5.💚 Orang Tak Dikenal

22 20 0
                                    

"Jika suatu hari nanti aku tak lagi menyebut namamu, bukan berarti kau sudah hilang dari hati. Mungkin saja aku hanya sedang berpura-pura tidak mengenalmu."

***

Setengah jam sudah bus yang ditumpangi Hello berangkat dari stasiun menuju Tanah Abang, kota yang akan menjadi tempatnya untuk memulai hidup baru. Dengan kepala yang disandarkan ke belakang dan tatapan lekat pada langit-langit bus, Hello membayangkan kejadian-kejadian sebelumnya. Ada begitu banyak hal yang disesali.

Jika saja dulu dia tak bersikeras pergi merantau ... mungkinkah nasipnya tak begini? Jika saja dia lebih keras mencari dan mendapatkan nomor ponsel keluarganya, mungkin penyesalan tak sedalam ini. Namun, apa yang dilakukan? Setelah beberapa bulan bekerja di tempat Pak Ilham, Hello kehilangan ponsel, tak bisa komunikasi dengan siapa pun di kampung. Setelah beberapa bulan kemudian, barulah dia bisa lagi membeli ponsel baru.

Satu hal yang sangat disayangkan, dia tak langsung mencari tahu nomor telepon keluarga, tetapi hanya sibuk menghubungi sang kekasih melalui sosial media. Dia selalu memberi kabar pada Sayna, tetapi tidak pada keluarganya. Seolah hidup pria itu hanya ada kekasih.

"Mas, bisa geser sedikit?"

Hello tersentak saat seorang pria menepuk pundaknya. Dia hanya mengangguk kecil, lalu bergeser di dekat kaca. Tatapan Hello beralih fokus ke luar, perjalanan mereka kini melewati pohon-pohon rindang.

"Mas, lagi banyak masalah, ya? Wajahnya sangat muram." Pria di sampingnya berceletuk sembari memainkan ponsel.

Hello hanya mendeham dengan tatapan tetap ke luar.

"Mas tahu tidak, dulu saya hampir frustrasi karena kekasih saya menikah dengan ayah saya." Pria itu tetap berceloteh meski tak mendapat sahutan. Hello yang tadi niatnya cuek bebek, akhirnya menatapnya. Entah karena dia penasaran pada cerita pria itu atau merasa kesal karena terganggu ocehan.

"Kenapa saya harus peduli?" Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir Hello sejak naik bus tadi.

"Saya tidak meminta Mas peduli, saya hanya ingin berbagi suasana hati." Dia tersenyum miris. "Kadang hati akan lega jika sudah menceritakan masalah pada orang lain, meski orang itu tak ada solusi untuk masalah itu. Setidaknya rongga dada agak longgar."

Hello tertegun saat mendengar penuturan pria yang tak dikenal itu. Benarkah? Lalu, apa Hello juga harus melakukan hal yang sama?

"Tak perlu melakukan seperti yang saya katakan. Toh, setiap orang punya cara tersendiri untuk meluapkan perasaan." Dia berujar seolah tahu apa yang ada di pikiran Hello.

"Em, tidak. Saya hanya berpikir bagaimana caranya agar tidak bertemu orang seperti Anda," ujar Hello, kemudian mengembalikan fokus ke luar.

Pria itu terkekeh kecil lalu senyap. Hello tidak penasaran juga tak bisa menahan diri untuk mencari tahu tentang orang itu. Ketika orang itu menulis beberapa paragraf di sebuah note kusam. Meski badan Hello menghadap ke kanan, tetapi matanya tak henti melirik ke kiri.

"Jangan melirik seperti itu, nanti matanya sakit, Mas." Lagi-lagi dia berhasil menangkap basah tingkah Hello.

"Bagaimana caranya melupakan seseorang dengan cepat?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Hello. Agak lama mereka terdiam, hingga akhirnya pria tak dikenal itu menutup note kusamnya.

"Bagaimana caranya melupakan seseorang dengan cepat?" Hello mengulangi pertanyaan dengan lebih tegas.

Pria itu tersenyum kecil. "Tidak ada yang instan, semua butuh proses, Mas. Kalau saranku, untuk melupakan seseorang ... cobalah untuk pura-pura melupakannya dulu. Niscaya, seiring berjalannya waktu semua akan terlupakan dengan sendirinya." Pria itu bangkit dari duduknya. "Sudah sampai, Mas, saya duluan."

Hello tak memedulikan kalimat terakhirnya, tetapi menghapal kalimat awal. Tidak ada yang instan. Pura-pura lupa terlebih dulu, maka akan lupa beneran? Pria itu tersenyum kecil lalu mengucapkan terima kasih dalam hati. Mungkin cara itu akan dicoba dan dibuktikan kebenarannya.

Dengan perlahan Hello mengambil ponsel hitamnya dari kantong tas kecil yang digandeng. Dia berseluncur di media sosial, yakni Facebook. Di kotak pencarian, dituliskan nama Sayna dan munculnya beberapa nama. Diklik nama paling atas, pada titik tiga ada tiga pilihan; cari dukungan/laporkan profil, blokir dan salin tautan ke profil. Pria itu menarik napas panjang kemudian memilih baris kedua. Blokir. Mungkin itu bisa dijadikan langkah awal untuk melupakan.

Bukan hanya memblokir akun Facebook, tetapi Hello juga lanjut ke WA. Dia mengklik profil lalu ke akun. Di sana ada beberapa pilihan dan Hello memilih paling terakhir. Hapus akun saya. Dia tersenyum miris, biarlah di hidupnya yang baru nanti, semua hal berbaur masa lalu ikut terhapus.

Hello menepuk sedikit pipinya, terkekeh kecil. Ya ampun, apa dia sebucin itu selama ini? Gara-gara satu wanita, dia frustrasi? Harusnya dia bangkit, dia kan pria dewasa bukan anak baru gede.

Namun, di satu sisi dia juga menyadari bahwa rasanya pada Sayna benar-benar dalam. Biasanya para pria bisa mengontrol perasaan agar tak terlihat terlalu lemah, sedangkan Hello sendiri malah pilu seperti wanita. Ah, dia mengusap wajahnya dengan asal.

Perjalanan menuju tanah abang masih sangat lama, dia juga harus istirahat. Tidak baik memikirkan kejadian yang sudah-sudah terlalu lama. Dengan gerakan spontan, Hello menoleh ke belakang. Sudah jauh dari kampung halamannya. Dia menatap ke luar kaca, tetapi tak mengenali itu di mana. Pria itu kemudian menghempaskan badan ke punggung kursi, untuk apa dia mencari tahu sedang di mana, yang penting nanti dia sampai tujuan dengan selamat tanpa kurang satu apa pun.

Gara-gara bertemu orang tak dikenal tadi, Hello jadi punya motivasi untuk tetap melangkah. Jika dia bisa menerima kenyataan sang kekasih menikah dengan ayahnya sendiri, lalu kenapa Hello tidak bisa menerima Sayna menikah dengan Robet, temannya? Bukankah jodoh itu ada di tangan Tuhan? Ah, bukan di tangan Tuhan, tetapi butuh restu dari-Nya.

Ya, manusia yang harus berjuang menemukan pasangan dan Tuhan yang memberikan restu akan bersama selamanya atau tidak. Manusia yang berjuang mendapatkan hati manusia lain.  Sejauh apa pun dia pergi, jika Tuhan merestui dalam ikatan jodoh maka mereka akan bersatu, begitu pun jika sedekat jari manis ke jari kelingking, tetapi jika Tuhan tak merestui maka tak akan pernah bersatu.

Bus terus melaju, sedangkan netra Hello kian menyipit. Ditambah alunan musik mello yang menambah rasa kantuk para penumpang. Tidak terlalu banyak sewa di kendaraan itu, banyak kursi kosong. Mungkin karena bukan musim libur makanya begitu. Hanya Hello, perantau yang pulang sehari ke kampung halaman. Pulang membawa tawa, kini kembali membawa luka menganga yang dipaksakan untuk tertutup.

Dalam tidur yang kian lelap, sudut bibirnya terangkat. Entah apa yang hadir di mimpinya, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Dunia hanya berharap, suatu hari nanti orang yang tersakiti akan menemukan kebahagiaannya tersendiri. Bisa tersenyum, tergelak tanpa harus berpura-pura, tanpa harus melukai orang lain juga. Karena kebahagiaan sejati tidak akan datang jika kita merusak kebahagiaan orang lain.

***

Terima kasih untuk yang sudah mampir. 😘

 😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Say Hello, Cinta! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang