Aku dan Papa (Part 2)

135 9 8
                                    

"Kau akan bertunangan, Maki."

Kata-kata yang membuatku keselek saat sedang mengunyah makan.

"Eeh??! Apa maksud Papa?"

"Kau tidak dengar? Artinya kau akan segera menikah."

"T-tapi aku masih belum mau melakukannya, Pa." Aku mencoba protes, sedikit.

"Kau harus. Ini sudah direncanakan. Besok calonmu akan berkunjung menemuimu di sini. Bersiaplah."

Apa? Tanpa sepengetahuanku ia sudah memutuskannya?

"Tapi aku tidak mau."

Mata Papa melirik tajam, terlihat mengerikan. "Sejak kapan kau jadi suka membantah seperti ini?"

Aku meneguk ludah. Sesuatu yang buruk akan terjadi bila dilanjutkan.

Aku menunduk, mencengkram baju erat. "Baiklah. Aku mengerti."

Untuj kesekian kali, aku menurutinya. Mungkin ini adalah rencana terbaik untuk masa depanku.

Esoknya, aku bersiap-siap mengenakan baju termahal yang pernah kubeli. Awalnya aku tak mau repot-repot, tapi Mama memaksa.

Akhirnya keluarga itu datang, bersama anak lelakinya. Namanya Wagiyama Yujin. Pemuda berumur 26 tahun, berbeda emat tahun denganku. Katanya ia baru saja selesai menamati S3 Ekonomi dan sekarang sedang mengurus anak perusahaan keluarga di Korea.

Begitu banyak yang diperbincangkan hingga aku bosan, sekali. Intinya mulai sekarang aku akan sering bertemu dengannya.

Benar saja. Tiga hari kemudian dia datang sendiri ke rumah, mengajakku makan malam. Papa dan Mama sangat senang. Dan aku hanya bisa mengikuti keinginan mereka.

Pemuda ini cukup menarik, tapi kadang cerewet. Ia cerita banyak hal tentangnya, namun tak seperti lelaki pada umumnya, ia sama sekali tidak bertanya satu pun tentangku, seolah menunggu diriku sendiri yang memulai.

Satu minggu setelah itu, ia mendadak datang ke rumah sakit kami dan mengajakku makan siang. Awalnya aku menolak, karena ini akan sangat merepotkan bila orang-orang mengetahui pertunangan kami. Tapi nasib seolah membenciku dan mendatangkan Mama. Mama tak sengaja melihat kami berdua dan bersikeras membujukku.

Akhirnya kami pergi makan siang di salah satu restoran yang cukup jauh dari rumah sakit. Secara khusus aku memintanya agar tak ada orang yang mengenaliku.

Hubungan kami sangatlah lancar. Tak ada yang istimewa, namun sama sekali tak ada masalah juga. Ia begitu penurut, dan kadang itu membuatku jengkel sendiri karena tak ada yang bisa dibicarakan.

Empat bulan kami telah berpacaran (secara tidak resmi) namun aku belum memberutahu teman-teman soal ini. Kurasa sampai hari dimana kami telah resmi bertunangan baru akan kusampaikan.

Dua bulan setelahnya kami agak jarang bertemu. Yujin semakin sibuk di Korea dan pasien di rumah sakit juga mendadak bertambah banyak.

Di situ aku jadi sedikit merasa kesepian. Perlu dicatat, SEDIKIT. Aku tak menyukainya, apalagi lebih dari itu. Tapi sepertinya aku jadi merasa kehilangan teman. Aku yang sudah kesepian di rumah sakit tak bernyawa ini, ditambah Yujin yang jarang mengunjunginya.

Lama-lama hidup ini makin membosankan.

Aku ingin makan di restoran bersamanya lagi. Aku ingin jalan-jalan bersamanya lagi. Aku jadi rin-

Eh sebentar.

Bukan berarti aku menyukainya!

Aku hanya..

Merindukannya sebagai seorang teman. Ya, hanya sebatas TEMAN.

Syukurlah, seminggu kemudian Yujin kembali ke Jepang. Dan ia langsung menjemputku pulang dari rumah sakit, mengajakku untuk makan malam bersama keluarganya.

NicoMaki: AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang