Part 16. Home

80 2 8
                                    

Cahaya matahari dari atas langit memancarkan kehangatan pada seluruh makhluk yang menantikan hadirnya. Di sebuah koridor asrama, Helena berjalan sambil sesekali menatap ke arah taman.

Adelia Wilhelmina --mamah Helena-- berjalan dengan langkah penuh percaya diri. Kali ini, wanita yang selalu berpakaian modis itu memakai kaos putih dikombinasikan dengan rompi panjang selutut. Seperti biasa, sebuah syal bermotif panjang menghiasi leher jenjangnya. Celana panjang ketat berbahan denim melengkapi busananya.

"Mamah, jangan cepat-cepat jalannya!" seru Bagaskara, papah Helena di belakang sambil menyeret koper milik putri semata wayangnya.

Helena tersenyum kecil menyaksikan tingkah kedua orang tuanya. Namun, langkah kakinya mendadak terhenti saat menyadari ada sosok lelaki yang berdiri tepat di hadapan gadis itu.

"Jadi, kamu mau pulang, Helena? Kenapa harus pulang?" tanya Pak Rangga dengan wajah tanpa dosa.

"Kenapa Bapak tanya saya? Bukankah ini kemauan Bapak?" tanya Helena ketus.

"Ssstt! Helena, kamu jangan begitu sama guru. Aduh, Bapak. Maafkan anak saya, ya. Dia memang begitu," ucap Adelia.

"Ah, tidak apa-apa, Bu. Lagi pula, saya tidak mengerti kenapa Helena pulang. Padahal kami pihak sekolah sudah memaafkan kesalahannya,"  jawab Pak Rangga.

Helena tercengang mendengar pengakuan Pak Rangga. Namun, gadis itu berusaha tidak menghiraukan.

"Kalau begitu, kami pamit dulu, Pak," ucap Bagaskara.

Pak Rangga mengulas senyum kepada Helena beserta kedua orang tuanya. Setelah itu, keluarga Helena menuju halaman parkir.

***
Perjalanan menuju Jakarta cukup melelahkan. Mereka tiba di rumah ketika azan Zuhur berkumandang.
Sebuah gerbang besi tinggi berwarna emas dibuka oleh seorang penjaga berpakaian hitam-putih.
Setelah mobil memasuki halaman yang luas menuju parkiran, para asisten rumah tangga segera menghampiri Helena dan keluarganya untuk sekedar membawa barang-barang.

"Selamat datang, Tuan, Nyonya. Eehh, Non Helen udah pulang. Bibi kangen banget, Non," ucap Bi Darmi didampingi Pak Dirman sambil membawa koper Helena.

"Sama, Bi. Helen juga kangen banget sama rumah. Enggak terasa sudah berbulan-bulan Helen enggak pulang," jawabnya sambil melewati sebuah pintu kayu jati yang tinggi dan berwarna putih.

"Bagaimana keadaan rumah, Bi?" tanya Adelia sambil berjalan menuju anak tangga yang tersusun melingkar di ruang tengah.

"Baik-baik saja, Nyonya."

Mereka pun beristirahat di kamar masing-masing.

Helena membuka pintu kamar yang berada di lantai dua. Kamar yang berukuran sangat luas itu terdiri dari sebuah dipan berkepala putih yang sangat modern, dengan kasur berukuran queen, dibalut seprai dan bedcover warna pink bermotif love.

Segera gadis bermata indah itu merebahkan diri. Pandangannya lurus menatap ke arah langit-langit. "Huft, capek," keluhnya seraya merentangkan kedua tangan.

Manik matanya melirik ke arah kanan, menatap sebuah foto keluarga yang dibingkai dengan ukuran besar. Pada foto itu terdapat Helena beserta mamah dan papahnya saat berada di sebuah studio foto.

Gadis itu terus mengedarkan pandangan ke arah kiri. Ada pintu kamar mandi di sudut ruangan yang terbuka. Namun, tiba-tiba ia merasa terkejut, saat terdengar suara keran air menyala dari arah kamar mandinya.

Helena menajamkan pendengaran, mencoba memastikan arah sumber suara. Ia pun segera bangkit dan beringsut dari tempat tidurnya. Seperti suara orang yang sedang mandi. Siapa, ya? Mungkinkah Bi Darmi? Helena bertanya dalam hati. Namun, ia tetap berusaha memberanikan diri untuk mengeceknya. Lagi pula, ia seharusnya merasa aman karena sudah berada di rumah. Tidak perlu merasa khawatir seperti ketika berada di asrama atau sekolah.

Gadis itu membuka pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu jati bercat putih perlahan-lahan. Sayangnya, tidak ada siapa-siapa. Ia pun segera kembali, lalu duduk di sisi tempat tidurnya, mencoba meregangkan semua otot yang terasa tegang saat berada di mobil tadi sambil memijat-mijat bahu yang terasa pegal.

Tiba-tiba, ia mendengar lagi suara aneh. Bisikan suara yang tidak asing baginya sedang memanggil-manggil dari arah belakang. Pemilik mata indah itu perlahan menoleh ke arah sumber suara. Tengkuknya terasa kaku.

Dengan keadaan jantung yang terus berpacu kencang, Helena menoleh. Bulir-bulir peluh di dahi menetes. Leher gadis itu melihat ke arah belakang, tempat foto keluarganya terpasang di atas meja panjang.

Sesosok wanita berambut panjang tengah berdiri memanggilnya. Dengan baju putih panjang yang menjuntai. Kali ini, Helena tidak melihat penampakan hantu, melainkan seorang wanita cantik dengan bola mata bulat dan alis yang tebal.

"Kau ... kau siapa? Kau sebenarnya siapa? Jawab!" tanya Helena sambil terperanjat lalu berteriak.

Wanita itu tersenyum menyeringai mendekati tubuh Helena yang basah oleh peluh. Perlahan namun pasti, bayangan wanita itu semakin dekat dengan tubuh langsing Helena.

Helena yang sedang merasa lelah, segera mundur menghindari wanita itu. Di ambang pintu, Adelia berdiri dan memerhatikan tingkah anaknya yang aneh. "Ada apa, Helen?"

Helena berwajah pucat dan ketakutan, beberapa saat kemudian, gadis itu berteriak histeris. Matanya melotot seperti hampir mau keluar. Bola mata gadis itu berputar-putar ke sana ke mari.

Adelia mendekati putrinya karena penasaran. Tiba-tiba Helena mendorong tubuh mamahnya hingga jatuh tersungkur. "Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!"

"Helena ... kamu kenapa, Sayang?" tanya Adelia merasa penasaran dengan ketidakwajaran sikap anaknya.

"Pergi! Pergi!" teriak Helena sambil memanjat dinding kamarnya sendiri.

"Papah! Ke sini, Pah! Bi Darmi!" teriak Adelia cemas.

Bagas berlari terengah-engah mendengar teriakan istrinya. Lelaki itu didampingi oleh Pak Dirman, sang tukang kebun.

"Ada apa ini, Mah?" tanya Bagas.

"Lihat anak kita, Pah! Mamah enggak ngerti, tadi tiba-tiba dia mendorong Mamah, lalu manjat dinding."

"Sepertinya Non Helen kesurupan, Tuan. Kita panggil Pak Ustad aja, ya?" tanya Pak Dirman.

"Iya, Pak. Cepat, ya!" jawab Pak Bagas panik melihat putrinya.

"Pergi! Jangan ganggu aku! Pergi!" Helena terus-menerus mengulang kata-katanya.

Beberapa saat kemudian, seorang ustaz yang dimaksud tiba di kamar Helena. Lelaki yang memakai baju koko putih panjang, dengan sarung berwarna abu-abu, beserta sorban di lehernya itu membacakan doa-doa berupa Al-Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al-Baqoroh, dan tiga surat terakhir dalam Al-Quran.

Bukannya malah pergi, setan yang ada di dalam tubuh Helena semakin meronta. Tubuh Helena turun merangkak dari dinding, kemudian memanjat lagi. Benar-benar suatu pemandangan yang ada di luar nalar manusia.

"Siapa kamu?" tanya Ustaz Fadlan.

"Aku? Hahaha .... kau tak usah ikut campur, laki-laki bodoh!" jawab arwah yang ada di dalam tubuh Helena dengan suara serak.

"Keluar dari tubuh gadis ini. Dia tidak bersalah!" teriak Ustaz Fadlan dengan nada tinggi.

"Hahaha. Aku hanya ingin bermain-main dengannya. Jangan takut." Tubuh Helena perlahan turun lagi menuju lantai. Gadis itu berjalan dengan cepat dan mendekati tubuh papahnya.

"Hai, Bagas! Lama tak jumpa," ucapnya menyeringai. Tangan Helena berusaha meraih leher Bagas dan hendak mencekiknya.

Bagas mundur cepat dan berteriak, "Jangan, Helen! Ini Papah, Nak!"

Bruk! Helena mendorong tubuh papahnya hingga terbentur sisi lemari kayu jati berwarna putih. Bagian kepala Pak Bagas terbentur hebat sehingga lelaki bertubuh tinggi itu mendadak terhuyung.

"Papah!" teriak Adelia histeris saat melihat darah mengucur dari kepala suaminya yang hampir jatuh tersungkur.

***

Bersambung

Alhamdulillaah, maafkan karena lama tidak berjumpa dengan Helena.

Semoga masih banyak yang menantikan kisahnya.

🥰🥰

Wanita Penunggu SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang