Samar-samar terdengar suara gadis yang sedang menangis di dalam ruang perpustakaan sekolah. Suasana malam ini masih diguyur hujan. Helena, Betty, dan Mega sedang dihukum untuk membersihkan ruangan tersebut.
"Kak Mega dengar suara orang nangis, gak?" tanya Helena sambil menepuk bahu kakak kelasnya.
"Suara apaan, sih? Jangan nakut-nakutin, deh!" jawab Mega sambil meletakkan buku ke dalam rak. Gadis itu melirik ke arah salah satu buku yang berjejer di barisan rak. Ada sebuah album kenangan yang sudah begitu usang, menarik perhatiannya.
"Apa ini?" tanya Mega sambil mengambil buku kenangan itu dan meletakkannya di atas meja.
Betty yang masih memegang lap untuk membersihkan meja, ikut penasaran hendak membuka album kenangan juga. Lembar per lembar dibuka, ketiga gadis sesekali tertawa melihat foto-foto siswa pada masa yang lalu. Wajah-wajah siswa berjejer dengan nuansa hitam putih.
Pada lembaran keempat, Helena menemukan foto Papahnya. Gadis itu tertawa melihat penampilan sang Papah. Pada lembaran kelima, Helena menemukan foto Mamahnya. "Ini Mamah!"
"Oh, ya? Cantik seperti kamu, Helen. Kalian sangat mirip," puji Betty.
Selanjutnya, pada lembaran yang sama, Helena menemukan foto gadis berambut panjang yang di bawahnya tertera nama Danisha. Gadis itu tiba-tiba tertegun. Ia mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Baginya, mendengar nama itu seperti sesuatu yang tidak asing.
Saat Helena mencoba mengingat dan mencari jawaban, lagi-lagi terdengar suara seorang gadis yang sedang menangis. Helena, Betty dan Mega mencoba menajamkan pendengaran masing-masing. Suara itu semakin terdengar.
Segera Helena menarik lengan Betty dan Mega untuk mengetahui berasal dari mana sumber suara tersebut. "Ayo, kita lihat!"
Ketiga gadis melangkah perlahan melewati barisan rak besar dan tinggi yang berhadapan bagaikan sebuah labirin. Helena berjalan paling depan, Betty mengekor di belakangnya, sedangkan Mega yang paling merasa ketakutan berdiri paling belakang sambil memegangi ujung baju Betty.
Tibalah Helena dan teman-temannya di sudut ruang perpustakaan. Tampak seorang gadis berseragam sekolah sedang duduk dan menangis. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sekilas penampakan tubuhnya mirip seseorang yang dikenal.
"Ka-kau ... Kak Shalin?" tanya Helena dengan gugup.
"Jangan sembarangan, Helena! Elu mah, pake ditanya, sih! Itu 'kan belum tentu manusia, dasar oneng!" gerutu Mega sambil menutup matanya karena takut.
Gadis berambut panjang itu perlahan membuka kedua telapak tangan. Wajahnya putih pucat dengan tatapan mata yang terus memandang Helena dan teman-temannya. "Ihihihi ... Kalian belum melupakan aku, 'kan? Sekarang ... ayo ikut aku!"
Mega yang sejak tadi menutup mata dengan kedua telapak tangan akibat rasa takut, kini perlahan membukanya. Wajah gadis itu benar-benar terkejut melihat sang sahabat yang tadi pagi baru saja meninggal kini ada di hadapan. Perlahan kakinya bergetar dan terpaku di tempat seolah tidak bisa berlari.
"Tidak! Kau sudah mati, Kak Shalin! Kami tidak mau ikut. Tidaak!" teriak Helena sambil berjalan mundur.
Gadis yang mengaku Shalin itu tiba-tiba berdiri, maju, lalu mendekat. Wajahnya seketika berubah menjadi penuh darah, persis seperti saat ia jatuh dari tangga.
"Ayo, lari!" seru Betty sambil menarik lengan Helena. Spontan gadis itu berlari sekencangnya.
Namun, suasana di dalam perpustakaan semakin mencekam ketika cahaya lampu tiba-tiba mati, tepat sesaat setelah terdengar petir yang menggelegar. Betty berhenti berlari ketika tanpa sengaja menabrak sebuah rak buku akibat gelap.
Helena ikut terjatuh di samping Betty. Namun, kedua gadis itu tidak begitu saja menyerah. Mereka mencoba bangkit lagi sambil berusaha meraba-raba jalan.
Dengan perasaan yang bercampur aduk antara cemas, lelah, dan takut, Helena mencoba untuk keluar dari ruangan. Akan tetapi, mereka melupakan Mega yang sedari tadi entah berada di mana. Suasana begitu gelap. Helena lalu berteriak dari kejauhan memanggil nama Mega.
"Kak Mega! Kakak di mana?" suara Helena terdengar ke seluruh ruangan.
Tidak ada jawaban. Kini giliran Betty yang berteriak. Mereka benar-benar ketakutan. "Kak Mega! Kakak di mana?" teriak Betty, tetapi tidak ada jawaban.
Helena dan Betty terus berjalan perlahan sambil meraba sisi rak buku. Tiba-tiba di hadapan mereka tengah berdiri Shalin yang berusaha mencekik leher keduanya. Tangan yang kurus itu berubah menjadi panjang dan menyentuh leher Helena.
"Tolooong! Toloong!" teriak Helena sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Shalin yang terasa begitu dingin.
Dengan segenap kekuatan, Shalin juga berhasil mendorong tubuh Betty dengan kakinya hingga terjatuh. Kacamata gadis itu pun ikut terjatuh. Ia meraba-raba ke lantai mencari benda kesayangan. Beruntungnya masih bisa ditemukan.
Dalam kondisi yang mendesak, Betty tetap berusaha melepaskan cengkeraman Shalin dari sahabatnya. Ia tiba-tiba teringat lafaz ayat kursi yang beberapa hari lalu baru saja diajarkan di ekskul rohis. Gadis itu merapal doa berkali-kali hingga sosok hantu yang menyerupai Shalin melepaskan cengkeramannya pada leher Helena.
"Terima kasih, Bet!" Helena segera berjalan menuju pintu keluar bersama Betty. Namun sayang, pintu terkunci. Kedua gadis menggedor pintu kayu yang bagian tengahnya terbuat dari kaca.
"Toloong!" teriak Helena dan Betty bersamaan. Tidak ada yang mendengar, bahkan Bu Laras pun meninggalkan mereka dalam keadaan gelap.
Berkali-kali Helena berteriak, tetapi tidak ada hasil. Mereka hampir saja berusaha memecahkan kaca pada bagian pintu dengan menggunakan gagang sapu. Jantung Helena terus berpacu. Saat ia mengarahkan ujung gagang sapu tersebut ke arah kaca, tiba-tiba seorang pemuda berdiri di depan pintu sambil memegang lilin dan memasukkan kunci pada lubang pintu.
"Kak Andika?" tanya Helena berusaha meyakinkan.
"Iya, kenapa? Ayo cepat keluar!"
"Tapi, Kak, di dalam masih ada Kak Mega yang belum kami ketahui keadaannya," ucap Betty.
"Ayo, kita cari Mega!" Andika masuk ke dalam ruang perpustakaan sambil membawa sebatang lilin yang menyala. Ia juga memberikan lampu senter yang sejak tadi disimpan di dalam kantong.
Mereka berhasil menemukan Mega dalam keadaan pingsan.
"Kak Mega, bangun!" panggil Helena sambil menepuk pipi Mega.
Karena tidak ada respon, Andika segera menggendong gadis yang pingsan itu dengan bantuan Helena dan Betty.
"Bu Laras keterlaluan! Apa perlu kita laporkan dia kepada kepala asrama dan kepala sekolah?" rutuk Andika sambil berjalan menggendong Mega di belakang punggungnya.
"Ja-jangan, Kak! Eng-enggak usah. Ini memang salah kami. Ngomong-ngomong, Kakak tau dari mana, kami di sini?" jawab Helena. Sejujurnya gadis itu takut bila melaporkan Bu Laras maka mereka akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.
"Aku tadi mengikuti kalian dari belakang. Beberapa lama setelah Bu Laras keluar dari ruangan, tiba-tiba mati lampu. Jadi aku kembali ke asrama dan mencari lilin."
"Emm, terima kasih, Kak," jawab Helena dan Betty bersamaan.
"Sama-sama. Anggaplah aku pahlawan tak diundang."
***
BersambungAlhamdulillah, terima kasih teman-teman yang masih setia membaca.
Jangan lupa beri vote yaaa.
🥰🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penunggu Sekolah
HorrorHelena memilih pindah ke asrama sekolah karena ingin mendapatkan teman dan suasana baru. Namun, di sekolah tersebut ia justru mendapatkan banyak teror dari makhluk tak kasatmata. Bahkan, seorang sahabat terbaik kerap kali berusaha membunuhnya. Hingg...