Part 13. Luluh

74 1 0
                                    

Ternyata benar, kita bisa memahami karakter asli seseorang ketika ia sedang merawat orang sakit. Begitulah yang dialami oleh Mega. Gadis yang sangat membenci Helena karena dianggap telah merebut sang pujaan hati, kini justru sedang sibuk merawatnya yang sedang sakit.

"Bet, gimana dong, ya? Si Andika itu ikut-ikut kita terus, Bet. Padahal jelas-jelas aku udah menghindar, 'kan? Aku takut kalau Kak Mega tahu, ia semakin salah paham dan akan semakin membenci aku," ucap Helena lirih.

"Iya, aku paham. Terus, gimana, dong? Kan kamu sukanya sama Pak Rangga. Upss!" ledek Betty.

"Apaan, sih, kamu? Enggak laah. Aku cuma kagum aja, kok!"

Terdengar percakapan kedua gadis di telinga Mega. Sejak tadi ia merasakan sekujur tubuhnya terasa panas, terkadang berubah menjadi dingin. Lebih parah lagi, selera makannya hilang begitu saja. Sesekali gadis itu membuka mata, melihat kedua adik kelas yang selalu dibully olehnya dan Shalin kini sedang merawat dirinya dengan penuh kesabaran.

Betty mengangkat kepala Mega dengan sangat hati-hati saat menyadari bahwa sang kakak kelas telah membuka mata. Helena segera mendekatkan sesendok bubur ke arah mulut Mega dengan penuh kasih sayang. Namun, sikap kedua gadis itu justru membuat Mega merasa malu dan enggan membuka mulut. Ia menggeleng keras, akibat bongkahan yang ada di dalam lubuk hatinya. Gengsi, lebih tepatnya.

"Ayo, Kak. Dimakan dulu buburnya mumpung masih hangat! Supaya Kak Mega cepat sembuh," titah Helena sambil menyodorkan sesendok bubur kacang hijau.

Pertama-tama, Mega menggeleng keras. Namun, tiba-tiba suara yang berasal dari dalam perut membuat mereka tertawa serentak.

"Tuh, kaaan ... udah cepetan, makan!" seru Helena sedikit memaksa.

Mega pun sedikit demi sedikit membuka mulutnya. Satu demi satu suapan berhasil masuk ke dalam perutnya yang kosong.

"Terima kasih," ucap Mega kepada Helena dan Betty. Terlihat mata gadis itu sedikit mengembun.

"Iya, sama-sama. Oh, iya, Kak. Emm, bagaimana, ya? Itu, loh. Kak Andika, dia mau ikutan belajar mengaji sama aku dan Betty. Apa enggak apa-apa?" tanya Helena sedikit ragu.

Mega terdiam sesaat, lalu menjawab, "Kalau cuma belajar mengaji, enggak apa-apa. Lagi pula ... sebenarnya gue yang salah. Kami berbeda keyakinan. Itulah yang menyebabkan Andika menghindar dari gue." Mata Mega perlahan-lahan meneteskan air mata. Hari ini gadis yang biasanya tegar dan selalu galak itu tampak begitu lembut.

Baru pernah Helena dan Betty menyaksikan Mega bercerita dengan begitu terbuka kepada mereka. Selama ini, gadis itu hanya bercerita kisahnya kepada sahabat terbaik, Shalin. Kini, tidak ada lagi tempatnya berkeluh kesah.

"Kalau elu suka juga sama dia, gue rela kok, Helena." Mega memalingkan wajah ke arah kiri.

Helena mengusap pipih Mega dengan lembut. "Aku enggak suka sama dia, Kak. Entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu."

"Wah, coba pegang tangan Kak Mega. Udah enggak panas lagi, Helen!" seru Betty.

"Alhamdulillaah ...." Ketiga gadis saling mengucap syukur dengan bahasa agama masing-masing.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Kondisi Mega sudah mulai membaik. Panas di tubuhnya sudah mulai turun, meskipun sesekali kembali panas. Dengan penuh siaga, Helena mengompres tubuh Mega dengan menggunakan handuk kecil.

Tidak mudah memang melupakan sahabat yang telah berpulang ke pangkuan Tuhan. Itulah mengapa bayangan Shalin masih terus menghantui pikiran Mega. Terlebih lagi, kondisinya saat terakhir kali mengembuskan napas sangat mengenaskan.

Wanita Penunggu SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang