Sehabis pulang sekolah aku sempat mampir sebentar di minimarket, untuk membeli camilan. Dan sekarang aku sudah berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, aku melihat mobil ayah sudah terparkir dibagasi. Apa ayah sudah pulang? Tapi, sekarang baru pukul 15:00 WIB. Aku berjalan memasuki rumah.
"Assalamuallaikum." Ucapku seraya membuka pintu. Dan benar saja ayah sedang duduk di ruang tamu dengan menggunakan pakaian rapih, namun bukan untuk pergi ke kantor. Aku berjalan menghampiri ayah.
"Ayah?" tanyaku bingung. Ayah menoleh dengan tersenyum manis.
"Kamu baru pulang?" Tanya ayah. Aku mengangguk lalu mencium punggung tangan ayah.
"Iya,yah. Tadi Anjani mampir ke mini market dulu." Ucapku.
"Yasudah, sekarang kamu ganti baju untuk siap-siap kita akan pergi." Ucap ayah. Aku hanya mengerutkan dahiku bingung.
"Kita mau kemana, yah?" Tanyaku. Namun, belum sempat ayah menjawabnya suara langkah kaki terdengar, terlihat mamah dan Dhea yang sudah berpakaian rapih.
"Anjani, segeralah bersiap-siap. Kita menunggu disini." Ucap mamah dengan nada dan ekspresi setulus mungkin. Aku hanya mengangguk ragu lalu berjalan menaiki tangga, namun saat aku ingin melangkahkan kakiku menaiki satu anak tangga Dhea mencegah tanganku.
"Hari ini lo bebas dari hukuman lo, Anjani!" Ucap dhea kesal. Ayah menoleh ke arah kami, dhea hanya berpura-pura senyum.
"eh.. hm, ka Anjani hati-hati dong. Untung gak kepeleset," ucap Dhea berbohong. Aku hanya tersenyum canggung.
"Iya, Dhea." Ucapku lalu berjalan lagi.
Dan keadaan di ruang tamu menjadi suasana yang mencekam serta canggung. Ayah yang menatap datar ke arah TV, mamah yang sesekaliemperhatikan ayah, dan Dhea yang asik dengan ponselnya sendiri. Namun, tiba-tiba suara dingin ayah membiat mamah dan dhea menoleh dan menatap ke arahnya.
"Buat apa kalian ikut?." Pertanyaan dengan nada dingin itu keluar begitu saja dari mulut ayah.
"Loh, pah. Kita juga kan perlu liburan, mamah bosen dirumah." Ucap mamah.
"Iya, pah. Dhea juga cape belajar terus, tugasnya juga numpuk. Mana gurunya kalo ngasih tugas banyak banget, jadi dhea butuh liburan. Dhea cape sekolah terus, pah. Sesekali dhea pingin memanjakan diri dhea, pergi ke salon, belanja-belanja, terus beli per--." Ucapan dhea terpotong karna mamah menyikut lengannya pelan. Dan seketika itu juga ayah menoleh ke arahnya.
"Per?." Tanya ayah menagih ucapan dhea yang terpotong. Dhea gelagapan dibuatnya.
"Oh..e-hm.. Ma-maksud d-dhea tuh beli perlengakapan sekolah, pah. Iya! perlengkapan sekolah!." Ucap dhea berusaha setenang mungkin.
"Bukankah yang kamu inginkan itu perhiasan? Buat apa kamu membeli perlengkapan sekolah, jika kamu sekolah hanya mengeluh saja." Ucap ayah tetap dengan nada dinginnya. Dhea terdiam begitu juga mamah. Ayah tersenyum getir.
"Ku kira anak tiriku mempunyai pemikiran yang pintar dan cerdas, ternyata tidak. Bagaimana bisa dia ingin membeli perlengkapan sekolah jika sekarang saja dia sedang di scors akibat kelakuan dia sendiri. Sifatnya sangat membjuat orang tua malu, bertengkar disekolah." Ucap ayah. Sungguh! Baru kali ini ayah mengeluarkan kata-kata yang begitu sangat menyakitkan dari mulutnya sendiri. Lagi-lagi mamah dan dhea bungkam dibuatnya, apa selama ini ayah sudah tahu akan perlakuan mereka terhadap aku?. Tapi, darimana ayah tahu bahwa dhea di scors karna bertengkar disekolah?. Mamah dan dhea tetap diam.
"Kamu dan ibumu memang cantik, Namun cara pikir kalian salah." Ucap ayah lalu berdiri saat melihat aku menuruni tangga.
"Sudah siap, tuan putri?" tanya ayah lembut disertai dengan senyumnya. Aku membalas senyuman itu lalu aku mengangguk.
"Sudah, yah."
Di Mobil.
Ayah memintaku untuk duduk di sebelah kursi kemudi. Sedangkan, mamah dan dhea duduk dilursi belakang.
"Anjani," Panggil ayah lembut. Aku menoleh.
"Kenapa, yah?" Tanyaku bingung.
"Hari ini, Ayah akan mewujudkan apapun keinginan tuan putri Ayah," Ucap ayah lembut.
"E-hm... benar, yah?" tanyaku memastikan. Ayah pun terkekeh.
"Benar," ucap ayah seraya mengelus puncak kepalaku.
"YEYY!!" teriakku tanpa sengaja. Saat ini, aku seperti mendapatkan kembali kebahagiaanku yang sudah lama menghilang.
"Putri ayah ini tidak pernah berubah. Masih saja seperti anak-anak." Ucap ayah disertai kekehannya. Aku hanya mencebikkan bibirku mendengar ucapan ayah.
"Ayah..." Rengekku membuat ayah mencubit pipiku gemas.
"Hahaha..." Tawa ayah.
"E-hm, yah?" Panggilku.
"Hm?"
"E-hm... Besokkan ulang tahun bunda ayah mau beliin kue gak buat bunda? Kita bawa kue nya ke makam bunda yah, terus kita beli bal---" ucapan ku terpotong oleh ucapan mamah.
"TIDAK! Bundamu itu sudah mati, Anjani! Sekarang ini bundamu itu adalah mamah bukan dia! Buat apa kamu merayakan hari ulang tahun orang yang sudah mati! Buat apa?!hah!?" Bentak mamah. Aku tidak tahu mamah kelepasan atau bagaimana, tapi saat mamah membentakku seperti itu ayah menatap mamah dengan tatapan dingin.
"Ma-Maaf, mah. A-anjani ga-gak bermaksud ng-ngomong begitu." Ucapku menunduk takut.
"Pah, Liat anak kamu, anak kesayangan kamu itu. Dia nggak menghargai perasaan aku sebagai ibu sambungnya." Ucap mamah dengan air mata yang jatuh. Aku tidak tahu air mata itu tulus atau tidak, tapi yang jelas aku tidak melihat kesedihan dimatanya. Ayah memberhentikan mobilnya karna kami sudah sampai.
"Dia memang anak kesayanganku. Maksudmu, Menghargai perasaanmu yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain? Untuk apa?" ucap ayah dingin.
"Pah! Kamu ini kenapa? Dari kemarin kamu selalu nyalahin aku, selalu mojokin aku sama Dhea di depan anak sial---" ucap mamah terpotong saat ayah menatap matanya tajam, Dhea yang berada disebelah mamah pun bungkam. Ayah tersenyun miring, wajahnya terlihat tenang namun tatapan sangat tajam ke arah mamah. Sedangkan Dhea, dia hanya menunduk takut, bukan takut karna ayah marah, tapi karna takut kelakuan keduanta terbongkar.
"Anak apa?" tanya ayah dingin namun tegas. Mamah diam.
"Jawab aku, Maya!" ucap ayah sedikit membentak. Mamah pun tersentak kaget oleh bentakan ayah tadi.
"A-aku ga-gak bermaksud begitu, Pah." Ucap mamah dengan suara bergetar.
"Lalu bagaimana maksudmu? Apa salah, jika pitriku ingin merayakan hari ulang tahun bundanya? Itu hak dia, dia berhak melakukan apapun yang buat dia senang, tak ada satu orang pun yang bisa menghalangi kebahagiannya, kalian paham itu!?" Ucap ayah tegas. Dhea dan mamah pun menunduk. Mereka benar-benar takut kalau ayah akan tahu semua perlakuan mereka terhadap aku.
"A-ayah, sudahlah ki-kita kan ingin bersenang-senang." Ucapku berusaha menenangkan ayah.
"Tidak, Anjani. Mamah kamu ini sudah keterlaluan, dia sudah melampaui batas." Ucap ayah.
"Setelah kejadian ini, Aku tidak akan bisa menjamin hidup kalian akan tetap bahagia atau tidak. Bahagia dengan kemewahan yang ku punya, atau menderita atas kesalahan kalian sendiri." Ucap ayah menatap datar ke arah depan. Mamah dan Dhea saling menatap lalu menggelengkan kepalanya.
"Pah, maksud kamu apa si? Mamah gak paham, Pah." Ucap mamah berusaha meredahkan emosi papah.
"Kamu masih bertanya apa maksudku? Aku tidak akan menjamin kebahagiaan kalian lagi. Seharusnya, kalian paham perkataan itu." Ucap ayah yang emosinya sudah memuncak.
"Jadi, maksud kamu..."
-----------
-
-
-
-
-||wait for the next part ||
Thank you:*
KAMU SEDANG MEMBACA
ANJANI [On Going]
Fiksi RemajaTerkadang orang berfikir, jika orang yang mempunyai banyak harta hidupnya akan bahagia.Tapi, itu tidak berlaku untukku, hidup ku penuh kecukupan, tapi tentang kasih sayang yang tulus itu sangat sulit untuk ku dapatkan. Keluarga baru yang harus ku t...