4.💚 Pergi Lagi

33 24 2
                                    

"Waktu adalah penyembuh luka terbaik."

***

"Kalau kamu pergi dari sini, kamu yakin hatimu bisa kembali pulih?" Pak Marto berbicara sembari menyendokkan nasi ke atas piring.

Hello tak mengeluarkan suara, hanya menatap lurus tanpa tahu apa yang dipikirkan. Kosong. Semalaman juga ia tak tidur, memikirkan keputusan untuk hari ini. Jika ditanya perihal keletihan raga, harusnya sudah terkapar di tempat tidur. Namun, kini semua keletihan tak tampak, yang terlihat hanya kebisuan seorang pria yang biasa ceria.

"Kau yakin kembali hari ini? Tak rindukah dengan kampung halaman sendiri?" tanya Pak Marto lagi dan tetap tak ada sahutan.

Acara sarapan pun terjadi dibarengi kesunyian. Sang paman pun tak lagi berbicara setelah beberapa pertanyaan tak ada gubrisan, sedangkan Hello hanya meneguk air hangat segelas lalu diam lagi. Hingga Pak Marto selesai sarapan barulah Hello berbicara.

"Nanti siang aku akan berangkat ke Jakarta. Sebelum itu aku ingin menemui ibu dulu." Dia bangkit, lalu mengambil kunci motor dari atas meja.

Tak perlu waktu lama untuk tiba di TPU, hanya berkisar lima belas menit. Hello berjongkok di samping dua gundukan bertuliskan nama ayah dan ibunya. Pria itu memejamkan mata, buliran bening pun mengalir membasahi pipi. Sungguh, demi apa pun dia rindu pada mereka, orang tua kandungnya. Jika dulu, dia hanya tak punya ayah, bisa ditutupi dengan hadirnya Pak Marto. Sekarang, ibunya sudah pergi dan tak akan ada yang bisa menggantikannya.

"Ibu, Ayah, kenapa nasibku seperti ini? Andai kalian tidak meninggalkanku, pasti aku punya tempat mengadu. Aku butuh kalian, aku lelah! Atau kalian jemput saja aku!" Suara Hello menggema, untung saja keadaan TPU sedang sepi. Hanya ada seorang tukang gali kubur yang menatapnya dengan iba.

Tangis Hello masih menderu hingga seseorang menepuk bahunya. Pria itu menoleh sesaat kemudian kembali memeluk gundukan di depannya.

"Hello, tak baik menangis seperti itu. Ayo, kita pulang." Pak Marto menarik bahunya, tetapi dengan cepat pula Hello menepis.

"Pulanglah jika ingin pulang. Aku masih ingin di sini!" Hello berucap dengan kasar.

Pria yang mengenakan kaos oblong hitam itu mengangguk paham. Dia tahu bagaimana perasaan keponakannya itu, paham bagaimana rasanya ditinggalkan oleh orang yang paling dicintai karena dia pun pernah mengalami itu.

"Saat ini lukamu mungkin sangat dalam, tapi dengan keadaan ini apakah kamu masih ingin memperdalamnya lagi?" Pertanyaan itu sontak membuat keduanya menoleh. Tukang gali kubur tersenyum kecil melihat Hello. Dia meletakkan cangkulnya, lalu ikut berjongkok di samping Hello.

"Maksud Bapak apa?" tanya Hello tak suka. Menatap dengan mata agak sembab.

"Kamu lelaki bukan? Masa laki gini ... nangis di kuburan?" Pria yang rambutnya kebanyakan warna putih itu menggelengkan kepala. "Harusnya kamu benahi saja dirimu, jangan menyesali apa yang terjadi. Semua sudah ada jalannya, sudah menjadi takdir yang harus kamu jalani di hidupmu." Dia bangkit lalu berdecak lalu bangkit hendak pergi.

"Apa lelaki tidak bisa menangis?" Hello sontak bangkit dengan suara yang bergetar. Tatapannya tajam, seolah hendak menerkam si bapak tua.

Pria tua itu itu berbalik, menatap Hello sekilas dan berucap, "Siapa pun bisa menangis karena siapa pun pasti pernah sedih, kehilangan dan sebagainya. Tetapi bukan berarti harus menunjukkan kesedihan itu, kan? Benahi dirimu, lakukan hal terbaik yang akan membuat hidupmu lebih berwarna." Pria tua itu berjalan keluar, meninggalkan area kuburan.

Say Hello, Cinta! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang