3.💚 Kenangan

34 28 0
                                    

"Hanya bayangan yang kini aku miliki setelah raga dan hatimu berpaling pada yang lain."

***

Aroma minyak kayu putih menyeruak membuat pria yang tadi terpejam perlahan membuka mata. Ia menatap sekeliling, masih agak buram. Dia kembali memejamkan mata, lalu menggelengkan kepala kuat. Sayna adalah miliknya, dia merasa baru bangun dari mimpi.

"Hello, syukurlah kamu sudah sadar. Jangan banyak gerak dulu, kamu kecapaian. Pulang dari perantauan bukannya istirahat, malah menemui istri orang la-"

"Istri orang? Jadi benar Sayna sudah menikah? Dengan Robet?" Hello bergerak cepat, duduk dan berdesis karena kepalanya sakit. Ia lalu mengusap wajah dengan kasar. "Kenapa mereka tega melakukan ini padaku. Apa salahku?" Air mata tak dapat lagi dibendung. Tiga tahun lamanya, ia berjuang tetap menjaga hati untuk wanita itu. Namun, kenapa balasan yang didapat begitu sadis? Tak ada yang lebih menyakitkan daripada kekasih menikah dengan sahabat sendiri.

"Sudahlah, lupakan saja. Dia bukan jodohmu, percayalah akan ada seseorang yang bisa menerima ataupun menunggu kamu sepenuh hati. Yang akan menemani hingga hari tuamu."

"Berbicara tentang teori cinta memang mudah, Paman, tetapi pembuktian yang nol! Aku yang kini merasakan! Aku yang tersakiti, Paman!" Hello bangkit dengan tenaga yang masih tersisa. Untuk saat ini lebih baik dia sendiri saja dulu. Tak mudah menerima semua kejadian yang terasa bagaikan disambar petir.

Hello menghempaskan bokong di kursi belakang rumah, menatap bunga-bunga yang mulai layu karena petang hampir menyapa. Tatapan memang ke tumbuhan itu, tetapi pikirannya masih terguncang dengan kejadian tadi. Terbesit kenangan indah mereka zaman dulu, pertama kali bertemu di depan gerbang sekolah. Saat Hello ditugaskan menjaga gerbang untuk mengawasi siswa terlambat yang menyelinap.

"Kak, maaf. Aku terlambat, tapi ... pagi ini kelas kami ada ulangan. Tolong, Kak, jangan lama hukumannya." Gadis yang mengenakan jepitan rambut warna merah muda itu memohon dengan tangan yang disatukan. Tampak jelas aura kecemasan di wajah itu.

Hello terhipnotis, layaknya seperti sedang kejatuhan bidadari. Tatapannya lekat hingga beberapa menit, sampai gadis itu memegang tangannya penuh harapan agar diizinkan masuk.

"Kamu kelas sepuluh MIPA lima, ya?" Hello berbicara seolah ia kenal, meski sebenarnya belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.

"Bukan, Kak. Aku kelas sepuluh MIPA tiga." Gadis itu menarik-narik ujung bajunya yang tidak blus dalam.

"Memangnya kenapa kalau tidak ikut ulangan? Kamu terlambat hampir sepuluh menit, bukankah lebih baik pulang ke rumah dan tidur? Persetan dengan ulangan dan belajar." Hello mendekapkan tangan di depan dada.

"Bagi Kakak mungkin itu persetan, tapi bagiku itu penting!" Gadis itu jelas tak terima, pandangan yang tadi ditundukkan kini terangkat. Matanya bahkan bersiap menantang Hello.

Hello mendeham pelan, menoleh ke kiri dan kanan. Tak ada guru atau pun anggota OSIS lain di sekitarnya. "Em, sebentar." Ia mengangkat tangan dan melihat jarum jam. "Kamu sebenarnya sangat terlambat, bagaimana, ya?" Hello menghela napas berat.

"Tolong, Kak. Aku mohon ... aku akan lakukan apa saja nanti asal Kakak mau membiarkan aku masuk dulu untuk ikut ulangan. Aku janji di jam istirahat aku akan menemui Kakak untuk melakukan hukuman." Gadis itu menunduk dalam, menatap sepatunya. Suaranya hampir tertelan, matanya sudah berkaca-kaca.

"Ok, aku akan izinkan kamu masuk dengan syarat, aku minta nomor ponsel kamu." Hello menjeda kalimatnya sebelum meneruskan."Tidak usah kepedean, ini bukan buat aku pribadi, ini buat jaminan kamu tidak akan kabur nanti dari hukuman."

Gadis itu menganggukkan kepala paham, ia pun segera menyebutkan nomor ponselnya satu persatu. Hello tentu bergerak, segera ditulis di telapak tangannya dengan pena yang selalu disimpan di saku seragamnya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Hello pun mempersilakan adik kelas itu masuk gedung sekolah mereka. Senyuman pria itu mengembang.

"Hello!" Sebuah suara membuat senyum Hello memudar, dari getaran suara ia kenal siapa itu. Perlahan dibalikkan badan dan terkekeh kecil. Takut ketahuan karena telah meloloskan siswa yang terlambat.

Bu Mega berkacak pinggang, mengarahkan pandangan ke seluruh penjuru. "Beneran ini tidak ada yang telat? Biasanya ada. Jangan-jangan kamu loloskan mereka, ya?"

Hello sontak menggelengkan kepala, berjalan mundur untuk menjauh dari guru galak itu. "Tidak ada, Bu. Percaya pada saya, memangnya kapan saya pernah berbohong pada Ibu?"

"Hello?"

Pria itu membuka mata, dilihatnya suasana taman yang kini menggelap. Dilirik tangan yang tadi menepuk bahunya untuk membangunkan Hello dari mimpi masa lalu. Marto tampak cemas dengan sang keponakan, terlihat dari raut mukanya. Hello bangkit, masuk ke rumah tanpa peduli ocehan sang paman setelah itu.

Harusnya ia tak kembali lagi ke kampung kelahirannya ini jika tahu beginilah yang terjadi. Bersusah-payah menjaga hati, tetapi yang disimpan dalam hati ternyata memilih pergi tanpa permisi. Hello bukan tak mampu mencari tambatan hati di kota Jakarta. Namun, prinsip hidup untuk setia yang menuntunnya tetap bertahan. Memang benar kata orang, kadang setia itu tak berarti dan hanya memberi sejuta penyakit.

Hello membuka pintu kamarnya, di sana koper yang tadi siang dibawa masih terletak dengan rapi. Tadinya ia berniat akan menyusun pakaian setelah dari luar, sekarang pikiran itu dibuang jauh. Tatapan beralih ke laci yang setengah terbuka, sebuah kotak merah benar-benar membuat napas Hello tercekat. Diambil benda itu dengan cepat dan ditatap lama.

"Kalung ini?" Pria itu tampak kian frustrasi. Bagaimana tidak, benda itu kembali mengobrak-abrik perasaanya pada Sayna. Kalung yang dulu diberikan pada saat jadian mereka, kenapa ada di sini? Apakah Sayna yang sudah mengembalikan benda itu sebelum ia pulang? Tubuh Hello lagi-lagi hampir ambruk jika saja tangannya tak segera meraih ujung tempat tidur.

Hello merebahkan badan dengan hati-hati, dipejamkan matanya. Cairan bening lagi-lagi menetes, mengalir dari sudut kedua matanya. Dari luar terdengar suara Marto memanggil-manggil namanya. Hello sengaja mengabaikan dan memilih menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Di sana ia bisa meluapkan rasa sakit yang bertubi-tubi melalui isakan.

Beberapa menit kemudian setelah suara Marto menghilang, Hello membuka selimut. Ia duduk dan menatap meja yang terdapat di atasnya alat-alat tajam. Hello turun dari tempat tidur, berjalan mendekati meja itu dan mengambil sebuah gunting. Digerakkan benda itu ke perutnya, tetapi dijauhkan lagi.

"Sial!" Dia melemparkan benda itu ke lantai dan kembali menghempaskan diri ke atas tempat tidur.

Cinta benar-benar bisa membuat seseorang bodoh dan gila. Hello mengusap kepala secara kasar. "Arrrggghhh!" Ia berteriak saking tak sanggup menahan berat beban hatinya.

"Hello, apa kamu baik-baik saja? Buka pintu pintunya, biarkan paman membawamu periksa ke klinik!"

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Say Hello, Cinta! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang