"Angkat kepalamu, Nico-chan."
Aku mengangkat kepala, melihat ke atas. Maki, dengan tatapan marah memandangku. "Ayo berdiri." Memegang lenganku, membantu berdiri tanpa memedulikan betapa kotor dan baunya diriku.
Maki berbalik. "Jadi ini yang kau sebut dengan teman? Sampai mengesampingkan kami? Maaf ya, tapi dari sudut pandangku, mereka ini hanyalah setumpuk sampah tak berguna." Melirikku tajam. Maki benar-benar menakutkan.
"Hei, siapa kau? Orang luar dilarang masuk ke tempat ini!"
Maki mengulurkan tangan, "Kenalkan, namaku Nishikino Maki. Seorang dokter sekaligus pemilik Rumah Sakit Nishikino generasi selanjutnya. Juga teman dekat Professor Yazawa Nico."
"Eh? Rumah sakit besar itu?"
"Keluargaku sering kesana."
"D-dia pemiliknya?"
Maki berkata lagi, "Apa perkenalan tadi sudah cukup, Ahagi Hideko-san?"
"D-darimana kau tahu namaku?!" Melirik jasnya. Bahkan ia tak memakai pin nama di jasnya.
Maki tersenyum sinis, "Ahagi Hideko. Salah satu pasien tetap rumah sakit kami. Ibuku bilang kau sangat ramah dan sopan, dan dia sangat menyukai perilakumu. Tapi setelah melihatmu yang melemparkan telur di atas kepala Nico-chan seperti tadi.. kurasa dia akan kecewa."
Hideko menggigit bibir. Maki melanjutkan, "Ah, kalau tidak salah kau juga memiliki kartu member VIP Rumah Sakit Nishikino kan? Kurasa aku akan mempertimbangkan bagaimana nasib kontrak kartu itu."
"J-jangan! Kumohon jangan cabut!!" Hideko panik.
Cewek kasar yang mendorongku maju, "Apa apaan kau?!" Mendekatkan tangan ke arah Maki.
Tep!
"Melawan dengan kekerasan itu.." Nozomi datang, menahan gerakannya. "Tidak baik, lho." Tersenyum.
Cewek tersebut melepaskan tangannya, "Kau teman si Yazawa juga?"
Nozomi dengan percaya diri mendekat, "Iya. Aku teman dekat orang yang kau dorong itu." Menunjukku, "Memang benar kalau nilai semasa sekolahnya cukup buruk. Ia juga tak terlalu pintar. Tapi setidaknya Nico-chi berusaha dan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan impiannya. Mengulang pelajaran dan mengikuti masa kuliah yang dibencinya. Tidak sampai situ, ia juga terus bekerja keras mengerjakan proyek besar ini, tidak seperti kalian yang malah berleha-leha dan terus mengeluh."
"K-kau.. kurang ajar. Beraninya mengatkan hal seperti itu pada teman-temanmu!" Cewek tersebut berteriak marah padaku.
Nozomi menghalanginya, "Masih mau menyalahkan Nico-chi? Aku bahkan tidak habis pikir bagaimana mungkin masih ada manusia rendahan nan menyebalkan yang hidup sepertimu."
"Kalau soal siapa yang melaporkan, anggap saja itu aku." Umi dari belakang ikut maju.
"D-dia kan.."
"Sonoda Umi-san dari Laboraturium Tokyo!"
"G-gila! Ilmuwan hebat dan terkenal itu?!"
"Sebagai sesama ilmuwan, aku mengerti bagaimana perasaan kalian. Pasti sangat berat, apalagi ditengah proyek seperti ini." Umi menatap kesal, "Tapi jika kalian memang ingin membalas dendam, maka bersainglah menggunakan otak, bukan tangan."
Mereka semua mundur selangkah, sedikit merunduk.
Honoka berseru, "Padahal Nico-chan sudah capek-capek mau mengurus tugas yang harusnya kalian kerjakan! Tapi kalian malah memperlakukannya begitu! Jahat!"
Rin mengangguk, "Kalau tidak ada Nico-chan, kalian semua pasti sudah tamat, nyaa!"
"Tiap pulang kerja, ia terlihat lelah, tapi ia tak pernah mengeluh soal itu. Terkadang Nico-chan juga terpaksa kerja lembur dan pulang larut. Nico-chan melakukan itu untuk kepentingan kalian juga." Kata Hanayo dengan suara kecil, namun perasaannya tetap tersampaikan.
"Nico-chan sudah berusaha. Ia terlalu baik." Kotori tampak sedih.
"Aku percaya Nico-chi punya maksud tersendiri. Pasti ini untuk yang terbaik juga." Ucap Nozomi.
"Pokoknya kalian semua kuperintahkan untuk membersihkan lantai ini dan meminta maaf padanya!" Tegas Umi. Tak ada yang berani membantah.
Di saat yang lain masih marah-marah, maki menarik tanganku. "Ikut aku."
"He- hei, Maki!"
Kami berjalan pergi ke luar gedung, pergi ke tempat sepi.
"Kenapa kau tidak memberitahu kami?!" tanyanya dengan nada marah.
Aku menunduk.
"Setidaknya katakan sedikit saja padaku. Kalau tak ada gadis kecil tadi, kau pasti sudah jadi bulan-bulanan mereka!"
Aku meringis. Tanganku yang masih digenggam erat Maki terasa panas, "L-lepaskan tanganku.. sakit, tau."
Bukannya dilepas, Maki justru malah menarikku mendekat. "Jangan sok tegar. Air matamu masih ada."
"Maaf." kataku pelan.
Ia menghela nafas, melepaskan genggamannya. "Dengar ya. Apapun yang terjadi, berjanjilah untuk selalu menceritakan masalahmu. Jangan pernah memendamnya. Tak perlu memaksakan diri untuk makan siang setiap hari dengan teman-temanmu itu. Hubungi aku, dan kita bisa makan bersama. Mengerti?"
Tak punya pilihan lain, aku menganggukkan kepala.
"Nico-chaaan~!" Rin berlari menghampiriku.
"Umi-chan sudah memarahi mereka. Jadi tenang saja!" Honoka tertawa sambil mengangkat jempolnya. Diiringi senyuman Umi, "Sudah kupastikan mereka akan meminta maaf."
Kotori memegang tanganku. "Nico-chan, kau tidak apa-apa?"
"Bajunya kotor." Hanayo memperhatikanku.
Dengan sigap Nozomi memberikanku sebuah jaket dan handuk. "Pergilah ke toilet umum dan ganti baju. Jangan lupa usap dulu rambutmu." Dia tersenyum hangat.
Untuk sesaat, aku mengusap air mata yang hampir jatuh. "Terima kasih. Habis ini kita pergi ke rumahku saja. Akan kuperlihatkan keahlian masak Nico-nii yang sebenarnya!"
Mereka mengangguk senang.
"Tunggu aku!" aku berlari pergi.
Ternyata aku.. masih memiliki orang-orang yang masih peduli. Teman-teman berharga yang akan selalu mendukungmu, menolongmu di saat susah, dan tersenyum menenangkanmu. Minna, arigatou.
KAMU SEDANG MEMBACA
NicoMaki: Again
Fanfic"Kalau begitu biar aku saja." Kata itu, harusnya kutahan. Kata yang langsung membuatku senang dalam satu detik, namun juga membuatku menyesal setelahnya. Benar. Ini semua salahku. Akulah yang menciptakannya. Karena akulah, ia hilang, dan tak pernah...