7.💚 Temu Tanpa Senyum

22 17 0
                                    

"Sering bertemu bukan berarti harus saling mengenal."

***

Bangunan yang sudah jadi 3/4 itu kini menjadi titik fokus perhatian Hello. Dia mengenakan seragam orange dan topi hitam pelindung kepala. Perlahan langkahnya mulai menghampiri lainnya, mengambil alih mengocok semen. Tugas Hello memang lebih sering berurusan dengan semen dan pasir. Hanya sesekali ikut manjat entah itu memasang genteng atau lainnya. Jika dibandingkan kuli lain, gaji Hello juga tak bisa dibilang tinggi. Cukup untuk diri sendiri saja, apalagi biaya kehidupan di kota mahal. Tak sama dengan kampungnya, kalau habis beras bisa minta ke tetangga dan dibayar bulan depan kalau sudah ada uang.

Di perantauan, jangankan minjam, punya uang sedikit saja kadang dianggap tak ada. Pintar-pintar menjaga nafsu saja kalau berhubungan dengan lembaran-lembaran itu.

"Kamu beneran pulang kampung?" Teman Hello yang biasa dipanggil Asep bertanya dengan tangan tetap mengaduk semen.

"Iya." Hello menjawab sesingkat mungkin. Dia malas jika berurusan dengan kampungnya.

"Pulang kampung apa seperti itu? Hanya sehari," gumam pria berkulit hitam itu.

"Gak ada yang spesial makanya cepat balik. Lagipula kalau aku di sini kerja, bisa punya uang. Kalau di sana kan nggak."

"Iya, sih. Tapi ... bukannya kamu pulang karena rindu kekasihmu?" Ternyata pria itu tak berhenti sampai di situ saja, dia masih ingin mengulik fakta sebanyak-banyaknya.

Hello membuang napas dengan kasar. Semua orang di bangunan ini pasti akan tahu. "Dia udah nikah sama orang lain."

Brak!

Mereka tersentak saat mendengar benda jatuh. Tak jauh dari mereka seorang wanita tengah mengumpulkan pecahan gelas. Buru-buru mereka menghampiri dan menahan wanita itu agar tidak melanjutkan caranya yang salah. Asep berlari ke rumah kecil untuk mengambil obat merah, sedangkan Hello menghisap jemari wanita itu yang banyak mengeluarkan darah.

"Neng, hati-hati makanya, liat nih jadi kacau. Gak boleh jalan sambil mengkhayal," omel Asep saat sudah kembali dengan napas ngos-ngosan. Dia membaluri kapas lembut dengan alkohol, lalu menyerahkan pada Hello. "Mas Hello aja yang obati."

Asep mengambil sekop dari tumpukan pasir, lalu mengambil semua pecahan kaca dengan benda itu. Sedangkan Hello masih berdiam diri, menatap kapas yang basah akan alkohol.

"Aw." Wanita itu meringis kesakitan.

"Sini aku obati." Hello mengamit tangannya, kemudian membersihkan darah yang keluar menggunakan kapas tadi. Setelah itu, Hello pun membaluri dengan obat merah secukupnya dan tak lupa menutupi dengan perban kecil. Ada beberapa luka di jemarinya, tetapi di jari tengah paling lebar. Di telapak tangannya juga ada goresan, tetapi Hello hanya membalut dengan obat merah karena tak ada lagi perban atau plester.

Setelah merasa tugasnya selesai, Hello bangkit dan kembali ke tempatnya tadi. Membereskan semen-semen yang belum dirapikan.

"Makanya, Neng, kalau jalan hati-hati. Tak baik melamun sambil bawa kopi. Lihat deh sekarang kami jadi gagal minum kopi." Asep tak henti mengomel, karena memang bakatnya ada di situ. Dia lebih mirip seperti seorang ibu di antara mereka.

"Iya, Kang. Maafin, Cinta teh gak sengaja. Kalau sengaja mah, tadi Cinta siramkan aja ke Akang. Biar tahu rasa, kerjanya ngomel aja." Suara wanita itu terdengar kesal.

"Ya udah, bawa kopi lagi sana atau suruh Bi Inem aja kalau tangan kamu gak bisa. Nanti jatuh lagi kan rugi si bos." Asep berbalik, meninggalkan wanita yang tengah menggerutu itu. Hello yang menyaksikan hanya menggelengkan kepala, Asep suka keterlaluan kalau bicara dan wanita itu juga tampak menyebalkan. Tadi keliatan kalem, aslinya ternyata begitu. Ah, kenapa di depan Hello tadi dia diam-diam saja, sedangkan sama Asep dia menggerutu?

Say Hello, Cinta! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang