Chapter-41

1K 47 31
                                    

Dipagi yang cerah sang surya perlahan menyinari dunia, sinarnya terasa begitu menyilaukan mata. Sejuknya udara di pagi hari membuat sepasang insan yang masih terlelap perlahan mulai terbangun. Keduanya sama-sama terduduk untuk mengumpulkan nyawanya. Sepasang insan itu adalah Rumaisa dan Afkar.

"Morning, my wife" ucap Afkar dengan suara serak khas bangun tidur yang entah mengapa terdengar begitu menyejukkan bagi Rumaisa.

Rumaisa tersenyum, "Morning too."

Afkar mendekat dan memeluk Rumaisa, menyadarkan kepalanya dibahu Rumaisa. Tangan Rumaisa tergerak mengelus surai hitam Afkar dengan lembut membuat Afkar merasa nyaman dan tenang. Afkar tersenyum dan memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan tangan Rumaisa.

Tangan Rumaisa lantas beralih bermain di wajah Afkar, mengelus wajah putih halus itu dengan lembut. Menjadi seorang istri Afkar saja sudah menjadi suatu mimpi untuk Rumaisa ditambah saat ini Rumaisa bisa memiliki Afkar sepenuhnya.Rasanya sungguh tak bisa disangka oleh Rumaisa.

Senang sudah pasti Rumaisa rasakan. Afkar bagaikan candu bagi Rumaisa, entah itu senyumannya yang mampu membuat Rumaisa serasa melayang ke langit dan juga pribadinya yang tak seburuk yang Rumaisa pikirkan. Afkar membuat Rumaisa percaya bahwa perjuangan tidak mengkhianati hasil, selama ini perjuangan Rumaisa untuk mendapatkan cinta dari seorang Afkar dapat Rumaisa rasakan saat ini.

Afkar juga tak tinggal diam, tangannya bergerak mengelus perut Rumaisa yang perlahan nampak membesar. Saat Afkar tengah mengelus perut Rumaisa tiba-tiba Afkar merasakan seperti perut Rumaisa bergerak.

"Rum, kamu rasain juga gak?" tanya Afkar menatap Rumaisa antusias, Rumaisa mengangguk. Afkar yang senang langsung mengecup perut Rumaisa dan mengelusnya penuh rasa sayang membuat Rumaisa tersenyum.

"Nanti kita periksa kedokter ya, saya gak sabar mau tahu dia laki-laki atau perempuan."

"Iya, saya juga sama."

"Mas, saya mau tanya."

"Tanya apa?"

Rumaisa terdiam sesaat, sebenarnya ia ingin menanyakan kelanjutan tentang kasus pembunuhan, namun rasanya ia tidak enak hati menanyakannya kepada Afkar.

"Emm, itu soal."

"Apa?" Afkar nampak tak sabar menunggu Rumaisa melanjutkan ucapannya yang menggantung.

"Kasus pembunuhan itu, apa mas sudah tahu siapa pelakunya" cicit Rumaisa pelan.

Afkar menggelengkan kepalanya lesu," Belum Rum, Danish juga belum ada kabar, saya minta bantuan Danish, dia yang bantu saya selidiki ini semua. Padahal sudah lebih dari tiga minggu, tapi gak ada kabar juga."

"Mungkin saya harus lebih sabar lagi" Afkar menghembuskan nafas lesu, Rumaisa mengerti apa yang sedang Afkar rasakan. Rumaisa hanya bisa berada disamping Afkar untuk saat ini, saling menguatkan satu sama lain.

"Yaudah jangan sedih, mending mas mandi sana bau tau" ucap Rumaisa sambil menutup hidungnya dan juga tatapan mengejek Afkar.

"Bau apa coba, nih coba kamu cium" Afkar mendekat dan dengan sengaja menempelkan tubuhnya untuk lebih dekat.

"Mas Afkar bau ih" Rumaisa mendorong pelan dada Afkar, namun kekuatan Afkar jauh lebih kuat tentunya. Afkar semakin mendekatkan tubuhnya.

"Sana mandi, mas Afkar bau kambing."

"Heh, enak aja ya. Rasain ini."

Detik kemudian Afkar mengelitik pinggang Rumaisa membuat Rumaisa tertawa dan menahan geli.

"Aduh, iya ampun deh. Udah mas, geli ih" ucap Rumaisa disela tawanya.

"Gak, saya gak mau berhenti."

Cause I love Him.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang