Part 15. Sebuah Surat

58 2 0
                                    

Helena ikut memeriksa keadaan Betty di dalam ruang kelas. Tidak ada kata yang lebih menyakitkan baginya saat itu, selain rasa penyesalan yang teramat dalam. Gadis yang masih memakai hijab itu menatap sahabatnya dengan tatapan nanar.

"Bet, maafkan aku, Bet! Bangun!" teriak Helena.

"Cukup, Helena. Apa kamu sadar? Hijab yang kamu pakai itu sama sekali tidak ada artinya ketika dirimu sendiri tidak dapat mengalahkan hawa nafsu." Pak Rangga menatap Helena dengan sorot mata yang menyiratkan kemarahan.

"Tapi Bapak lihat sendiri, Betty yang mencekik saya lebih dulu, 'kan?" sangkal Helena.

Pak Rangga hanya menggeleng-geleng. "Iya, memang, saya tahu. Tapi saat kamu mendorongnya, Betty sudah terjatuh dan seharusnya kamu biarkan saya yang menyadarkan dia dari kesurupan. Bukan dengan cara seperti itu!"

Helena menggigit bibirnya dengan mata yang masih sembab. Andika menatap wajah gadis yang sangat ia kagumi, kemudian menepuk bahunya pelan. "Tenangkan dirimu dulu, Helena. Oh, iya, saya akan panggil dokter, Pak." Andika memohon izin pada Pak Rangga. Ia segera turun dan meminta bantuan tim medis asrama untuk membawa Betty menuju klinik asrama.

Helena merasa ketakutan, apalagi jika Bu Laras tahu. Ah, pasti wanita itu akan menghukum aku lagi. Begitulah kira-kira yang ada di dalam pikiran Helena.

Beberapa waktu kemudian, tim medis tiba dan segera membawa Betty menuju klinik asrama. Helena ikut mendampingi dokter yang memeriksa Betty. Dokter wanita tersebut pun sudah mengenalnya ketika merawat Mega yang sedang sakit.

"Pasien hanya pingsan," ucap dokter yang menangani Betty dengan penuh wibawa. Ia memberikan minyak kayu putih dan membalurkan pada sekujur tubuh Betty yang dingin.

Betty perlahan-lahan membuka mata. Helena terus menunggu hingga Betty benar-benar sadar dan mengingat semuanya. "Kamu baik-baik aja, Bet?" tanya Helena dengan rasa yang bercampur aduk antara bahagia dan khawatir.

Betty hanya tersenyum, sementara wajahnya masih terlihat pucat. Pak Rangga dan yang lainnya memohon izin untuk pamit dan melanjutkan aktivitas.

"Syukurlah kamu sudah sadar. Sebaiknya perbanyaklah istirahat, Betty," ucap Pak Rangga diiringi seulas senyuman, membuat hati Helena terasa panas.

Kini hanya ada Helena dan Betty di ruang klinik yang sepi.

"Maafkan aku, Bet. Aku benar-benar khilaf." Helena memegang jemari Betty dengan perasaan tulus dan menyesal.

Di dalam ruang klinik yang sepi, lagi-lagi Helena merasakan sesuatu yang aneh. Suasana dingin kembali menyelimuti. Segera gadis itu mematikan AC agar hawa dinginnya berkurang. Namun, setelah tombol remote diletakkan di atas meja, kini giliran gorden putih pembatas bed yang bergoyang-goyang. Tiba-tiba, sesosok bayangan hitam tampak dari balik gorden yang transparan akibat cahaya lampu.

"Siapa di situ?" tanya Helena dengan nada tinggi.

"Helena ...." Suara wanita berbisik di telinga Helena.

"Siapa? Jawab!" teriak Helena. Tatapan gadis itu berpindah dari satu sudut ke sudut lain seolah-olah sedang waspada. Tangannya memegang erat sisi bed di ruang klinik.

Betty merasa heran dengan tingkah sahabatnya. "Siapa, Helen? Di sini enggak ada siapa-siapa. Hanya ada kita berdua."

"Itu, Bet. Ada suara dari sebelah. Aku mau cek ke kasur sebelah." Langkah Helena berpindah perlahan-lahan. Bulu kuduknya meremang, tengkuk lehernya seperti kaku. Gadis itu mendekat ke arah sumber suara, seraya menyibak gorden putih yang tertutup.

Betty yang masih lemas pun ikut penasaran dengan tingkah Helena. Pandangannya pun mengikuti ke arah gerakan sahabatnya.

Kreek ...
Suara pengait gorden bergeser dari penyangganya. Betapa terkejut Helena saat melihat wajah seorang wanita yang begitu menyeramkan. Rambutnya panjang dan acak-acakan. Kelopak matanya menghitam.

Helena terpaku saat berdiri, seolah-olah kakinya tidak ingin beranjak dari tempat. "Aaak! Pergi! Pergi!"

"Kamu kenapa, Helen?" tanya Betty merasa heran. Sementara itu, Helena semakin berteriak.

Beberapa saat kemudian, Bu Laras dan Mega datang menghampiri Helena yang masih dalam suasana ketakutan.

"Ada apa, Helena?" tanya Bu Laras.

"A-ada ... ada hantu, Bu!" ucap Helena tergagap-gagap.

"Hantu lagi ... hantu lagi! Kamu itu suka ngarang, ya! Sekarang kita bawa Betty ke kamar asrama." Bu Laras memapah Betty yang masih terkulai lemas.

Mega yang baru saja tiba, segera membantu Bu Laras untuk memapah Betty menuju kamar. Sepanjang perjalanan, Helena merasa ada sosok yang terus mengikutinya di belakang. Namun, ketika ia menoleh, sosok itu tidak terlihat. Hati gadis itu menjadi semakin waswas. Ia menyadari, bahwa mungkin saja ini akibat dirinya lupa belum melaksanakan salat asar, sementara hari sudah semakin sore.

***

Malam hari, Helena duduk di kursi depan meja belajar setelah mendapat surat beramplop coklat dari Bu Laras. Saat dibuka, surat itu berisi pemberitahuan bahwa dirinya harus pulang dan menjalani masa skorsing di rumah. Hal itu berkaitan dengan peristiwa yang menimpa Betty hari ini.

"Apa? Bener-bener enggak adil!" rutuk Helena sambil meremas selembar kertas dari Bu Laras. Gadis itu berdiri lalu menceritakan isi surat dari Bu Laras pada Betty dan Mega yang sedang menyimak.

"Jadi kamu harus kena skorsing, Helen?" tanya Betty masih tidak percaya.

"Ahh ... udahlah, Bet. Semua ini gara-gara kamu kesurupan segala! Udah capek aku menghadapi kamu! Memang lebih baik aku pulang ke rumah."

"Maafkan aku, Helena. Aku benar-benar enggak bermaksud begitu. Padahal ... aku sudah bilang Bu Laras, bahwa aku memaafkan kamu. Begitu juga Pak Rangga. Karena sebenarnya aku pun tidak mengingat apa pun, Helen. Sumpah!" ucap Betty membela dirinya.

"Cukup, Betty!"

"Sudah, sudah. Kamu jangan emosi, Helena," ucap Mega mencoba menenangkan.

"Bukan begitu, Kak. Ahh, entahlah ... mungkin ini perbuatan Pak Rangga. Aku benci lelaki itu!"

Helena segera mengemasi barang-barangnya untuk bersiap pulang ke Jakarta. Sebuah panggilan masuk dari papahnya yang memberitahukan bahwa esok pagi mereka akan menjemput Helena di asrama.

Sekilas gadis berambut coklat itu merasa senang karena bisa berkumpul dengan kedua orang tuanya lagi. Namun, di sisi lain gadis itu bersedih, karena harus berpisah dengan seseorang yang belakangan ini mengisi hatinya.

Malam itu suasana di dalam kamar milik Helena dan teman-temannya menjadi sepi dan canggung. Betty lebih banyak diam. Gadis itu sudah meminta maaf berkali-kali, tetapi Helena masih saja teguh dengan pendiriannya. Ia kesal dan merasa bahwa semua hukuman yang diterima itu akibat ulah Betty.

Sungguh hukuman yang tidak adil baginya, sementara ketika dirinya menjadi korban yang hampir saja terbunuh oleh Betty, ia selalu berlapang dada.

Awas, kau, Bet. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Kalimat itu terlintas dalam batin Helena yang merasa kesal. Beberapa poin yang membuat kekesalannya semakin menumpuk. Pertama, gadis periang itu tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan Pak Rangga. Kedua, Bu Laras hanya memandang kesalahan pada diri Helena saja, tanpa ada niat menengahi.

Helena segera merebahkan diri yang lelah setelah seharian melewatkan hari yang sulit. Di atas sebuah ranjang besi, gadis itu menatap ke arah atas. Pikirannya mulai memikirkan untuk rencana-rencana selanjutnya.

***
Bersambung

Alhamdulillaah, sudah lama tidak update cerita. Semoga suka, yaaa...

Jangan lupa vote and comment.

Wanita Penunggu SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang