.

Para guru datang dan memeriksa keadaan Shalin. Pak Rangga menekan denyut nadi pada pergelangan tangan gadis itu, tetapi sudah tidak ada. Begitu juga dengan napasnya yang tidak berembus lagi. Dengan wajah yang sangat menyesal, guru muda itu menggeleng.

"Shalin sudah berpulang," ucap Pak Rangga seraya menutup wajahnya.

"Apa? Enggak! Jangan pergi, Shalin! Shaliiin!" teriak Mega sambil terus menggoyangkan tubuh Shalin. Dalam lubuk hati ia begitu menyesal. Sungguh menyesal. Sebuah perasaan yang mungkin akan ditanggungnya seumur hidup. Akibat pertengkaran itu, sahabat satu-satunya yang telah menemani sejak kelas satu harus pergi.

Segenap guru dan karyawan di SMA Nusantara mempersiapkan kepulangan jenazah Shalin. Semua siswa diliburkan, dan khusus teman-teman sekelasnya diperbolehkan untuk ikut menghadiri pemakaman.

Air mata mereka tidak dapat dibendung. Suasana pagi yang cerah sejenak menjadi mendung dan berkabut, seolah menjadi pertanda bahwa di sekolah ini lagi-lagi harus ditimpa kabar duka.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Mega?" tanya Bu Laras saat mereka ikut dalam rombongan bis yang disediakan oleh sekolah.

Mega hanya bergeming dengan tatapan mata lurus ke depan, tidak dapat menjelaskan apa-apa.

"Apa kamu tahu apa yang terjadi, Betty? Jawab!" Kini giliran Betty yang dicecar dengan pertanyaan oleh Bu Laras karena gadis itu juga ada saat kejadian.

Betty ikut bungkam dengan wajah yang masih sedikit shock. Helena mencoba memberi penjelasan kepada Bu Laras dengan berusaha tetap tenang. "Nanti kami akan jelaskan, Bu. Kami masih berduka untuk kepergian Kak Shalin."

Bu Laras mengangguk dan menyatakan setuju. Perjalanan dari sekolah menuju kediaman Shalin berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam.

Ambulan yang membawa jenazah Shalin tiba di sebuah rumah besar dengan desain kuno. Kedatangan jenazahnya disambut isak tangis oleh kedua orang tua beserta keluarganya. Dari kejauhan tampak seorang wanita yang ternyata adalah ibu Shalin, sedang menangis pilu. Di sisinya seorang lelaki memakai baju tentara, yang menurut informasi adalah ayah Shalin.

Tangis dari para anggota keluarga semakin pecah ketika peti jenazah Shalin diturunkan secara perlahan dari mobil ambulan. Ibu Shalin segera memegangi peti berwarna coklat tua dan memeluknya.

"Buka petinya!" titah ayah Shalin saat peti sudah diletakkan di ruang tamu yang telah ditata rapi.

"Astaga! Shalin, anakku! Jangan tinggalkan Ibu, Nak. Bangun, Shalin anak Ibu!" Kata-kata itu terus menerus diucapkan oleh ibu Shalin ketika melihat wajah sang putri semata wayang, hingga akhirnya ia pingsan.

Setelah prosesi persemayaman di rumah Shalin, kini giliran proses pemakaman dilakukan. Peti jenazah Shalin dibawa menuju komplek pemakaman umat kristen.

Perlahan peti itu dimasukkan ke dalam liang lahat diiringi isak tangis para sahabatnya di sekolah.

"Kami selaku guru dan perwakilan pihak SMA Nusantara mengucapkan bela sungkawa atas insiden yang menimpa anak Bapak, ya," ucap Pak Siregar berempati.

"Terima kasih, Pak. Sebenarnya apa yang terjadi? Setelah masa berkabung ini selesai, saya akan mengusut kembali perihal kematian anak saya," ucap ayah Shalin.

"Kami pun belum memeriksa kembali lokasi, Pak. Tapi berdasarkan keterangan saksi, ini murni kecelakaan."

Ayah Shalin mengangguk pasrah seraya menghapus bulir bening di sudut matanya. Setelah gundukan tanah menutup tempat peristirahatan terakhir Shalin, tetes-tetes gerimis menetes. Cahaya matahari berubah menjadi sedikit gelap akibat awan mendung.

"Ayo, kita pulang!" ajak Pak Siregar kepada guru dan siswa yang ikut. Mereka pun kembali menuju bis.

Selama di perjalanan, Helena, Betty dan Mega lebih banyak diam. Mereka duduk di kursi sambil memandang ke arah pemandangan di luar jendela. Ketiga gadis itu sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sungguh, hari yang sangat melelahkan. Helena, Betty dan Mega pun akhirnya tiba di kamar asrama.

Segera para gadis belia itu merebahkan diri di atas ranjang masing-masing. Namun, Mega hanya duduk terpaku dengan tatapan tidak bersemangat. Beberapa bulit bening air mata menetes di pipinya.

Gadis itu terbayang momen pertama kali bertemu dengan Shalin. Selama tiga tahun menjalin persahabatan, baru kali ini ia merasa sangat kehilangan sosok sahabat yang selama ini menjadi penyemangat dan menghiburnya.

"Sabar, Kak Mega. Kami pun ikut bersedih," ucap Helena berdiri dan mendekat, mencoba menghibur kakak kelasnya.

Mega ikut hanyut dalam kenangan, lalu bersandar dalam pelukan Helena. "Kalian harus janji, jangan bilang siapa pun atas insiden jatuhnya Shalin di tangga akibat perkelahian kita. Ingat itu!"

"Tenang saja, Kak," jawab Helena.

"Iya, lagi pula ini sudah takdir, tidak perlu menyalakan siapa-siapa."

***
Malam hari terasa begitu sepi. Hujan turun mengguyur tanah, membuat para penghuni asrama tidak ingin keluar dari kamar.  Entah mengapa, sejak meninggalnya Shalin pada insiden jatuh dari tangga, semua penghuni sekolah dan asrama merasa ketakutan.

Di saat Helena sedang menyelesaikan salat Isya, terdengar suara pintu diketuk. Ia bergegas bangkit dan membuka pintu.

Seorang wanita berkacamata datang, dan menerobos masuk ke kamar asrama. Spontan saja ketiga gadis penghuni kamar merasa kaget.

"Ada apa, Bu Laras?" tanya Helena yang merasa terkejut.

"Sekarang jelaskan kejadian yang sebenarnya!" titah Bu Laras.

"Sebenarnya apa, Bu?"

"Saya sudah melihat rekaman CCTV di tangga lantai dua. Apa kalian mau menjelaskan sesuatu?"

"I-itu ...." Mega mencoba menjelaskan, tetapi lidahnya terasa kaku. Gadis itu yakin bahwa Bu Laras akan menghukumnya.

"Jawab, Mega! Kenapa kalian bertegkar?"

"Semua ini gara-gara dia!" jawab Mega sambil menunjuk ke arah wajah Helena.

Tentu saja jawaban itu membuat Helena dan Betty membulatkan mata merasa terkejut. Padahal Mega sendiri yang menyuruh mereka berjanji agar bungkam.

"Bukan, Bu! Kak Mega dan Kak Shalin yang lebih dulu menantang kami di sana." Betty mencoba membela Helena.

"Sekarang kalian saya hukum. Pergi dan bersihkan perpustakaan sekolah. Cepat!"

"Tapi ini sudah malam, Bu. Ini benar-benar enggak adil. Lagi pula harusnya Ibu lebih bijak dalam menyelesaikan perkara. Kalau Ibu sudah melihat CCTV, seharusnya Ibu tahu siapa yang salah. Kak Shalin justru berusaha mencoba mencelakai kami, sehingga ia jatuh dari anak tangga."

"Tapi, jika tidak ada keributan dan masalah, seharusnya peristiwa ini tidak terjadi. Sudah, jangan banyak alasan."

Bu Laras menggiring ketiga gadis itu menuju ruang perpustakaan sekolah. Sungguh bagi mereka, itu adalah perbuatan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Mereka dipaksa membersihkan ruang perpustakaan sekolah di malam hari. Terlebih lagi, suasana saat ini masih sangat berkabung.

Ruangan yang sangat besar itu adalah tempat para siswa biasa berkumpul di siang hari. Namun, berbeda suasananya ketika malam hari. Sepi dan menyeramkan.

Helena memegang sapu, Betty memegang lap yang diberikan oleh Bu Laras, sedangkan Mega menyusun kembali buku-buku yang berantakan.

Satu per satu buku yang tercecer tidak pada tempatnya dimasukkan Mega berdasarkan kode yang tertera. "Sial bener, sih!"

Di tengah suasana yang mencekam, tiba-tiba terdengar suara seorang gadis yang menangis di sudut ruang perpustakaan. Helena dan Betty menoleh dan saling bertatapan. Dengan tubuh sedikit gemetar, mereka berusaha mencari sumber suara.

***
Bersambung

Haaii, udah pada kasih vote belum?
Jangan lupa vote, ya.

Wanita Penunggu SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang