8.💚 Cinta itu Adalah Kamu

18 19 0
                                    

"Sangat perlu untuk mengenal seseorang terlebih dahulu sebelum menghakiminya."

***

"Pokoknya aku ndak mau tahu, Mas. Dia harus dihukum!" Cinta mengadu pada Pak Ilham, paman kandungnya.

"Aku kan, gak tahu, Neng. Ya, maaf." Hello berusaha membela diri. Pasalnya dia benar-benar tak tahu siapa wanita itu.

"Makanya tanya dulu, jangan sembarangan nyuruh-nyuruh. Dikata aku juru masak lagi." Cinta menghempaskan badan di sofa.

Pak Ilham dan istrinya cekikikan melihat wajah kesal Cinta, sedangkan Hello menunduk malu. Dia sama sekali tak tahu kalau Cinta itu keponakan Pak Ilham. Salah Asep semuanya, dia yang membuat masalah ini. Kalau dia tidak mengatakan Cinta itu juru masak, mana mungkin kejadian hari ini jadi panjang. Pikiran Hello melayang ke kontrakan, dia akan memberikan pelajaran pada pria hitam itu, yang tak akan dilupakan sampai kapan pun.

"Ya sudahlah, Cin, anggap aja pelajaran. Toh, salah kamu sendiri yang tak pernah menampakkan diri. Sekali tampak membawa nampan kopi, ya dikira begitu." Istri Pak Ilham menutup mulut, menyembunyikan tawa.

"Tante, jangan ikutan bikin kesel, deh. Aku kan, tadi cuma mau liat pemandangan di sana, makanya bawa nampan kopi. Biar Bi Inem juga gak capek banget, tapi tadi itu aku kaget saat mereka bicara tentang ditinggal nikah, makanya tadi kopinya sempat jatuh," tutur Cinta dengan senyum sinis. Tatapannya fokus ke Hello.

Astagfirullah. Diungkit lagi. Hello mengumpat dalam hati, semua jadi tahu masalah asmaranya. "Em, aku pamit saja, Bos. Assalamu'alaikum." Hello bergerak cepat sebelum Cinta bertindak. Harus pergi sebelum telinga panas mendengar ocehan wanita itu, dia pun menarik napas lega saat sudah berada di luar pagar.

Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, Hello tak henti mengomel dengan menyebut nama Asep. Gara-gara pria itu semua jadi kacau. Untung saja keluarga Pak Ilham tidak menganggap masalah itu serius, coba kalau seperti keluarga lain. Bisa jadi dia dilaporkan karena dianggap pencemaran nama baik. Ah, keterlaluan sekali Asep!

Sesampainya di depan kontrakan, seperti biasa teras akan ramai. Mereka berkumpul sembari menunggu azan Magrib. Mereka pulang kerja pukul 17.00 dan biasanya Hello akan menjadi orang pertama yang selesai mandi. Namun, sekarang semua temannya sudah bersih, sedangkan dia masih kucel.

Jarak antara kontrakan mereka ke tempat kerja sekitar 50 meter, jadi bisa sampai dalam hitungan menit. Di kontrakan itu mereka ada empat orang, tentunya dari daerah yang berbeda-beda pula. Mereka adalah pejuang rupiah yang sedang berusaha memperbaiki kehidupan di masa mendatang. Bahkan ada yang bertujuan mencari jodoh, seperti Jefri si rambut gondrong dan Amo si suara lembut.

"Eh, calon suami Cinta sudah datang. Tadi ngapain, Hel, ngapel, ya? Malam Minggu, kan tiga hari lagi." Begitulah kalimat pertama yang tertangkap telinganya. Demi apa pun dia jadi kesal pada seisi kontrakan.

"Asep!" Suaranya membahana di ruangan yang berukuran 5 m x 10 m itu. Yang dipanggil pun berlari tergopoh-gopoh dari belakang.

"Aye naon!?" Suaranya tak kalah keras, bukan karena marah, tetapi kaget dan penasaran.

Puk!

Satu pukulan telak di dada Asep, pria itu meringis kesakitan. Pada saat pukulan kedua hampir tiba, pria itu mengelak. "Mas Hello, apa-apaan, sih?"

Hello melotot tajam. "Apa lagi kau bilang, gara-garamu aku jadi malu. Kenapa coba bilang Cinta itu juru masak? Kau keterlaluan! Membuat malu, kalau aku tahu dia ponaan Pak Bos ... beda ceritanya."

"Hey." Asep menarik napas panjang. "Harusnya kau yang keterlaluan."

Hello tak terima, hendak memukul lagi. Namun, sebuah tangan menahan dari belakang. Siapa lagi kalau bukan teman kontrakannya. Ada tiga pria yang siap siaga menjaga agar tak ada perhelatan lagi.

"Hello, kamu gimana, sih? Datang-datang main serang. Kita di sini sudah tiga tahun bersama, semua bisa dibicarakan dengan baik-baik. Masalah apa aja bisa kita selesaikan dengan baik-baik." Pria yang berambut gondrong berbicara dengan tegas.

Hello terkekeh. "Kalian bilang bicarakan dengan baik-baik? Dia yang mulai. Dia mengerjaiku, mengatakan Cinta itu juru masak, padahal ponaan Pak Ilham."

Asep yang tadi sudah diam kembali tersenyum. "Jadi itu masalahnya? Kamu tahu ndak, dari situ orang bisa menilai attitude kamu gimana. Sampah!" Pria itu meludah di lantai, membuat emosi Hello kian meledak.

Belum sempat Hello bergerak, ketiga temannya kembali menahan lengannya. Hello tersenyum sinis. "Jadi ini mau keroyokan? Satu lawan empat? Ayo, aku jabanin!" Pria itu menggunakan tenaga sekuat mungkin, mendorong ketiga pria yang menahannya.

"Hello, dengarkan apa yang akan dikatakan Asep! Semua gak seperti yang kau bayangkan! Ada alasan kenapa Asep mengatakan itu!"

Hello menahan napas, kemudian mengembuskan perlahan.

"Asep mengatakan Cinta itu juru masak karena dia ingin tahu, bagaimana cara seseorang memperlakukan sesama. Kita cukup kecewa saat kau berteriak meminta kopi pada Cinta. Sekasar itu bertingkah pada wanita?"

"Sudahlah, Jef. Dia gak akan paham bagaimana cara menghargai orang lain. Aku juga yakin, itu menjadi alasan kekasihnya lebih memilih orang lain. Mungkin saja karena sifat dia yang begitu." Suara azan berkumandang, satu persatu mereka berlalu ke mesjid. Meninggalkan Hello yang masih terdiam di tempat. Memikirkan ucapan teman-temannya. Apa ini alasan kenapa semua orang pergi darinya?

"Kepribadian seseorang memang tidak bisa dinilai dari penampilan luar saja. Banyak sekali yang terlihat baik, tapi dalamnya ... silakan pikirkan sendiri." Jefri berbisik tepat di dekat telinga Hello.

Ya, benar. Dia tak bisa menghargai orang lain dengan baik. Dia egois dalam bersikap, baik untuk keluarga, teman dan lainnya. Coba bayangkan, jika saja dulu dia tak egois pergi merantau ... mungkin masih bisa berguna untuk merawat sang ibu selama sakit. Dia juga egois kan, saat di perantauan tak memberikan kabar pada keluarga. Payah. Pria hampir saja meneteskan air mata, tetapi tertahan ketika pintu berderit. Di sana berdiri Amo, salah satu temannya tadi tersenyum kecil.

"Ayo, ke masjid!" ajaknya.

Hello mengangguk kecil. "Iya, aku mau membersihkan diri dulu." Dengan langkah gontai pria itu berlalu ke kamar mandi. Di sana dia tak langsung mandi, tetapi merenung. Mencoba memahami tujuan kebohongan Asep. Bukankah sebenarnya itu pertanda dia peduli? Ya, meski caranya sedikit membingungkan.

Kata orang bersikap itu jangan berdasarkan status sosial seseorang. Jangan bertingkah baik pada orang yang punya nama dan jabatan, sedangkan jika pada orang kecil bisa kasar dan semacamnya. Karena terkadang banyak hal yang tersembunyi di balik itu semua, yang terlihat kecil nyatanya besar. Yang terlihat besar, aslinya rendah. Bersikaplah sewajarnya, menghormati sesama, jangan hanya kalau ada maunya saja.

Hello menghidupkan kran air, lalu bersandar di balik pintu kamar mandi. Dia memejamkan mata, menyesali perbuatannya. Dalam hati berjanji akan memperbaiki hubungan dengan Asep dan lebih banyak belajar lagi.

"Hel, jadi ndak ke masjid? Ini udah telat banget, aku duluan aja dah."

Suara Amo terdengar dari balik pintu, Hello terdiam dan membuka pintu. Amo sudah pergi.

***

TBC

Terima kasih sudah mampir. 🥳

Say Hello, Cinta! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang