Tartarus

15.2K 2.8K 1.2K
                                    

Renjun bersimpuh di depan ayah dan ibunya, raut wajahnya terlihat tenang dan tanpa sungkan menatap tepat ke mata tajam sang ayah. Laki-laki paruh baya yang menjadi orang paling penting di keluarga Huang itu berdiri lalu melangkah mendekati sang putra bungsu, tidak merasa senang dengan keberanian Renjun menatap matanya. Ia tidak terima karena dua puluh empat tahun mendidik Renjun dengan keras agar menjadi submisif penurut kini lenyap dalam waktu empat bulan.

"Ternyata benar, sopan santun mu langsung menghilang setelah berhubungan dengan manusia permukaan itu." Katanya.

"Mohon maaf tuan, tapi dia punya nama, anda dapat memanggilnya Lee Jeno dan saya tidak merasa berlaku tidak sopan pada anda."

Ayah Renjun semakin tersulut amarah saat mata rubah putra bungsunya tidak berhenti membalas tatapannya, "berhenti menatap ku! Menunduk!"

Renjun tersenyum, "ketika kita berbicara dua arah, menatap mata lawan bicara adalah bentuk sopan santun."

Bisik-bisik mulai terdengar setelah Renjun terus menjawab perkataan sang ayah, sebagain bergunjing tentang betapa kurang ajarnya dia dan sebagian lagi memilih berkomentar betapa payahnya kepala keluarga Huang yang kini tidak dapat menyetir segala tingkah polah sang bungsu.

"Aku perintahkan untuk menunduk Renjun!"

"Menunduk!"

Renjun menghela napas lalu tersenyum kecil, "baiklah saya akan menatap sepatu anda."

Kepala keluarga Huang itu berteriak marah lalu melayangkan tongkat kayu berkepala Jackal yang selalu dibawanya ke wajah sang putra hingga bagian bawah mata kanan Renjun langsung membiru, ia tidak pernah main-main saat melayangkan sebuah pukulan bahkan pada anak-anaknya. Renjun mendesis dan tatapan matanya menyorot dingin, jemarinya perlahan bergerak menyusuri bagian wajah cantiknya yang baru saja terkena pukulan. Darah segar menodai ujung jemari Renjun setelah submisif berparas ayu itu mengusap bawah matanya, tangannya bergetar menahan rasa sakit hati yang begitu dalam, susah payah ia berusaha berdamai dengan semua sakit hati itu, namun lagi-lagi Huang tertua kembali menggores luka, menumbuhkan satu demi satu kebencian yang mendalam di hati Renjun kepada para Huang.

Renjun kembali menghadap sang ayah dengan sebuah senyum kecil kemudian ia menundukkan kepalanya seperti yang diperintahkan tadi.
"Rasanya tidak sesakit saat anda membuang saya."

"Namun luka seperti ini tidak disukai suami saya."

Ayah Renjun menggeram, "siapa yang mengizinkan mu berhubungan dengan manusia permukaan!! Kenapa kau suka sekali mempermalukan keluarga mu?!"

"Susah payah aku mendidik mu menjadi berguna dan hasilnya seperti ini?! Bodoh!"

"Maaf? Saya tidak memiliki keluarga. Anda sudah membuang saya, tapi kenapa masih kerepotan mengurusi hidup saya?"

"Oh! Saya lupa jika anda tidak peduli, kalian semua tidak peduli pada hidup saya.. kalian hanya tidak senang saat banyak bangsawan Agartha membicarakan betapa menyedihkannya keturunan Huang."

Renjun mendongak, menatap tepat ke mata tajam sang ayah yang diselimuti kabut amarah. "Artinya, kegagalan berawal dari anda."

Ayah Renjun berteriak murka, tangannya kembali melayangkan tongkat kayu untuk memukuli tubuh Renjun, meluapkan amarah saat tidak dapat membalas ucapan sang bungsu, tidak mau mengakui kebenaran dari perkataan Renjun.
Kun membulatkan matanya, melihat Renjun kini meringkuk di lantai sambil melindungi kepalanya dari kebrutalan manusia yang mereka panggil 'ayah'.

"Tidak perlu berdiskusi! Gantung dia di halaman!" Kata ayah Renjun tanpa keraguan sedikit pun, bahkan suara beratnya menggelegar dalam ruangan.

Sosok gadis cantik mendekati Renjun, merasa tidak tahan dengan semua kekejaman di dalam keluarga mereka. "Paman.. jangan bunuh Renjun!"

AGARTHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang